Jumat, 05 Desember 2014

Kanjeng Fuad dan Tuhan yang Rapuh

                       Kanjeng Fuad dan Tuhan yang Rapuh

Abrari Alzael  ;   Budayawan Madura
JAWA POS,  04 Desember 2014

                                                                                                                       


AKHIR tahun lalu, saya diundang Pemkab Bangkalan untuk menjadi host dalam sebuah acara, Refleksi Satu Tahun Kepemimpinan Makmun Ibnu Fuad sebagai Bupati Bangkalan, di pendapa kabupaten itu. Salah satu yang berbicara dalam acara tersebut adalah Fuad Amin Imron selaku penasihat bupati saat itu.

Bupati Bangkalan Makmun Ibnu Fuad juga menjadi narasumber dalam forum tersebut. Dia menjelaskan secara teoretis masa depan Bangkalan menjadi lebih maju, baik dari sisi konsep maupun praktik. Dia menjelaskan secara normatif sebagaimana bupati daerah lain memberikan penjelasan yang tidak jauh berbeda. ’’Tolong, kami (pemkab) dibantu agar pembangunan tepat sasaran, efektif, dan efisien,’’ jelas Makmun.

Ketika tiba giliran Fuad, audiens tersenyum dan sebagian tertawa lepas. Terutama ketika Fuad mengatakan bahwa bupati Bangkalan adalah Momon (sapaan Makmun Ibnu Fuad) dan hal itu tidak terbantahkan. Tetapi, kalau bapak Bupati (orang tua bupati), Fuad menegaskan tidak ada yang lain. ’’Kalau bapak Bupati (ayahnya bupati), ya saya,’’ ujar Fuad bercanda saat itu yang disambut tepuk tangan hadirin.

Secara semiotik, penjelasan Fuad yang remeh-temeh tersebut mengandung makna yang sangat dalam. Dia berbicara dengan senda gurau, tetapi substansinya ingin menegaskan bahwa Fuad tetap menjadi ’’raja’’ di Bangkalan. Meski, karena konstitusi, dia tidak bisa mencalonkan diri sebagai bupati untuk periode ketiga.

Fuad masih ingin menjelaskan bahwa bupati boleh berganti (anaknya), tetapi pemegang otoritas tetap dirinya. Dengan posisi Fuad yang masih memegang power itulah, rakyat Bangkalan lebih akrab memberikan label baru bagi dia sebagai Kanjeng.

Pada kesempatan yang lain, Fuad sering membuat lelucon dalam konteks yang berbeda. Saat diduga menggunakan ijazah palsu dalam pencalonan bupati 2003, Fuad berusaha berkelit dengan gayanya. Dia memberikan pengakuan secara canda tawa dengan kata-katanya yang terkenal. ’’Kalau saya lulus SD (waktu itu), saya tidak mendaftar bupati, tetapi bisa calon gubernur,’’ katanya bergurau.

Toh, akhirnya Fuad tidak saja lolos sebagai calon bupati, namun juga lolos menjadi bupati Bangkalan hingga dua periode. Sampai akhirnya, dia digantikan anaknya. Beberapa saudara maupun kerabatnya juga duduk di DPRD Bangkalan dengan menampilkan Fuad sebagai ketua dewan.

Dari aspek kekuasaan, Fuad berpotensi melakukann apa saja, termasuk melaksanakan pekerjaan yang idealnya tidak seharusnya Fuad berada di situ. Namun, hal tersebut dilakukannya karena dia menjadi Kiai Mustakim (tokoh dalam ludruk Madura yang mengerjakan amal baik dan buruk pada saat yang bersamaan). Di sisi lain, Fuad disapa Kanjeng yang juga berarti hanya bisa memerintah.

Dalam situasi yang serbatangguh itu, Fuad disebut ’’Tuhan Kedua’’ oleh Jawa Pos (Rabu, 3/12/2014) dan ceritanya sebagai tuhan pun berakhir. Fuad ditangkap KPK (2/12) karena diduga terkait dengan rasuah kompensasi pengadaan lahan untuk akses Suramadu dan PT MISI pada 2013. Sebagai tuhan kedua versi Jawa Pos dan Kiai Kanjeng, Fuad memiliki peluang untuk melakukan seperti yang dituduhkan, tidak melaksanakan yang didugakan, maupun berpotensi mengerjakan sesuatu yang jauh lebih buruk dari yang disangkakan.

Invinita Kembar     

Dalam satu tubuh Fuad, terdapat dimensi yang beragam. Dia, misalnya, adalah seorang kiai yang merupakan cucu ulama besar Madura, Syaikhona Kholil. Pada konteks ini, nasab (genetika) Fuad luar biasa besar mengingat posisi kakeknya, Syaikhona Kholil, setara dengan Hasyim Asy’ari (pendiri NU) yang memiliki cucu Gus Dur (Abdurrahman Wahid). Tetapi, meski sama-sama cucu ulama besar dari aspek nasab, nasib Gus Dur dan Ra Fuad sama sekali berbeda dari berbagai konten. Itu menegaskan bahwa kemuliaan seseorang bukan ditentukan turunan, melainkan diciptakan, diusahakan.

Terlepas bahwa Fuad diduga melakukan sejumlah hal yang dituduhkan, tentu itu manusiawi. Sebagai warga negara, Fuad berhak diadili dan dipulihkan namanya jika akhirnya tidak terbukti berbuat seperti yang dituduhkan. Namun, dari sisi sangkaan kelam atas Fuad, masih terdapat katup-katup lain yang menarik untuk direnungkan. Sebab, sesungguhnya dia sosok yang cerdas, meski akhirnya memungkinkan untuk melacurkan kecerdasannya kepada sesuatu yang lain yang tidak memerlukan kecerdasan di situ.

Kasus Fuad ini mengingatkan kita pada Kan’an, putra Nabi Nuh yang ngeyel dan akhirnya tenggelam karena tidak naik perahu yang memberinya kedamaian. Kan’an lari ke daratan tinggi dan berharap banjir tidak mengejarnya. Tetapi, benar yang disampaikan Emha Ainun Nadjib, banjir tidak bisa dibendung. Semakin dibendung aliran banjir, daya tekannya kian deras. Kan’an yang putra seorang nabi dan mengingkari kebaikan saat itu menemui hal lain, yang melampaui kebaikan itu sendiri. Begitu pula Fuad yang tidak lain adalah cucu Syaikhona Kholil, saat sesuatu yang diyakini baik oleh kebanyakan, menerima sesuatu yang lain karena kebanyakan uang.

Sosok Fuad di Madura, khususnya di Bangkalan, memosisikan dan diposisikan sebagai Godfather. Dia termasuk lora khilaf, turunan kiai atau ulama yang berbeda dari gejala umum. Umumnya, SDM yang dibesarkan dalam tradisi pondok pesantren tampil sebagai sosok yang berwibawa, alim, dan disegani karena ilmunya tinggi. Mulanya, Fuad menampilkan diri sebagai sosok yang berwibawa, terutama saat aktif dalam kepengurusan Banser, NU, serta Bassra (Badan Silaturrahim Ulama Pesantren Se-Madura).

Tetapi, saat masuk ke pusaran politik, ada sesuatu yang terjadi di situ. Fuad pun menjadi pribadi yang agak amnesia untuk sekadar pulang sebagaimana leluhurnya mengatakan, lakona lakone, kennenganna kennengnge ben asalla je’ kaloppae (kerjakan pekerjaanya, tempati posisinya, dan jangan pernah lupa asal). Pada jalan politik yang sempit, gelap, licin, dan di kiri-kanan sungai, di sirkuit itulah akhirnya Fuad bermain.

Meski demikian, dalam konteks Fuad sebagai apa pun, dia berhak dibela. Sebab, di jagat ini, hanya satu zat yang tidak perlu dibela: Tuhan sebagaimana tulisan Gus Dur, Tuhan Tidak Perlu Dibela. Saat ini, Fuad sedang ketiban sial, meski semua orang yakin masih banyak yang setara atau lebih pantas diduga korup. Namun, sebagai hayawanun natiq (manusia yang rasional), siapa pun akhirnya akan jatuh tempo pada masanya. Ini serupa tupai yang melompat, toh akhirnya sebagai tupai ia pasti mengalami kejatuhan dan ia akan bernyanyi, Sakitnya tuh di sini...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar