Jumat, 05 Desember 2014

Totalitas Kepemimpinan

                                           Totalitas Kepemimpinan

Asep Salahudin  ;   Dekan Fakultas Syariah IAILM Pesantren Suryalaya Tasikmalaya
MEDIA INDONESIA,  04 Desember 2014

                                                                                                                       


MEMBACA profil manusia pergerakan hari ini ialah membaca potret-potret agung manusia Indonesia yang total menjalani hidup sebagai pemimpin. Mereka sejak awal telah mempersiapkan diri sebagai calon pemimpin bangsa. Contohnya, seperti terlibat aktif dalam diskusi, suntuk membaca, aktif menuangkan gagasan dalam tulisan, dan menyusun kekuatan menghadapi kaum kolonial baik melalui senjata, pena, maupun lewat jalan diplomasi. Bahkan, ketika mereka harus di buang ke tempat yang jauh sekalipun, totalitas itu tidak pernah menyusut. Tempat pembuangan, seperti Ende, Flores, Bandaneira, dan Sukamiskin justru bagi mereka menjadi hikmah tersembunyi, yakni menjelma ruang untuk melakukan ziarah intelektual dan spiritual yang tanpa batas.

Bukankah Sukarno intim mempelajari agama (Islam) di Ende, melakukan korespondensi dengan A Hassan, melakukan renungan keagamaan yang mendalam, bahkan dengan tajam berkuasa mengkritik praktik dan nalar keagamaan yang dianggapnya tidak sesuai dengan tanda-tanda zaman. Di Boven Digoel, Hatta yang kutu buku semakin intens melakukan pengembaraan akal budi ke alam pikiran Yunani. Ia malah sempat menulis buku filsafat, “...filsafat berguna untuk penerang pikiran dan penetapan hati. Ia membawa kita ke dalam alam pikiran, alam nurani semata-mata. Dan oleh karena itu, melepaskan kita dari pengaruh tempat dan waktu.” Di samping itu, juga kamar penjara yang dingin dan lembap menjadi ruang penempaan kekuatan diri dan penghayatan yang utuh terhadap nasib rakyat yang diperjuangkannya, serta menjadi pintu masuk untuk menyatu dengan dengus napas masyarakat yang diperjuangkannya. Hatta, seperti dikutip Emil Salim yang mengatakan, “Kita masygul dan bersedih hati karena ketua kita, Ir Soekarno, serta beberapa pemimpin kita yang lain, masih dalam tahanan. Kita sakit hati melihat nasibnya di dalam bui. Tetapi, kita tidak harus menundukkan kepala. Tiap-tiap pemimpin yang menyerbukan dirinya ke dalam golongan rakyat telah mengetahui lebih dahulu, bahwa hidupnya tidak akan senang, bahwa ia tidak selama-lamanya akan tidur di atas kasur kapas yang enak.“

Debat ideologis

Maka tidak aneh ketika Indonesia merdeka, sosoksosok seperti itulah yang hadir mengisi pusat-pusat kekuasaan dan mengartikulasikan kiprah politik mereka dengan mengagumkan. Pasca-1945, seandainya mereka harus bergesekan dengan `kawan seperjuangan', hal itu dilakukan tidak atas dasar kebencian, tetapi semata saling menunjukkan siapa yang terbaik di antara semuanya. Itu untuk meneguhkan pilihan, mana `ideologi' paling tepat mengisi ruang negara yang masih mencari bentuk.
Debat ideologis di Gedung Konstituante antara kelompok nasionalis, komunis,dan islam dilakukan dengan mengedepankan kekuatan logika dan nalar menjulang. Bukan asal ngomong atau menyampaikan gagasan semata untuk mengejar kepentingan kekuasaan, popularitas, apalagi pencitraan.Apa pun ideologi yang mereka perjuangkan satu sama lainnya, di halaman belakangnya terpampang hasrat menjadikan `rakyat' sebagai subjek utama dalam seluruh perjuangan mereka.

Mereka diikat ingatan tujuan bernegara yang telah disepakati bersama, “...melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.”

Seandainya gagasan yang mereka kukuhi tidak tersalurkan dan atau menganggap kekuasaan sudah tidak selaras lagi dengan keyakinan dan prinsip-prinsip mereka, mereka tanggalkan seluruh jabatan itu tanpa merasa berat hati. Seperti yang dilakukan Natsir, Syahrir, Syafruddin Prawiranegara, dan Juanda, bahkan Hatta sebagai dwitunggal dan proklamator, tidak merasa berat menanggalkan jabatan wapres 1956 karena sudah merasa tidak cocok dengan sistem bernegara yang dijalankan Bung Karno.

Dahsyatnya, walaupun manusia pergerakan itu bermufaraqah dan bersimpangan jalan, tidak membuat hubungan pribadi itu retak. Silaturahmi tersebut terus berjalan dengan harmonis. Mereka tetap saling menghormati. Alih-alih menebar fitnah dan menjelekjelekkan satu dengan lainnya justru malah saling mengagumi dengan bahasa dan cara yang berbeda. Elit masyumi mengunjungi kader PKI yang sakit, kelompok marhaen berangkulan dengan Masyumi dan NU.

Seorang Hatta yang telah berpisah dengan Sukarno, sekalipun ternyata ia masih takzim kepada Bung Karno, seperti terbaca dari jawaban yang disampaikannya di hadapan mahasiswa dalam sebuah kunjungan ke kampus, “Dalam beberapa hal harus saya akui, saya sering berbeda pendapat dengan Bung Karno. Tetapi, Bung Karno ialah Presiden RI, negara yang kami perjuangkan bertahun-tahun secara bersamasama. Sebagai warga negara RI yang ditegakkan atas dasar Pancasila, tentu saya harus mematuhi perintah pemimpin. Ini tidak mengurangi hormat saya pada Bung Karno. Presiden dari Negara RI yang saya cintai“ (Meutia Hatta, 1981).

Cermin hari ini

Tentu saja sejarah manusia pergerakan dalam kepemimpinan bukan sekadar bacaan yang harus dihafal atau dikenang, tetapi sudah seharusnya menjadi teladan bersama untuk menjadi contoh konkret politik harian kita. Justru itu menjadi sangat relevan di tengah atmosfer bangsa kita yang mengalami surplus kepemimpinan. Namun, defisit manusia yang total kepemimpinannya dan langkanya orang yang utuh mengkhidmatkan dirinya untuk kepentingan khalayak.

Pemimpin selalu dipilih rakyat. Datang bagi yang terpilih dan pergi bagi yang tidak memenuhi jumlah suara pemilih. Kita mengharapkan ada banyak pemimpin yang membekas dalam palung kaum pemilihnya. Demokrasi yang dirayakan dengan gempita melahirkan pemimpin yang dapat mempercepat tergelarnya negara kesejahteraan.

Hari ini yang sering kita dapati ialah para pemimpin yang tidak bisa melepaskan diri mereka dari kepentingan kaum. Mereka nyaris hanya loyal secara total kepada pemimpin partai ketimbang memiliki loyalitas kepada kepentingan rakyat. Para kader partai lebih takut kepada ketua umum partai ketimbang terhadap masyarakat.

Dalam suasana anomali seperti itu, tidaklah heran kalau cerita yang selalu datang ialah terpaan kabar tentang para anggota dewan yang lupa terhadap segenap janji yang telah disampaikan mereka. Dan lebih parah lagi, tidak sedikit berita yang datang ke telinga para pemilih ialah hikayat kerumunan pemimpin yang terjerat kasus dan akhirnya harus mendekam di terali besi.

Dahulu, manusia pergerakan di penjara dahulu kemudian menjadi penguasa. Sekarang terutama pascareformasi, menjadi penguasa dahulu setelah itu digiring KPK masuk penjara sampai ‘membusuk’. Tragisnya, peristiwa kelam seperti itu terus terulang. Selalu. Seakan seperti tidak kapok. Semoga revolusi mental yang diusung Presiden Joko Widodo dan kabinet kerjanya bisa memutus peristiwa kelam seperti tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar