Kanjeng
Fuad dan Tuhan yang Rapuh
Abrari Alzael ; Budayawan Madura
|
JAWA
POS, 04 Desember 2014
AKHIR
tahun lalu, saya diundang Pemkab Bangkalan untuk menjadi host dalam sebuah acara,
Refleksi Satu Tahun Kepemimpinan Makmun Ibnu Fuad sebagai Bupati Bangkalan,
di pendapa kabupaten itu. Salah satu yang berbicara dalam acara tersebut
adalah Fuad Amin Imron selaku penasihat bupati saat itu.
Bupati
Bangkalan Makmun Ibnu Fuad juga menjadi narasumber dalam forum tersebut. Dia
menjelaskan secara teoretis masa depan Bangkalan menjadi lebih maju, baik
dari sisi konsep maupun praktik. Dia menjelaskan secara normatif sebagaimana
bupati daerah lain memberikan penjelasan yang tidak jauh berbeda. ’’Tolong,
kami (pemkab) dibantu agar pembangunan tepat sasaran, efektif, dan efisien,’’
jelas Makmun.
Ketika
tiba giliran Fuad, audiens tersenyum dan sebagian tertawa lepas. Terutama
ketika Fuad mengatakan bahwa bupati Bangkalan adalah Momon (sapaan Makmun
Ibnu Fuad) dan hal itu tidak terbantahkan. Tetapi, kalau bapak Bupati (orang
tua bupati), Fuad menegaskan tidak ada yang lain. ’’Kalau bapak Bupati
(ayahnya bupati), ya saya,’’ ujar Fuad bercanda saat itu yang disambut tepuk
tangan hadirin.
Secara
semiotik, penjelasan Fuad yang remeh-temeh tersebut mengandung makna yang
sangat dalam. Dia berbicara dengan senda gurau, tetapi substansinya ingin
menegaskan bahwa Fuad tetap menjadi ’’raja’’ di Bangkalan. Meski, karena
konstitusi, dia tidak bisa mencalonkan diri sebagai bupati untuk periode
ketiga.
Fuad
masih ingin menjelaskan bahwa bupati boleh berganti (anaknya), tetapi
pemegang otoritas tetap dirinya. Dengan posisi Fuad yang masih memegang power
itulah, rakyat Bangkalan lebih akrab memberikan label baru bagi dia sebagai
Kanjeng.
Pada
kesempatan yang lain, Fuad sering membuat lelucon dalam konteks yang berbeda.
Saat diduga menggunakan ijazah palsu dalam pencalonan bupati 2003, Fuad
berusaha berkelit dengan gayanya. Dia memberikan pengakuan secara canda tawa
dengan kata-katanya yang terkenal. ’’Kalau saya lulus SD (waktu itu), saya
tidak mendaftar bupati, tetapi bisa calon gubernur,’’ katanya bergurau.
Toh,
akhirnya Fuad tidak saja lolos sebagai calon bupati, namun juga lolos menjadi
bupati Bangkalan hingga dua periode. Sampai akhirnya, dia digantikan anaknya.
Beberapa saudara maupun kerabatnya juga duduk di DPRD Bangkalan dengan
menampilkan Fuad sebagai ketua dewan.
Dari
aspek kekuasaan, Fuad berpotensi melakukann apa saja, termasuk melaksanakan
pekerjaan yang idealnya tidak seharusnya Fuad berada di situ. Namun, hal
tersebut dilakukannya karena dia menjadi Kiai Mustakim (tokoh dalam ludruk
Madura yang mengerjakan amal baik dan buruk pada saat yang bersamaan). Di
sisi lain, Fuad disapa Kanjeng yang juga berarti hanya bisa memerintah.
Dalam
situasi yang serbatangguh itu, Fuad disebut ’’Tuhan Kedua’’ oleh Jawa Pos
(Rabu, 3/12/2014) dan ceritanya sebagai tuhan pun berakhir. Fuad ditangkap
KPK (2/12) karena diduga terkait dengan rasuah kompensasi pengadaan lahan
untuk akses Suramadu dan PT MISI pada 2013. Sebagai tuhan kedua versi Jawa
Pos dan Kiai Kanjeng, Fuad memiliki peluang untuk melakukan seperti yang
dituduhkan, tidak melaksanakan yang didugakan, maupun berpotensi mengerjakan
sesuatu yang jauh lebih buruk dari yang disangkakan.
Invinita
Kembar
Dalam
satu tubuh Fuad, terdapat dimensi yang beragam. Dia, misalnya, adalah seorang
kiai yang merupakan cucu ulama besar Madura, Syaikhona Kholil. Pada konteks
ini, nasab (genetika) Fuad luar biasa besar mengingat posisi kakeknya,
Syaikhona Kholil, setara dengan Hasyim Asy’ari (pendiri NU) yang memiliki
cucu Gus Dur (Abdurrahman Wahid). Tetapi, meski sama-sama cucu ulama besar
dari aspek nasab, nasib Gus Dur dan Ra Fuad sama sekali berbeda dari berbagai
konten. Itu menegaskan bahwa kemuliaan seseorang bukan ditentukan turunan,
melainkan diciptakan, diusahakan.
Terlepas
bahwa Fuad diduga melakukan sejumlah hal yang dituduhkan, tentu itu
manusiawi. Sebagai warga negara, Fuad berhak diadili dan dipulihkan namanya
jika akhirnya tidak terbukti berbuat seperti yang dituduhkan. Namun, dari
sisi sangkaan kelam atas Fuad, masih terdapat katup-katup lain yang menarik
untuk direnungkan. Sebab, sesungguhnya dia sosok yang cerdas, meski akhirnya
memungkinkan untuk melacurkan kecerdasannya kepada sesuatu yang lain yang
tidak memerlukan kecerdasan di situ.
Kasus
Fuad ini mengingatkan kita pada Kan’an, putra Nabi Nuh yang ngeyel dan akhirnya tenggelam karena
tidak naik perahu yang memberinya kedamaian. Kan’an lari ke daratan tinggi
dan berharap banjir tidak mengejarnya. Tetapi, benar yang disampaikan Emha
Ainun Nadjib, banjir tidak bisa dibendung. Semakin dibendung aliran banjir,
daya tekannya kian deras. Kan’an yang putra seorang nabi dan mengingkari
kebaikan saat itu menemui hal lain, yang melampaui kebaikan itu sendiri.
Begitu pula Fuad yang tidak lain adalah cucu Syaikhona Kholil, saat sesuatu
yang diyakini baik oleh kebanyakan, menerima sesuatu yang lain karena
kebanyakan uang.
Sosok
Fuad di Madura, khususnya di Bangkalan, memosisikan dan diposisikan sebagai Godfather. Dia termasuk lora khilaf,
turunan kiai atau ulama yang berbeda dari gejala umum. Umumnya, SDM yang
dibesarkan dalam tradisi pondok pesantren tampil sebagai sosok yang
berwibawa, alim, dan disegani karena ilmunya tinggi. Mulanya, Fuad
menampilkan diri sebagai sosok yang berwibawa, terutama saat aktif dalam
kepengurusan Banser, NU, serta Bassra (Badan Silaturrahim Ulama Pesantren
Se-Madura).
Tetapi,
saat masuk ke pusaran politik, ada sesuatu yang terjadi di situ. Fuad pun
menjadi pribadi yang agak amnesia untuk sekadar pulang sebagaimana leluhurnya
mengatakan, lakona lakone, kennenganna
kennengnge ben asalla je’ kaloppae (kerjakan pekerjaanya, tempati
posisinya, dan jangan pernah lupa asal). Pada jalan politik yang sempit,
gelap, licin, dan di kiri-kanan sungai, di sirkuit itulah akhirnya Fuad
bermain.
Meski demikian, dalam konteks Fuad sebagai apa pun, dia berhak dibela.
Sebab, di jagat ini, hanya satu zat yang tidak perlu dibela: Tuhan
sebagaimana tulisan Gus Dur, Tuhan
Tidak Perlu Dibela. Saat ini, Fuad sedang ketiban sial, meski semua orang
yakin masih banyak yang setara atau lebih pantas diduga korup. Namun, sebagai
hayawanun natiq (manusia yang rasional), siapa pun akhirnya akan jatuh tempo
pada masanya. Ini serupa tupai yang melompat, toh akhirnya sebagai tupai ia
pasti mengalami kejatuhan dan ia akan bernyanyi, Sakitnya tuh di sini... ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar