Kamis, 11 Desember 2014

Tragedi Menteri Luar Negeri Indonesia

                     Tragedi Menteri Luar Negeri Indonesia

Asvi Warman Adam  ;   Visiting research scholar di CSEAS Kyoto University
JAWA POS,  10 Desember 2014

                                                                                                                       


HAJI Soebandrio adalah menteri luar negeri Indonesia yang dipenjarakan selama 29 tahun. Lahir di Kepanjen, Malang, Jawa Timur, 15 September 1914 dan wafat di Jakarta, 3 Juli 2004, dalam usia 90 tahun. Berarti, hampir sepertiga usianya dihabiskan dalam bui rezim Orde Baru.

Dia tidak terlibat sama sekali dalam G30S (Gerakan 30 September) dan bukan anggota PKI atau ormasnya, tetapi tetap diseret ke Mahkamah Militer Luar Biasa. Pengadilannya pun bagaikan pembuatan sinetron kejar tayang, hanya 25 hari. Pada 30 September 1966 pukul 24.00, dimulai persidangan Dr Haji Soebandrio yang berlangsung sampai pukul 04.00.

Waktu itu, di Jakarta berlaku jam malam. Jadi, dapat dibayangkan suasana yang mencekam di tempat persidangan yang kini menjadi Gedung Bappenas. Pada 25 Oktober 1966, Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) menjatuhkan hukuman mati kepada Dr H Soebandrio.

Ketika akan dieksekusi, melayang surat protes Ratu Elizabeth dari Inggris, negara tempat Soebandrio merintis kantor perwakilan Indonesia sejak 1946 dan resmi menjabat duta besar 1950–1954. Hukuman itu akhirnya diubah menjadi seumur hidup. Pada 1995, dengan pertimbangan kesehatan, dia dibebaskan setelah mendekam puluhan tahun di penjara.

Tuduhan terhadap Soebandrio

Soebandrio bukan dalang kudeta 1965 (pencantuman namanya di Dewan Revolusi tidak setahu dirinya seperti halnya beberapa tokoh lainnya seperti Umar Wirahadikusuma dan Amir Machmud). Ketika G30S meletus, Soebandrio dan rombongan sedang berada di Medan, bahkan meneruskan perjalanan ke Langsa. Pada 3 Oktober 1965, mereka baru pulang ke Jawa.

Dia bukan anggota PKI dan ormas-ormasnya. Karena itu, direkayasa tuduhan lain terhadap sang Menteri Luar Negeri. Soebandrio dianggap membantu pelaksanaan percobaan kudeta karena memanggil Aidit ke tanah air. Memang, dia mengirim telegram pada 30 Juli 1965 atas perintah Presiden Soekarno yang meminta Aidit dan Njoto untuk kembali ke Jakarta guna membantu persiapan pidato presiden 17 Agustus 1965.

Dalam persidangan, Jamin, sekretaris presiden, bersaksi bahwa dirinya diperintah presiden mengirim telegram tanggal 2 Agustus 1965 kepada Njoto (hanya kepada Njoto) yang ketika itu berada di Moskow. Jaksa menuduh Soebandrio telah menambahkan nama Aidit agar kembali ke Jakarta. Namun, dalam persidangan juga terbukti bahwa Aidit yang berada di Beijing sudah menjawab telegram Soebandrio dan menyatakan akan kembali ke Jakarta. Karena itu, 2 Agustus 1965, telegram kembali dikirim hanya kepada Njoto.

Semasa persidangan, dilakukan pula black campaign terhadap Soebandrio. Durno dan Haji Peking adalah dua istilah yang digunakan untuk merusak nama baiknya. Dia dituding mengadu domba Angkatan Darat dan PKI, padahal memang sudah ada rivalitas antara keduanya. Julukan Haji Peking diberikan karena Soebandrio menjalankan diplomasi yang bersahabat dengan RRC. Keislamannya diragukan. Dalam sidang, jaksa menanyakan apakah dia salat dan berapa rakaat sehari semalam. Soebandrio menjawab diplomatis bahwa dia bersembahyang lebih banyak daripada yang diwajibkan.

Ketika demonstrasi terus-menerus dilakukan mahasiswa dan pelajar (KAMI dan KAPPI), dibentuklah Barisan Soekarno, meski terlambat (karena itu tidak efektif). Presiden Soekarno membentuknya pada Februari 1966, bukan Soebandrio seperti yang dituduhkan.

Soebandrio selaku menteri luar negeri memindahkan rekening Kementerian Luar Negeri USD 250.000 ke rekening Badan Pusat Intelijen karena situasi darurat untuk keperluan operasi ’’Ganyang Malaysia’’. Dana itu tidak ditaruh di rekening pribadinya. Menurut pembelanya, Yap Thiam Hien, hal itu tidak melanggar aturan.

Jasa Soebandrio kepada Negara

Tidak jelas apakah Soekarno atau Sjahrir yang menugaskannya ke London selepas proklamasi. Namun, sejak 1946 sampai 1956, Soebandrio memperjuangkan kepentingan Indonesia di luar negeri. Dia menjabat duta besar untuk Uni Soviet 1954–1956 sebelum ditarik Soekarno sebagai Sekjen Kementerian Luar Negeri. Setahun setelah itu, dia menjadi menteri luar negeri selama 9 tahun sampai 1966. Ketika dia menjabat menteri luar negeri, terlaksana pembebasan Irian Barat (1963) dan terselenggara Asian Games IV (1962) serta Ganefo (1963).

Pada 1962, Soebandrio diangkat menjadi wakil perdana menteri yang menangani masalah luar negeri. Selain itu, dia mengepalai Badan Pusat Intelijen yang menjadi koordinator antara unit intelijen di empat Angkatan Bersenjata dan Kejaksaan Agung. Tetapi, dalam urusan itu pun, fokus Soebandrio adalah masalah luar negeri. Dia juga menjadi koordinator urusan Irian Barat.

Soebandrio jelas sangat berjasa dalam bidang politik luar negeri dan diplomasi pembebasan Irian Barat. Dia sempat praktik dokter bedah di Batavia pada zaman penjajahan sebelum terjun ke dunia politik. Dia aktif dalam PSI Sjahrir pascaproklamasi dan pada 1946 merintis pembentukan perwakilan Indonesia di Inggris, kemudian berturut-turut menjadi duta besar di London dan Moskow.

Pada 1957, Soebandrio menjadi Sekjen Kementerian Luar Negeri dan selanjutnya menjabat menteri luar negeri sampai 1966. Ketika meninggal pada 2004, dua mantan menteri luar negeri, Roeslan Abdulgani dan Ali Alatas, datang ke rumah duka untuk memberikan penghormatan terakhir. Kematiannya mendapat perhatian internasional seperti diberitakan surat kabar The Guardian dan The New York Times.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar