Senin, 15 Desember 2014

Palmerah Expres

                                                      Palmerah Expres

Bre Redana  ;   Penulis kolom “Catatan Minggu” Kompas Minggu
KOMPAS,  14 Desember 2014

                                                                                                                       


Berada di kereta jurusan Serpong-Tanah Abang untuk mencapai Palmerah serasa berada pada masa lalu, sekarang, dan masa datang. Kereta api cenderung menimbulkan romantisisme semacam itu. Pada kereta Senja dari Jakarta menuju Jawa Tengah dulu, sebelum perumahan dan pabrik menyebar ke mana-mana, Anda menikmati hijau persawahan, gunung di kejauhan, tenangnya pantai utara saat dini hari, dan lain-lain. Di atas Prambanan Ekspres atau Prameks yang menghubungkan dua kota lama, Yogya-Solo, sampai saat ini Anda masih akan melewati candi-candi kuno yang merupakan jejak kebudayaan Hindu-Jawa di sekitar Kalasan dan Prambanan.

Tak bisa disangkal eratnya kaitan kereta api dengan sejarah peradaban manusia. Perkembangan urban dan lahirnya metropolitan-metropolitan dunia dipicu oleh lahirnya moda transportasi ini. Pada mulanya, kereta api memecahkan masalah pengangkutan bahan makanan untuk menghidupi kota. Suplai bisa berasal dari mana saja, tidak sebatas wilayah pinggiran seperti masa sebelumnya.

Kota tak perlu bercocok tanam. Putusnya kota untuk memproduksi bahan makanannya sendiri membawa konsekuensi pada perkembangan penghuninya. Mereka juga menjadi terputus dari sumber alam yang menghidupinya. Muncullah manusia kota, manusia urban, yang teralienasi dari alam dan kehidupan.

Perubahan yang makin dipicu oleh industri dan teknologi ini ternyata tak bisa berkembang linier saja. Pada satu titik, manusia menyadari, sumber daya alam tak bakal mencukupi untuk memenuhi hasrat manusia yang seolah bisa dipuaskan tanpa batas. Alam bukan semata-mata warisan mbah kalian. Sekarang, studi-studi urbanisme selalu mempertimbangkan unsur keterbatasan sumber daya untuk keberlangsungan hidup di masa depan, atau istilahnya yang terkenal: sustainability.

Menjadi ingat acara Architecture Triennale di Norwegia setahun lalu. Meski acara ini berurusan dengan arsitektur, dalam workshop ataupun seminar tak ada orang memperbincangkan gedung dan bangunan. Apalagi ”modern minimalis” seperti istilah para pengembang di televisi kita. Hoekk. Yang diperbincangkan di situ lebih soal cara hidup kita.

Ditunjukkan, misalnya, suatu komunitas modern di sebuah negara di Skandinavia yang membangun kompleks huniannya dengan konsep pengembangan hidup bersama. Rumah-rumah mereka diintegrasikan oleh satu ruang publik berupa halaman besar yang menjadi wilayah bersama. Pemikirannya kira-kira: satu kampung satu halaman.

Hah, bukankah itu cara kita bermasyarakat dulu? Yang melahirkan konsep atau istilah ”kampung halaman” tercinta. Belum lagi komunitas-komunitas lain yang dipresentasikan oleh peserta, misalnya mereka yang tinggal di semacam rumah panjang seperti dalam masyarakat adat kita. Dapur berupa dapur umum. Ini titik balik, mempertautkan kembali manusia yang terpisahkan oleh teknologi informasi, kembali pada semangat bebrayatan.

Comfort atau kenyamanan yang menjadi tema seminar ditafsir bukan bagaimana Anda bisa membangun rumah semewah-mewahnya, semua serba mahal dan bermerek, melainkan bagaimana Anda bisa beradaptasi dengan lingkungan. Sederhananya begini: kalau Anda merasa aman, nyaman, tinggal di kompleks karena petugas satpam menjaga 24 jam, itu keamanan semu. Yang tidak semu adalah kalau lingkungan tetangga saling menjaga. Sejak lama, wilayah-wilayah pinggiran atau suburb di negara maju mencoba memecahkan masalah neighborhood watch ini.

Kereta, entah itu di London yang menjadi asal-muasal commuter line, Paris, Tokyo, New York, Singapura, Bangkok, dan lain-lain, merupakan gejala urbanisme. Jakarta menuju ke sana, dengan sistem perkeretaapian yang mudah-mudahan tambah hari bertambah baik.

Pada jam-jam sibuk, penumpang berdesak-desakan. Wartawan sering menulis: penumpang rela berdesak-desakan. Ini juga pikiran yang perlu dibongkar. Kami terpaksa, tidak rela, keadaannya memang masih seperti ini, Bung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar