Kamis, 11 Desember 2014

Tantangan Korupsi pada Era Maritim

                       Tantangan Korupsi pada Era Maritim

Bambang Widjojanto  ;   Komisioner KPK
KOMPAS,  11 Desember 2014

                                                                                                                       


TANTANGAN pemberantasan korupsi pada tahun mendatang kian menarik. Kinerja pemberantasan korupsi tahun 2014 yang diapresiasi beragam kalangan akan ”bersentuhan” dengan fokus pembangunan yang mendapat perhatian terbesar, yang diarahkan pada maritim, energi, dan pangan, selain sektor infrastruktur dan perizinan.

Transparansi Internasional (TI) baru saja mengeluarkan indeks persepsi korupsi (IPK) 2014. IPK Indonesia adalah 34. Artinya, persepsi upaya pemberantasan korupsi Indonesia hanya naik dua poin dibandingkan dengan tahun lalu meski secara peringkat posisi Indonesia meningkat menjadi ke-107 dari semula pada posisi ke-114 dari 175 negara yang disurvei.

Pelayanan terintegrasi

Ada prinsip dan beberapa hal penting dalam menilai dan meletakkan IPK dalam seluruh konteks program dan upaya pemberantasan korupsi. Banyak pihak mafhum dan sepakat, IPK tak dapat dijadikan satu-satunya indikator untuk mengukur keberhasilan pemberantasan korupsi. Misalnya, sejauh mana dinamika keterlibatan publik dan pembangunan budaya anti korupsi tengah dilakukan.

Selain itu, ada beberapa indeks lain yang dibuat sendiri secara utuh dan teliti terkait kemajuan pemberantasan korupsi secara spesifik di Indonesia. Sebutlah seperti Survei Integritas Layanan Publik (SILP), Survei Perilaku Anti Korupsi (SPAK), dan Indonesia Governance Index (IGI).

Hasilnya ternyata ada peningkatan sehingga sejalan dengan peningkatan di IPK. Misalnya, indeks SPAK meningkat menjadi 3,66 dari semula 3,55 dengan skala 0-5. Skor rata-rata IGI menunjukkan adanya peningkatan kualitas tata kelola pemerintahan di tingkat provinsi yang semula 5,1 menjadi 5,7.

IPK yang disusun TI adalah komposit dari sejumlah survei lain, seperti International Country Risk Guide (ICRG), World Economic Forum (WEF), Global Insight (GI), Bertelsmann Foundation Transformation (BFT), Political and Economic Risk Consultancy (PERC), Economic Intelligent Unit (EIU), dan World Justice Project (WJP). Apabila indeks komposit tersebut diteliti, setidaknya ada tiga indeks internasional, yaitu WEF, GI, dan WJP, yang memberikan persepsi lebih baik di sektor perizinan karena mengalami peningkatan sehingga menyumbang peningkatan IPK.

Salah satu indeks yang meningkat cukup tinggi adalah indeks GI, yang semula pada angka 22 meningkat menjadi 33. Indeks ini mengukur indeks korupsi di sektor bisnis yang terkait dengan perizinan. Hal serupa juga pada indeks WEF dari 39 menjadi 43, yang mengukur suap untuk ekspor-impor, pelayanan publik dasar, pajak tahunan, dan kontrak publik-perizinan.

Pada keseluruhan konteks di atas, upaya KPK bersama sejumlah departemen dan 12 pemerintah provinsi beserta semua kabupaten/kota—misalnya di sektor kehutanan, pertambangan, dan pajak serta pelayanan publik dasar—dalam membangun pelayanan terintegrasi dan berintegritas serta melakukan debottlenecking perlu terus dilanjutkan. Khususnya dalam memberikan perhatian lebih di sektor pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Faktanya, di sektor hutan, tambang, dan pajak telah terjadi peningkatan penerimaan pajak.

Upaya pemberantasan korupsi di sektor maritim untuk mendorong percepatan pembangunan pada sektor ini harus jadi salah satu fokus perhatian KPK dan penegak hukum lain. Itu karena tantangan atas sektor ini akan jadi sangat khas dan spesifik.

Lihat saja, sebagai contoh, pada 2014 ini Kementerian Dalam Negeri menyatakan, jumlah pulau di Indonesia 17.504 dan dari jumlah itu, 9.634 belum mempunyai nama. Ternyata, informasi dari Badan Informasi Geospasial pada 7 Mei 2014 menyatakan, jumlah pulau di Indonesia hanya sebanyak 13.446. Jumlah itu sudah tercatat di United Nations Groups of Experts on Geographical Names (UN GEGN). Kalau klaim jumlah pulau saja kita belum satu kata, bagaimana dengan soal kemaritiman lainnya?

Indonesia berbatasan dengan 10 negara lain dan ada 92 pulau terluar yang dijadikan sebagai garis pangkal batas wilayah Indonesia dengan negara lain. Hilangnya satu atau beberapa pulau itu membawa akibat pada makin berkurangnya sumber daya laut Indonesia, selain mengakibatkan luas wilayah Indonesia menjadi makin menyusut.

Ada fakta terkait dengan tantangan yang harus segera dihadapi, yakni akibat perubahan iklim menyebabkan permukaan air laut kian meninggi. Hal itu berpengaruh secara langsung terhadap keberadaan pulau terluar dan jumlah pulau di Indonesia. Ini dapat mengakibatkan perubahan dan bahkan penyusutan garis batas pangkal wilayah Indonesia, yang juga berpengaruh pada wilayah teritorial dan sumber daya yang dimiliki Indonesia.

Sumber korupsi

Fakta lain yang perlu mendapatkan perhatian, selama ini laut menjadi salah satu sumber korupsi dan kejahatan lain yang tidak pernah ditangani secara sistemik dan terstruktur oleh sistem kekuasaan, termasuk oleh aparatur penegak hukumnya. Problem illegal fishing harus dimaknai secara luas bukan sekadar pencurian ikan di wilayah teritorial laut Indonesia, melainkan ”pengurasan dan perampokan” atas sumber daya laut dan/atau melalui sarana laut.

Nyatanya, penyelundupan bahan bakar minyak ke luar Indonesia ataupun penyelundupan beragam komoditas asing ke dalam Indonesia tanpa pajak sepeser pun, masalah perdagangan manusia, penyelundupan narkoba besar-besaran karena Indonesia bukan lagi sebagai tempat transit melainkan daerah tujuan terjadi melalui dan menggunakan sarana serta prasarana laut dan kelautan Indonesia.

Begitu juga dengan pencurian sebagian besar kekayaan sumber daya alam Indonesia menggunakan laut sebagai bagian dari sarana kejahatannya. Tak mungkin semua kejahatan illegal logging, perampokan hasil tambang mulai dari batubara, tembaga, timah, nikel, biji besi, hingga gas dan minyak dilakukan tidak melalui laut untuk mengapalkannya ke luar Indonesia. Ada lebih dari 300 persen pelabuhan tak terdaftar di seluruh wilayah garis pantai Indonesia dan hanya sekitar 100 pelabuhan yang terdaftar dan memiliki infrastruktur.

Belum lagi ada tendensi lain yang kian menguat, yaitu penguasaan pantai dan pulau oleh konglomerasi hitam tengah terjadi secara intensif dan sistematis. Kelak hal ini tidak hanya memarjinalkan rakyat, tetapi merebut secara sengaja dan ”legal” semua sumber daya laut tidak untuk sebesar-besarnya kepentingan dan kemakmuran rakyat. Lebih-lebih adanya fakta bahwa politik pembangunan yang selama ini dikembangkan di Indonesia lebih berorientasi pada daratan bukan pada laut.

Apabila kita sepakat tidak lagi hendak memunggungi laut, perlu dilakukan hal-hal berikut. Pertama, penguasaan kedaulatan sesuai dengan garis pantai harus dilakukan secara maksimal. Kedua, orientasi pembangunan hukum, khususnya program legislasi nasional, harus diarahkan pada kepentingan dan pengelolaan sumber daya laut. Ketiga, pembangunan infrastruktur maritim dan agraris harus terintegrasi dengan akuntabilitas yang tinggi melalui Sistem Integritas Nasional yang konsepsinya sudah dibuat KPK dan kini ada di Bappenas. Keempat, tradisi, budaya, etos, dan spiritualitas laut dan kelautan Indonesia harus dikuatkan dan dikembangkan.

Semoga semangat Dewa Ruci dan lagu ”Nenek Moyangku Seorang Pelaut” dapat jadi modal awal untuk menjadikan laut sebagai pintu masuk pengembangan peradaban Indonesia masa mendatang yang dipadupadankan dengan teknologi informasi, komunikasi, dan digitalisasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar