Senin, 15 Desember 2014

RUU Perlindungan Umat Beragama

                          RUU Perlindungan Umat Beragama

Benny Susetyo  ;   Seorang Rohaniwan
KORAN JAKARTA,  09 Desember 2014

                                                                                                                       


Terdengar kabar Kementerian Agama sedang menyusun draf RUU Perlindungan Umat Beragama guna mengatur syarat pendirian rumah ibadah sampai cara penyiaran sebuah agama. RUU mau melindungi warga negara, setidaknya dalam amanah konstitusi, yaitu kebebasan memeluk agama dan menjalankannya.

Negara berkewajiban melindungi rakyatnya dan melaksanakan isi konstitusi untuk menjamin kebebasan memeluk agama dan menjalankan ibadatnya yang merupakan hak dasar seluruh masyarakat. Selama ini, kendatipun konstitusi menegaskan demikian, kerap terjadi pengabaian saat terjadi pelanggaran kebebasan beragama. Negara tak mampu melindungi saat segolongan pemeluk agama mengalami tindakan kekerasan.

Toleransi beragama yang disuarakan di berbagai tempat hanya hiasan bibir. Di lapangan sesungguhnya sering terjadi kekerasan dan pemaksaan atas nama agama untuk menghalangi kebebasan beragama itu sendiri. RUU Perlindungan Umat Beragama jangan seperti “macan ompong”. Banyak peraturan dan keinginan baik hanya tertuang di atas kertas. Aparat tidak mampu menjalankan di lapangan karena intimidasi dan juga ketidaktegasan.

RUU ini juga diharapkan bukan hanya mengakomodasi enam agama resmi, tapi juga memiliki semangat toleransi kepada mereka di luar agama resmi. Selama ini, mereka merasakan kebijakan diskriminatif. Salah satu masukan paling penting dalam penyusunan RUU tentang keterlibatan negara yang perlu dibatasi, jangan terlalu jauh mengurusi yang bisa dijalankan secara normal pemeluk agama.

Negara tidak perlu mengatur urusan keimanan pemeluk agama dan menghindari sejauh mungkin urusan-urusan berkaitan dengan ritual sebuah agama. Ini merupakan catatan mengingat RUU sebelumnya tentang Kerukunan Umat Beragama yang akhirnya hanya menjadi polemik karena negara terlalu jauh mencampuri urusan keagamaan.

Polemik RUU sebelumnya muncul karena problem kerukunan umat beragama masih menyimpan polemik mendasar. Negara berkeinginan terlalu jauh ikut campur dalam pembuatan aturan undang-undang. Mereka yang bersepakat dengan keberadaan aturan ini berdiri di atas beberapa argumen, di antaranya fakta konflik beragama yang memerlukan kehadiran negara untuk mengatasinya.

Namun, mereka juga berbeda berpendapat bahwa yang diatur dalam UU bukan soal agama atau keyakinan, tetapi ekspresi serta relasi dalam beragama. Selain itu, pengaturan ekspresi keyakinan beragama tidak bertentangan dengan konstitusi karena itu problem-problem yang muncul dari kebebasan beribadah tidak bisa diserahkan kepada masyarakat semata. Negara juga perlu mengatur.

Di sisi lain, disadari pula hakikat keyakinan ada di dalam hati. Agama merupakan urusan privat, tidak boleh diatur, oleh negara sekalipun. Selain itu, sebagaimana pengalaman dari banyak aturan lainnya, tidak ada jaminan hasilnya akan lebih baik, bisa saja jauh lebih buruk.

Karena itu, setiap kebijakan terkait keberagamaan harus direspons secara hati-hati dan bijaksana, mengingat kerukunan merupakan kearifan yang secara alamiah tumbuh subur di bumi Nusantara ini. Bila ada kepentingan tersembunyi yang mengindikasikan adanya ketidakadilan dan kepentingan tertentu, sebuah kebijakan tidak akan pernah bisa mengatur dengan baik malah justru hanya akan melahirkan masalah di kemudian hari.

Perlu mendapatkan penekanan bahwa Indonesia merupakan negara yang menjadi barometer pluralisme dan kerukunan di dunia ini. Karena itu, bila sebuah aturan dibuat dalam sesat pikir dan kepentingan politis, akan melahirkan cara pandang yang keliru terhadap relasi agama itu senditi. Ini justru akan menjadi bumerang di masa mendatang.

Disharmoni

Perlu pula diingat bahwa aturan yang cenderung dipaksakan keberadaannya justru akan membuat disharmoni, langsung atau tidak. Kita merefleksikan begitu banyak UU, namun yang segala aturan yang dibuat itu justru tidak mampu menjawab kebutuhan dasar masyarakat dan tidak mampu memecahkan persoalan yang ada.

Bahkan, sudah lazim diketahui bahwa kehadiran aturan baru justru identik dengan permasalahan baru. Inilah yang harus diwaspadai bersama agar keinginan untuk menjaga kerukunan beragama justru tidak melahirkan situasi kontraproduktif lainnya.

Karena itulah terkait dengan inisiasi RUU ini ada baiknya kita merefleksikan situasi dan kondisi keberagamaan kita sendiri. Untuk sampai pada sepakat dan tidaknya, yang justru jauh lebih penting dikemukakan, adalah bagaimana jaminan kebebasan beragama itu bisa dilindungi negara semaksimal mungkin.

Begitu banyak korban kekerasan yang mengutuk bahwa negeri ini adalah negara munafik. Negeri yang begitu pandai menyusun aturan-aturan manis, tapi tidak mampu merealisasikannya di lapangan. Aturan-aturan itu hanya dibuat sebagai pemanis bibir belaka. Kenyataannya, ada sebagian kelompok masyarakat yang justru berusaha untuk memaksakan kehendaknya sendiri dan negara mengabaikan situasi itu.

Kekerasan merupakan pengingkaran terhadap martabat kemanusiaan dan merusak peradaban. Selama ini, negara gagal menjaga rasa aman yang sudah diamanatkan konstitusi dan juga gagal melindungi masyarakat yang membutuhkan pertolongan ketika dia diserang. Bahkan, tidak jarang korban sudah tak lagi percaya pada jaminan-jaminan itu.

Konstitusi kita sudah jelas menjamin kebebasan beragama. Jaminan kebebasan beragama itu melekat pada diri setiap warga dan seharusnya negara sungguh-sungguh memberikan perlindungan tidak peduli siapa pun dia. Tanpa kehendak kuat untuk merealisasikan jaminan dan perlindungan itu, aturan apa pun yang dibuat sering kali hanya akan menambah masalah baru yang tak terpikirkan sebelumnya.

Walaupun pluralisme dan toleransi antar-agama ini sudah sering dikemukakan dalam berbagai wacana publik, namun praktiknya tidaklah semudah yang dipikirkan dan dibicarakan. Walaupun sudah terdapat kesadaran bahwa bangsa ini dibangun bukan atas dasar agama, melainkan kekuatan bersama, pandangan atas “agamaku”, keyakinanku”, justru sering menjadi dasar dari berbagai perilaku sehari-hari yang bermuatan kekerasan.

Sekalipun kita menyadari pentingnya slogan Bhinneka Tunggal Ika, praktik di lapangan tak seindah dan semudah pengucapan slogan itu. Masih banyak persoalan keagamaan di Indonesia yang menghantui dan menghambat terwujudnya solidaritas, soliditas, dan toleransi antar-umat beragama di Indonesia.

Serangkaian perusakan, kekerasan, dan penangkapan terhadap kelompok-kelompok yang dianggap “sesat” oleh kelompok agama lain terjadi dan dipertontonkan kepada publik sepanjang tahun dan mengalami eskalasi yang menyedihkan. Minoritas semakin tidak mendapatkan tempat di negeri “Bhinneka Tunggal Ika” ini dengan beragam alasan.

Banyak peristiwa yang bisa dirujuk sebagai contoh tentang dicederainya kemajemukan bangsa ini. Masalah kebangsaan kita sering berhadapan dengan problem pluralitas yang semakin sulit dihargai. Akar kekerasan masih sering terpicu oleh hilangnya hal-hal yang dianggap sederhana dan sepele: toleransi, kebersamaan, pluralisme, dan penghormatan nilai-nilai. Akibatnya, berbagai kepentingan menyusup di balik sensitifnya hubungan agama di Indonesia.

Kini pertanyaannya, akankah gagasan RUU Perlindungan Umat Beragama bisa menjadi kendali bagi negara untuk lebih maksimal lagi dalam melindungi umat beragama dalam menjalankan agamanya masing-masing. Kita berharap aturan ini tidak mengulang sesat pikir aturan di masa lampau, dan negara benar-benar menjalankan tugasnya untuk melindungi segenap warga negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar