Kamis, 11 Desember 2014

Aksi Heroik Perubahan Kurikulum

                           Aksi Heroik Perubahan Kurikulum

Didik P Wicaksono  ;   Pemerhati Masalah Kebijakan dan Implementasi Pendidikan; Kepala Lembaga Penerbitan, Penelitian, dan Pengabdian Masyarakat (LP3M) IAI Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo
JAWA POS,  10 Desember 2014

                                                                                                                       


KURIKULUM 2013 (K13) oleh penggagasnya diibaratkan kapal Nabi Nuh. Gelombang air adalah perubahan. Air yang datang bisa sangat besar, bisa juga surut. Karena itu, diperlukan wadah seperti kapal yang mampu menyesuaikan diri terhadap besar dan kuatnya gelombang. Jika ingin selamat, bangsa Indonesia harus berlayar bersama ’’kapal M. Nuh’’ K13.

Alih-alih membawa keselamatan bangsa, ’’kapal itu’’ kini malah berbelok di tangan nakhoda baru. Mendikbud baru (Anies Baswedan) justru menganalogikan K13 sebagai tanker yang memiliki panjang badan 500 meter. ’’Untuk membelokkan arah laju kapal tangker itu, tidak bisa langsung. Butuh berjalan 10 km dulu, baru benar-benar terlihat beloknya,’’ (Jati Diri, Jawa Pos, 9/12/2014). Kapal kurikulum –pendidikan di Indonesia– mau berbelok, kemudian melaju ke mana?

Semua paham, perubahan kurikulum merupakan keniscayaan. Namun, harus dipersiapkan pula dengan matang. Tercatat sepuluh kali perubahan kurikulum sejak Indonesia merdeka. Yakni, kurikulum 1947, 1964, 1968 (pembaruan 1964), 1975, 1984, 1994, 1997 (revisi 1994), 2004 (KBK), 2006 (KTSP), dan 2013. Sepanjang sejarah perubahan kurikulum tersebut, yang paling heboh dan kontroversial adalah perubahan K13 yang di-launching pada akhir periode pemerintahan.

K13 seperti ’’kejar tayang’’, tergesa-gesa, dan dipaksakan. Pada 2013, kuri kulum tersebut diimplementasikan secara terbatas. Sekolah yang tidak ditunjuk sebagai sekolah sasaran tidak dianjurkan turut mengimplementasikannya. Namun, pada tahun pelajaran 2014, semua sekolah harus ber-K13. Yang belum ber-K13 dipaksa untuk melakukan matrikulasi. Kebijakan itu seakan memberikan kesan bahwa semua sekolah di Indonesia serentak telah mengimplementasikan K13. Tidak ada evaluasi terlebih dahulu dan memahami berbagai hambatan yang menyertainya.

Perjuangan mengegolkan K13 sangat heroik, mulai menyakinkan legislatif (DPR RI), kajian akademik dan sosialisasi yang singkat, hingga proteksi K13 melalui berbagai relugasi, baik peraturan pemerintah (PP) maupun peraturan kementerian pendidikan dan kebudayaan (permendikbud). Bahkan, Kemendikbud pun meng-handle pengadaan buku yang didistribusikan ke seluruh sekolah se-Indonesia yang akhirnya justru menjadi bumerang.

Ketika mendapat kritik bahwa implementasi K13 tidak memiliki landasan hukum dan bahkan bertentangan dengan Standar Nasional Pendidikan sebagaimana terdapat dalam PP Nomor 19 Tahun 2005, muncullah regulasi PP Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. 

Demikian pula halnya dengan permedikbud. Lebih dari 15 permendikbud terkait dengan K13 muncul hingga Oktober 2014. Ada permendikbud-permendikbud itu yang direvisi, diperbaiki, dan bahkan ’’dikubur’’ permendikbud sebelumnya. Belum disosialisasikan dan dipahami satu relugasi muncul regulasi yang lain. Misalnya, penilaian yang sebelumnya merujuk kepada Permendikbud Nomor 81A Tahun 2013 harus berganti dengan Nomor 104 Tahun 2014. Itulah sebabnya, ketika menemukan ketidakkonsistenan, tidak jarang pelaku pendidikan kompak ’’daripada galau lebih baik menunggu permen(dikbud) yang pasti’’. Memang, diakui atau tidak, selain konsep K13 belum matang, kedodoran di tingkat implementasinya.

Tidak mau kalah heroik, akhirnya Anies Baswedan melalui surat elektronik nomor:179342/MPK/KR/2014 memutuskan, sekolah yang baru menerapkan satu semester untuk kembali ke kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP). Sedangkan sekolah yang sudah menerapkan tiga semester tetap meneruskan K13.

Kontroversi baru pun bermunculan. Dunia pendidikan gonjang-ganjing. Ada yang menyambut gembira, namun ada pula yang menyayangkan. Sekolah yang telanjur melaksanakan K13, meski baru satu semester galau, untuk apa mundur kembali ke KTSP kalau pada akhirnya K13 tetap diimplementasikan. Sebaliknya, bagi sekolah yang sudah melaksanakan tiga semester, untuk apa pula meneruskan K13 kalau akhirnya laju kapal benar-benar berbelok ke arah yang berbeda.

Beberapa pemerintah daerah (melalui kepala dinas pendidikannya) dengan gagah, meski bingung, tetap melanjutkan K13. Di daerah lain justru mengapresiasi dan mendukung penghentian total K13. Kini perubahan kurikulum ibarat mengubah kanal TV, bergantung siapa yang memegang remote.

Kita menyaksikan perubahan kurikulum seakan aksi heroik kementerian ’’ganti menteri ganti kurikulum’’. Dalam tataran teori, tidak ada kesulitan menjelaskan kehebatan dan kelebihan suatu kurikulum. Namun, belum ada bukti yang meyakinkan bahwa kurikulum hebat sama hebatnya di tataran praksis implementasinya. Faktanya, setiap perubahan kurikulum selalu memiliki argumentasi logis sembari menyebut sederet kelemahan dan ketidaklayakan kurikulum sebelumnya. Dahulu, saat sosialisasi dan implementasi, bagaimana wujud KBK (2004) yang ideal berlangsung harus berganti KTSP (2006). Kalangan pendidik yang belum sepenuhnya memahami esensi KTSP harus pula mengimplementasikan K13. Saat mulai antusias dengan K13, sebagian kalangan pendidik harus kembali kepada KTSP.

Keputusan sudah diambil. Ada baiknya Kemendikbud berfokus kepada tata kelola pendidikan, terus semangat memuliakan dan menciptakan guru yang berkompeten. Apa pun kurikulumnya! Sengatan Daniel M. Rosyid di Jawa Pos (8/12/2014) Kita tidak butuh sekolah, apalagi kurikulum layak di dengar. Bahkan, bukan tidak mungkin kelak –di era digital– sekolah menjadi museum. Sumber belajar di mana-mana!  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar