Palmerah
Expres
Bre Redana ; Penulis kolom “Catatan Minggu” Kompas Minggu
|
KOMPAS,
14 Desember 2014
Berada
di kereta jurusan Serpong-Tanah Abang untuk mencapai Palmerah serasa berada
pada masa lalu, sekarang, dan masa datang. Kereta api cenderung menimbulkan
romantisisme semacam itu. Pada kereta Senja dari Jakarta menuju Jawa Tengah
dulu, sebelum perumahan dan pabrik menyebar ke mana-mana, Anda menikmati
hijau persawahan, gunung di kejauhan, tenangnya pantai utara saat dini hari,
dan lain-lain. Di atas Prambanan Ekspres atau Prameks yang menghubungkan dua
kota lama, Yogya-Solo, sampai saat ini Anda masih akan melewati candi-candi
kuno yang merupakan jejak kebudayaan Hindu-Jawa di sekitar Kalasan dan
Prambanan.
Tak bisa
disangkal eratnya kaitan kereta api dengan sejarah peradaban manusia.
Perkembangan urban dan lahirnya metropolitan-metropolitan dunia dipicu oleh
lahirnya moda transportasi ini. Pada mulanya, kereta api memecahkan masalah
pengangkutan bahan makanan untuk menghidupi kota. Suplai bisa berasal dari
mana saja, tidak sebatas wilayah pinggiran seperti masa sebelumnya.
Kota tak
perlu bercocok tanam. Putusnya kota untuk memproduksi bahan makanannya
sendiri membawa konsekuensi pada perkembangan penghuninya. Mereka juga
menjadi terputus dari sumber alam yang menghidupinya. Muncullah manusia kota,
manusia urban, yang teralienasi dari alam dan kehidupan.
Perubahan
yang makin dipicu oleh industri dan teknologi ini ternyata tak bisa
berkembang linier saja. Pada satu titik, manusia menyadari, sumber daya alam
tak bakal mencukupi untuk memenuhi hasrat manusia yang seolah bisa dipuaskan
tanpa batas. Alam bukan semata-mata warisan mbah kalian. Sekarang,
studi-studi urbanisme selalu mempertimbangkan unsur keterbatasan sumber daya
untuk keberlangsungan hidup di masa depan, atau istilahnya yang terkenal: sustainability.
Menjadi
ingat acara Architecture Triennale
di Norwegia setahun lalu. Meski acara ini berurusan dengan arsitektur, dalam workshop ataupun seminar tak ada orang
memperbincangkan gedung dan bangunan. Apalagi ”modern minimalis” seperti
istilah para pengembang di televisi kita. Hoekk. Yang diperbincangkan di situ
lebih soal cara hidup kita.
Ditunjukkan,
misalnya, suatu komunitas modern di sebuah negara di Skandinavia yang
membangun kompleks huniannya dengan konsep pengembangan hidup bersama.
Rumah-rumah mereka diintegrasikan oleh satu ruang publik berupa halaman besar
yang menjadi wilayah bersama. Pemikirannya kira-kira: satu kampung satu
halaman.
Hah,
bukankah itu cara kita bermasyarakat dulu? Yang melahirkan konsep atau
istilah ”kampung halaman” tercinta. Belum lagi komunitas-komunitas lain yang
dipresentasikan oleh peserta, misalnya mereka yang tinggal di semacam rumah
panjang seperti dalam masyarakat adat kita. Dapur berupa dapur umum. Ini
titik balik, mempertautkan kembali manusia yang terpisahkan oleh teknologi
informasi, kembali pada semangat bebrayatan.
Comfort atau kenyamanan yang menjadi
tema seminar ditafsir bukan bagaimana Anda bisa membangun rumah
semewah-mewahnya, semua serba mahal dan bermerek, melainkan bagaimana Anda
bisa beradaptasi dengan lingkungan. Sederhananya begini: kalau Anda merasa
aman, nyaman, tinggal di kompleks karena petugas satpam menjaga 24 jam, itu
keamanan semu. Yang tidak semu adalah kalau lingkungan tetangga saling
menjaga. Sejak lama, wilayah-wilayah pinggiran atau suburb di negara maju
mencoba memecahkan masalah neighborhood watch ini.
Kereta,
entah itu di London yang menjadi asal-muasal commuter line, Paris, Tokyo, New
York, Singapura, Bangkok, dan lain-lain, merupakan gejala urbanisme. Jakarta
menuju ke sana, dengan sistem perkeretaapian yang mudah-mudahan tambah hari
bertambah baik.
Pada jam-jam sibuk, penumpang berdesak-desakan. Wartawan sering
menulis: penumpang rela berdesak-desakan. Ini juga pikiran yang perlu
dibongkar. Kami terpaksa, tidak rela, keadaannya memang masih seperti ini,
Bung. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar