RUU Perlindungan Umat Beragama
Benny Susetyo ; Seorang Rohaniwan
|
KORAN
JAKARTA, 09 Desember 2014
Terdengar
kabar Kementerian Agama sedang menyusun draf RUU Perlindungan Umat Beragama
guna mengatur syarat pendirian rumah ibadah sampai cara penyiaran sebuah
agama. RUU mau melindungi warga negara, setidaknya dalam amanah konstitusi,
yaitu kebebasan memeluk agama dan menjalankannya.
Negara
berkewajiban melindungi rakyatnya dan melaksanakan isi konstitusi untuk
menjamin kebebasan memeluk agama dan menjalankan ibadatnya yang merupakan hak
dasar seluruh masyarakat. Selama ini, kendatipun konstitusi menegaskan
demikian, kerap terjadi pengabaian saat terjadi pelanggaran kebebasan beragama.
Negara tak mampu melindungi saat segolongan pemeluk agama mengalami tindakan
kekerasan.
Toleransi
beragama yang disuarakan di berbagai tempat hanya hiasan bibir. Di lapangan
sesungguhnya sering terjadi kekerasan dan pemaksaan atas nama agama untuk menghalangi
kebebasan beragama itu sendiri. RUU Perlindungan Umat Beragama jangan seperti
“macan ompong”. Banyak peraturan dan keinginan baik hanya tertuang di atas
kertas. Aparat tidak mampu menjalankan di lapangan karena intimidasi dan juga
ketidaktegasan.
RUU ini
juga diharapkan bukan hanya mengakomodasi enam agama resmi, tapi juga
memiliki semangat toleransi kepada mereka di luar agama resmi. Selama ini,
mereka merasakan kebijakan diskriminatif. Salah satu masukan paling penting
dalam penyusunan RUU tentang keterlibatan negara yang perlu dibatasi, jangan
terlalu jauh mengurusi yang bisa dijalankan secara normal pemeluk agama.
Negara
tidak perlu mengatur urusan keimanan pemeluk agama dan menghindari sejauh
mungkin urusan-urusan berkaitan dengan ritual sebuah agama. Ini merupakan
catatan mengingat RUU sebelumnya tentang Kerukunan Umat Beragama yang
akhirnya hanya menjadi polemik karena negara terlalu jauh mencampuri urusan
keagamaan.
Polemik
RUU sebelumnya muncul karena problem kerukunan umat beragama masih menyimpan
polemik mendasar. Negara berkeinginan terlalu jauh ikut campur dalam
pembuatan aturan undang-undang. Mereka yang bersepakat dengan keberadaan
aturan ini berdiri di atas beberapa argumen, di antaranya fakta konflik
beragama yang memerlukan kehadiran negara untuk mengatasinya.
Namun,
mereka juga berbeda berpendapat bahwa yang diatur dalam UU bukan soal agama
atau keyakinan, tetapi ekspresi serta relasi dalam beragama. Selain itu,
pengaturan ekspresi keyakinan beragama tidak bertentangan dengan konstitusi
karena itu problem-problem yang muncul dari kebebasan beribadah tidak bisa
diserahkan kepada masyarakat semata. Negara juga perlu mengatur.
Di sisi
lain, disadari pula hakikat keyakinan ada di dalam hati. Agama merupakan
urusan privat, tidak boleh diatur, oleh negara sekalipun. Selain itu,
sebagaimana pengalaman dari banyak aturan lainnya, tidak ada jaminan hasilnya
akan lebih baik, bisa saja jauh lebih buruk.
Karena
itu, setiap kebijakan terkait keberagamaan harus direspons secara hati-hati
dan bijaksana, mengingat kerukunan merupakan kearifan yang secara alamiah
tumbuh subur di bumi Nusantara ini. Bila ada kepentingan tersembunyi yang
mengindikasikan adanya ketidakadilan dan kepentingan tertentu, sebuah
kebijakan tidak akan pernah bisa mengatur dengan baik malah justru hanya akan
melahirkan masalah di kemudian hari.
Perlu
mendapatkan penekanan bahwa Indonesia merupakan negara yang menjadi barometer
pluralisme dan kerukunan di dunia ini. Karena itu, bila sebuah aturan dibuat
dalam sesat pikir dan kepentingan politis, akan melahirkan cara pandang yang
keliru terhadap relasi agama itu senditi. Ini justru akan menjadi bumerang di
masa mendatang.
Disharmoni
Perlu
pula diingat bahwa aturan yang cenderung dipaksakan keberadaannya justru akan
membuat disharmoni, langsung atau tidak. Kita merefleksikan begitu banyak UU,
namun yang segala aturan yang dibuat itu justru tidak mampu menjawab
kebutuhan dasar masyarakat dan tidak mampu memecahkan persoalan yang ada.
Bahkan,
sudah lazim diketahui bahwa kehadiran aturan baru justru identik dengan
permasalahan baru. Inilah yang harus diwaspadai bersama agar keinginan untuk
menjaga kerukunan beragama justru tidak melahirkan situasi kontraproduktif
lainnya.
Karena
itulah terkait dengan inisiasi RUU ini ada baiknya kita merefleksikan situasi
dan kondisi keberagamaan kita sendiri. Untuk sampai pada sepakat dan
tidaknya, yang justru jauh lebih penting dikemukakan, adalah bagaimana
jaminan kebebasan beragama itu bisa dilindungi negara semaksimal mungkin.
Begitu
banyak korban kekerasan yang mengutuk bahwa negeri ini adalah negara munafik.
Negeri yang begitu pandai menyusun aturan-aturan manis, tapi tidak mampu
merealisasikannya di lapangan. Aturan-aturan itu hanya dibuat sebagai pemanis
bibir belaka. Kenyataannya, ada sebagian kelompok masyarakat yang justru
berusaha untuk memaksakan kehendaknya sendiri dan negara mengabaikan situasi
itu.
Kekerasan
merupakan pengingkaran terhadap martabat kemanusiaan dan merusak peradaban.
Selama ini, negara gagal menjaga rasa aman yang sudah diamanatkan konstitusi
dan juga gagal melindungi masyarakat yang membutuhkan pertolongan ketika dia
diserang. Bahkan, tidak jarang korban sudah tak lagi percaya pada
jaminan-jaminan itu.
Konstitusi
kita sudah jelas menjamin kebebasan beragama. Jaminan kebebasan beragama itu
melekat pada diri setiap warga dan seharusnya negara sungguh-sungguh
memberikan perlindungan tidak peduli siapa pun dia. Tanpa kehendak kuat untuk
merealisasikan jaminan dan perlindungan itu, aturan apa pun yang dibuat sering
kali hanya akan menambah masalah baru yang tak terpikirkan sebelumnya.
Walaupun
pluralisme dan toleransi antar-agama ini sudah sering dikemukakan dalam
berbagai wacana publik, namun praktiknya tidaklah semudah yang dipikirkan dan
dibicarakan. Walaupun sudah terdapat kesadaran bahwa bangsa ini dibangun
bukan atas dasar agama, melainkan kekuatan bersama, pandangan atas “agamaku”,
keyakinanku”, justru sering menjadi dasar dari berbagai perilaku sehari-hari
yang bermuatan kekerasan.
Sekalipun
kita menyadari pentingnya slogan Bhinneka Tunggal Ika, praktik di lapangan
tak seindah dan semudah pengucapan slogan itu. Masih banyak persoalan
keagamaan di Indonesia yang menghantui dan menghambat terwujudnya
solidaritas, soliditas, dan toleransi antar-umat beragama di Indonesia.
Serangkaian
perusakan, kekerasan, dan penangkapan terhadap kelompok-kelompok yang
dianggap “sesat” oleh kelompok agama lain terjadi dan dipertontonkan kepada
publik sepanjang tahun dan mengalami eskalasi yang menyedihkan. Minoritas
semakin tidak mendapatkan tempat di negeri “Bhinneka Tunggal Ika” ini dengan
beragam alasan.
Banyak
peristiwa yang bisa dirujuk sebagai contoh tentang dicederainya kemajemukan
bangsa ini. Masalah kebangsaan kita sering berhadapan dengan problem
pluralitas yang semakin sulit dihargai. Akar kekerasan masih sering terpicu
oleh hilangnya hal-hal yang dianggap sederhana dan sepele: toleransi,
kebersamaan, pluralisme, dan penghormatan nilai-nilai. Akibatnya, berbagai
kepentingan menyusup di balik sensitifnya hubungan agama di Indonesia.
Kini pertanyaannya, akankah gagasan RUU Perlindungan Umat Beragama bisa
menjadi kendali bagi negara untuk lebih maksimal lagi dalam melindungi umat
beragama dalam menjalankan agamanya masing-masing. Kita berharap aturan ini
tidak mengulang sesat pikir aturan di masa lampau, dan negara benar-benar
menjalankan tugasnya untuk melindungi segenap warga negara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar