Totalitas
Kepemimpinan
Asep Salahudin ; Dekan Fakultas Syariah IAILM Pesantren
Suryalaya Tasikmalaya
|
MEDIA
INDONESIA, 04 Desember 2014
MEMBACA profil manusia pergerakan
hari ini ialah membaca potret-potret agung manusia Indonesia yang total
menjalani hidup sebagai pemimpin. Mereka sejak awal telah mempersiapkan diri
sebagai calon pemimpin bangsa. Contohnya, seperti terlibat aktif dalam
diskusi, suntuk membaca, aktif menuangkan gagasan dalam tulisan, dan menyusun
kekuatan menghadapi kaum kolonial baik melalui senjata, pena, maupun lewat
jalan diplomasi. Bahkan, ketika mereka harus di buang ke tempat yang jauh
sekalipun, totalitas itu tidak pernah menyusut. Tempat pembuangan, seperti
Ende, Flores, Bandaneira, dan Sukamiskin justru bagi mereka menjadi hikmah
tersembunyi, yakni menjelma ruang untuk melakukan ziarah intelektual dan
spiritual yang tanpa batas.
Bukankah Sukarno intim
mempelajari agama (Islam) di Ende, melakukan korespondensi dengan A Hassan,
melakukan renungan keagamaan yang mendalam, bahkan dengan tajam berkuasa
mengkritik praktik dan nalar keagamaan yang dianggapnya tidak sesuai dengan
tanda-tanda zaman. Di Boven Digoel, Hatta yang kutu buku semakin intens
melakukan pengembaraan akal budi ke alam pikiran Yunani. Ia malah sempat
menulis buku filsafat, “...filsafat
berguna untuk penerang pikiran dan penetapan hati. Ia membawa kita ke dalam
alam pikiran, alam nurani semata-mata. Dan oleh karena itu, melepaskan kita
dari pengaruh tempat dan waktu.” Di samping itu, juga kamar penjara yang
dingin dan lembap menjadi ruang penempaan kekuatan diri dan penghayatan yang
utuh terhadap nasib rakyat yang diperjuangkannya, serta menjadi pintu masuk
untuk menyatu dengan dengus napas masyarakat yang diperjuangkannya. Hatta,
seperti dikutip Emil Salim yang mengatakan, “Kita masygul dan bersedih hati karena ketua kita, Ir Soekarno, serta
beberapa pemimpin kita yang lain, masih dalam tahanan. Kita sakit hati
melihat nasibnya di dalam bui. Tetapi, kita tidak harus menundukkan kepala.
Tiap-tiap pemimpin yang menyerbukan dirinya ke dalam golongan rakyat telah
mengetahui lebih dahulu, bahwa hidupnya tidak akan senang, bahwa ia tidak
selama-lamanya akan tidur di atas kasur kapas yang enak.“
Debat ideologis
Maka tidak aneh ketika Indonesia
merdeka, sosoksosok seperti itulah yang hadir mengisi pusat-pusat kekuasaan
dan mengartikulasikan kiprah politik mereka dengan mengagumkan. Pasca-1945,
seandainya mereka harus bergesekan dengan `kawan seperjuangan', hal itu
dilakukan tidak atas dasar kebencian, tetapi semata saling menunjukkan siapa
yang terbaik di antara semuanya. Itu untuk meneguhkan pilihan, mana
`ideologi' paling tepat mengisi ruang negara yang masih mencari bentuk.
Debat ideologis di Gedung
Konstituante antara kelompok nasionalis, komunis,dan islam dilakukan dengan
mengedepankan kekuatan logika dan nalar menjulang. Bukan asal ngomong atau
menyampaikan gagasan semata untuk mengejar kepentingan kekuasaan,
popularitas, apalagi pencitraan.Apa pun ideologi yang mereka perjuangkan satu
sama lainnya, di halaman belakangnya terpampang hasrat menjadikan `rakyat'
sebagai subjek utama dalam seluruh perjuangan mereka.
Mereka diikat ingatan tujuan
bernegara yang telah disepakati bersama, “...melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial.”
Seandainya gagasan yang mereka
kukuhi tidak tersalurkan dan atau menganggap kekuasaan sudah tidak selaras
lagi dengan keyakinan dan prinsip-prinsip mereka, mereka tanggalkan seluruh
jabatan itu tanpa merasa berat hati. Seperti yang dilakukan Natsir, Syahrir,
Syafruddin Prawiranegara, dan Juanda, bahkan Hatta sebagai dwitunggal dan
proklamator, tidak merasa berat menanggalkan jabatan wapres 1956 karena sudah
merasa tidak cocok dengan sistem bernegara yang dijalankan Bung Karno.
Dahsyatnya, walaupun manusia
pergerakan itu bermufaraqah dan bersimpangan jalan, tidak membuat hubungan
pribadi itu retak. Silaturahmi tersebut terus berjalan dengan harmonis.
Mereka tetap saling menghormati. Alih-alih menebar fitnah dan menjelekjelekkan
satu dengan lainnya justru malah saling mengagumi dengan bahasa dan cara yang
berbeda. Elit masyumi mengunjungi kader PKI yang sakit, kelompok marhaen
berangkulan dengan Masyumi dan NU.
Seorang Hatta yang telah
berpisah dengan Sukarno, sekalipun ternyata ia masih takzim kepada Bung
Karno, seperti terbaca dari jawaban yang disampaikannya di hadapan mahasiswa
dalam sebuah kunjungan ke kampus, “Dalam
beberapa hal harus saya akui, saya sering berbeda pendapat dengan Bung Karno.
Tetapi, Bung Karno ialah Presiden RI, negara yang kami perjuangkan
bertahun-tahun secara bersamasama. Sebagai warga negara RI yang ditegakkan
atas dasar Pancasila, tentu saya harus mematuhi perintah pemimpin. Ini tidak
mengurangi hormat saya pada Bung Karno. Presiden dari Negara RI yang saya
cintai“ (Meutia Hatta, 1981).
Cermin hari ini
Tentu saja sejarah manusia
pergerakan dalam kepemimpinan bukan sekadar bacaan yang harus dihafal atau
dikenang, tetapi sudah seharusnya menjadi teladan bersama untuk menjadi
contoh konkret politik harian kita. Justru itu menjadi sangat relevan di
tengah atmosfer bangsa kita yang mengalami surplus kepemimpinan. Namun,
defisit manusia yang total kepemimpinannya dan langkanya orang yang utuh
mengkhidmatkan dirinya untuk kepentingan khalayak.
Pemimpin selalu dipilih rakyat.
Datang bagi yang terpilih dan pergi bagi yang tidak memenuhi jumlah suara
pemilih. Kita mengharapkan ada banyak pemimpin yang membekas dalam palung
kaum pemilihnya. Demokrasi yang dirayakan dengan gempita melahirkan pemimpin
yang dapat mempercepat tergelarnya negara kesejahteraan.
Hari ini yang sering kita dapati
ialah para pemimpin yang tidak bisa melepaskan diri mereka dari kepentingan
kaum. Mereka nyaris hanya loyal secara total kepada pemimpin partai ketimbang
memiliki loyalitas kepada kepentingan rakyat. Para kader partai lebih takut
kepada ketua umum partai ketimbang terhadap masyarakat.
Dalam suasana anomali seperti
itu, tidaklah heran kalau cerita yang selalu datang ialah terpaan kabar
tentang para anggota dewan yang lupa terhadap segenap janji yang telah
disampaikan mereka. Dan lebih parah lagi, tidak sedikit berita yang datang ke
telinga para pemilih ialah hikayat kerumunan pemimpin yang terjerat kasus dan
akhirnya harus mendekam di terali besi.
Dahulu,
manusia pergerakan di penjara dahulu kemudian menjadi penguasa. Sekarang
terutama pascareformasi, menjadi penguasa dahulu setelah itu digiring KPK
masuk penjara sampai ‘membusuk’. Tragisnya, peristiwa kelam seperti itu terus
terulang. Selalu. Seakan seperti tidak kapok. Semoga revolusi mental yang
diusung Presiden Joko Widodo dan kabinet kerjanya bisa memutus peristiwa
kelam seperti tersebut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar