Tragedi
Menteri Luar Negeri Indonesia
Asvi Warman Adam ; Visiting research scholar di CSEAS Kyoto University
|
JAWA
POS, 10 Desember 2014
HAJI Soebandrio adalah menteri luar negeri Indonesia yang dipenjarakan
selama 29 tahun. Lahir di Kepanjen, Malang, Jawa Timur, 15 September 1914 dan
wafat di Jakarta, 3 Juli 2004, dalam usia 90 tahun. Berarti, hampir sepertiga
usianya dihabiskan dalam bui rezim Orde Baru.
Dia tidak terlibat sama sekali dalam G30S (Gerakan 30 September) dan
bukan anggota PKI atau ormasnya, tetapi tetap diseret ke Mahkamah Militer
Luar Biasa. Pengadilannya pun bagaikan pembuatan sinetron kejar tayang, hanya
25 hari. Pada 30 September 1966 pukul 24.00, dimulai persidangan Dr Haji
Soebandrio yang berlangsung sampai pukul 04.00.
Waktu itu, di Jakarta berlaku jam malam. Jadi, dapat dibayangkan
suasana yang mencekam di tempat persidangan yang kini menjadi Gedung
Bappenas. Pada 25 Oktober 1966, Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub)
menjatuhkan hukuman mati kepada Dr H Soebandrio.
Ketika akan dieksekusi, melayang surat protes Ratu Elizabeth dari
Inggris, negara tempat Soebandrio merintis kantor perwakilan Indonesia sejak
1946 dan resmi menjabat duta besar 1950–1954. Hukuman itu akhirnya diubah
menjadi seumur hidup. Pada 1995, dengan pertimbangan kesehatan, dia
dibebaskan setelah mendekam puluhan tahun di penjara.
Tuduhan
terhadap Soebandrio
Soebandrio bukan dalang kudeta 1965 (pencantuman namanya di Dewan
Revolusi tidak setahu dirinya seperti halnya beberapa tokoh lainnya seperti
Umar Wirahadikusuma dan Amir Machmud). Ketika G30S meletus, Soebandrio dan
rombongan sedang berada di Medan, bahkan meneruskan perjalanan ke Langsa.
Pada 3 Oktober 1965, mereka baru pulang ke Jawa.
Dia bukan anggota PKI dan ormas-ormasnya. Karena itu, direkayasa
tuduhan lain terhadap sang Menteri Luar Negeri. Soebandrio dianggap membantu
pelaksanaan percobaan kudeta karena memanggil Aidit ke tanah air. Memang, dia
mengirim telegram pada 30 Juli 1965 atas perintah Presiden Soekarno yang
meminta Aidit dan Njoto untuk kembali ke Jakarta guna membantu persiapan
pidato presiden 17 Agustus 1965.
Dalam persidangan, Jamin, sekretaris presiden, bersaksi bahwa dirinya
diperintah presiden mengirim telegram tanggal 2 Agustus 1965 kepada Njoto
(hanya kepada Njoto) yang ketika itu berada di Moskow. Jaksa menuduh
Soebandrio telah menambahkan nama Aidit agar kembali ke Jakarta. Namun, dalam
persidangan juga terbukti bahwa Aidit yang berada di Beijing sudah menjawab
telegram Soebandrio dan menyatakan akan kembali ke Jakarta. Karena itu, 2
Agustus 1965, telegram kembali dikirim hanya kepada Njoto.
Semasa persidangan, dilakukan pula black
campaign terhadap Soebandrio. Durno dan Haji Peking adalah dua istilah
yang digunakan untuk merusak nama baiknya. Dia dituding mengadu domba
Angkatan Darat dan PKI, padahal memang sudah ada rivalitas antara keduanya.
Julukan Haji Peking diberikan karena Soebandrio menjalankan diplomasi yang
bersahabat dengan RRC. Keislamannya diragukan. Dalam sidang, jaksa menanyakan
apakah dia salat dan berapa rakaat sehari semalam. Soebandrio menjawab
diplomatis bahwa dia bersembahyang lebih banyak daripada yang diwajibkan.
Ketika demonstrasi terus-menerus dilakukan mahasiswa dan pelajar (KAMI
dan KAPPI), dibentuklah Barisan Soekarno, meski terlambat (karena itu tidak
efektif). Presiden Soekarno membentuknya pada Februari 1966, bukan Soebandrio
seperti yang dituduhkan.
Soebandrio selaku menteri luar negeri memindahkan rekening Kementerian
Luar Negeri USD 250.000 ke rekening Badan Pusat Intelijen karena situasi
darurat untuk keperluan operasi ’’Ganyang Malaysia’’. Dana itu tidak ditaruh
di rekening pribadinya. Menurut pembelanya, Yap Thiam Hien, hal itu tidak
melanggar aturan.
Jasa
Soebandrio kepada Negara
Tidak jelas apakah Soekarno atau Sjahrir yang menugaskannya ke London
selepas proklamasi. Namun, sejak 1946 sampai 1956, Soebandrio memperjuangkan
kepentingan Indonesia di luar negeri. Dia menjabat duta besar untuk Uni
Soviet 1954–1956 sebelum ditarik Soekarno sebagai Sekjen Kementerian Luar
Negeri. Setahun setelah itu, dia menjadi menteri luar negeri selama 9 tahun
sampai 1966. Ketika dia menjabat menteri luar negeri, terlaksana pembebasan
Irian Barat (1963) dan terselenggara Asian Games IV (1962) serta Ganefo
(1963).
Pada 1962, Soebandrio diangkat menjadi wakil perdana menteri yang
menangani masalah luar negeri. Selain itu, dia mengepalai Badan Pusat
Intelijen yang menjadi koordinator antara unit intelijen di empat Angkatan
Bersenjata dan Kejaksaan Agung. Tetapi, dalam urusan itu pun, fokus
Soebandrio adalah masalah luar negeri. Dia juga menjadi koordinator urusan
Irian Barat.
Soebandrio jelas sangat berjasa dalam bidang politik luar negeri dan
diplomasi pembebasan Irian Barat. Dia sempat praktik dokter bedah di Batavia
pada zaman penjajahan sebelum terjun ke dunia politik. Dia aktif dalam PSI
Sjahrir pascaproklamasi dan pada 1946 merintis pembentukan perwakilan
Indonesia di Inggris, kemudian berturut-turut menjadi duta besar di London
dan Moskow.
Pada 1957, Soebandrio menjadi Sekjen Kementerian Luar Negeri dan
selanjutnya menjabat menteri luar negeri sampai 1966. Ketika meninggal pada
2004, dua mantan menteri luar negeri, Roeslan Abdulgani dan Ali Alatas,
datang ke rumah duka untuk memberikan penghormatan terakhir. Kematiannya
mendapat perhatian internasional seperti diberitakan surat kabar The Guardian dan The New York Times. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar