Jihad
Anti Korupsi
Dedi Haryadi ; Deputi Sekretaris Jenderal Transparansi
Internasional Indonesia
|
KOMPAS,
11 Desember 2014
KEMATIAN
beberapa orang Palestina karena kekerasan tentara zionis Israel sudah cukup
membuat kalian marah, protes, turun ke jalan, mengepung gedung kedutaan
sambil menyebut nama Allah keras-keras. Malah di antaranya ada yang ingin
ikut berperang, bertaruh nyawa di sana.
Mengapa
saat di tempat kalian ini berada, ada 34.000 bayi mati setiap tahun, kalian
tak menunjukkan gereget dan tindakan, pembelaan yang sama? Jika empati pada
penderitaan dan kematian orang Palestina didasarkan pada kesamaan agama,
emosi keagamaan yang sama, bukankah orangtua dari bayi-bayi yang mati itu
sebagian besar seagama dengan kalian?
Itu
bukan pertanyaan saya, tetapi pertanyaan Ganjar Kurnia, Rektor Universitas
Padjadjaran, ketika berbicara dalam sebuah forum diskusi menyambut inaugurasi
pemerintah Joko Widodo-Jusuf Kalla, di Bandung. Saya perlu mengaksentuasikan
lagi pertanyaan itu karena selain relevan dan kontekstual, dalam banyak segi
ia juga menohok kesadaran kita yang paling dalam. Ada banyak muatan
transformatif yang melekat pada pertanyaan itu.
Altruisme rabun dekat
Pertama,
pertanyaan itu menyadarkan kita yang selama ini kerap mengidap rabun dekat
dalam melihat dan menilai isu yang berkembang di tengah masyarakat. Padahal,
penglihatan dan penilaian itu jadi dasar dalam merajut kerja-kerja altruisme
kita. Rabun dekat itu, secara sosiologis, tak bisa melihat isu sosial dengan
jelas dari dekat. Sementara isu sosial yang jauh tampak jelas. Akibatnya,
kita mau dan berani berkorban apa saja untuk sesuatu yang nun jauh di sana.
Yang dekat dan terjangkau tak terlihat sehingga luput dari kerja-kerja
altruistik kita. Bukan tak boleh menggarap isu dan problem yang jauh di sana,
tetapi akan lebih elok apabila yang ada dalam genggaman kita sendiri digarap
dan dibereskan dulu.
Kedua,
pertanyaan itu juga mengingatkan kita tentang perlunya mengubah orientasi dan
arena jihad. Kalau peperangan, di luar negeri lagi, begitu menggoda dan
memukau seseorang untuk berjihad, sekarang semangat dan energi jihad itu
harus diarahkan ke dalam negeri untuk mengatasi beragam problem salah urus,
salah tata kelola. Matinya puluhan ribu bayi itu jelas bukan kutukan Allah,
tetapi akibat salah urus: salah urus anggaran, hutan, laut, ikan, gelombang
televisi/radio, tambang, minyak, gas, dan lain-lain.
Kita
baru melek sekarang ini dari informasi yang disampaikan Menteri Kelautan dan
Perikanan Susi Pudjiastuti bahwa laut dan kekayaannya tak dijaga dengan baik.
Kita punya kapal patroli, tetapi bahan bakar minyaknya tidak cukup. Pantaslah
apabila kekayaan laut kita dijarah orang. Selain itu, kita juga belanja subsidi
BBM untuk sektor perikanan mencapai Rp 11 triliun, sedangkan pendapatan yang
masuk ke kas negara hanya sekitar Rp 300 miliar. Subsidi BBM di sini juga
dinikmati pemilik kapal penangkap ikan skala besar, bahkan nelayan asing. Itu
baru salah urus tentang laut dan ikan, belum lagi tambang, hutan, minyak,
gas, dan lainnya.
Kekuasaan
dan kewenangan yang memusat, penegakan hukum lemah, pemimpin yang tak amanah,
serta kontrol publik lemah menjadikan pengelolaan sumber daya tersebut
terdistorsi sehingga hanya menguntungkan sebagian elite masyarakat, bahkan
pihak asing. Sebagian besar masyarakat tak banyak ikut menikmati kekayaan
negeri ini. Padahal, konstitusi kita mengamanatkan seluruh kekayaan itu untuk
kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Problem terbesar bangsa ini sekarang
adalah bagaimana mencegah dan memberantas korupsi dan pemborosan dalam
pengelolaan sumber daya tersebut. Maka, di sinilah urgensi kehadiran para
jihadis anti korupsi itu.
Transformasi
semangat dan arena jihad juga perlu dilakukan bukan hanya dalam konteks luar
versus dalam negeri atau isu perang versus anti korupsi, melainkan juga
isu-isu lokal lain. Ada baiknya semangat, energi, dan pemikiran terbaik juga
dialihkan dari isu-isu konvensional seperti razia minuman keras, narkoba,
perjudian, pelacuran ke isu anti korupsi. Biarlah aparat yang menegakkan
hukum untuk mengatasi problem penyakit masyarakat tersebut. Intervensi kita
di sini paling bagaimana mendorong kepolisian supaya melakukan tugasnya
dengan baik dan benar.
Ketiga,
saat ini kita defisit aktivitas anti korupsi. Regenerasi dan pengaderan
mengalami kemandekan sehingga jumlah aktivis anti korupsi bisa dihitung
dengan jari dan hanya terkonsentrasi di kota-kota besar. Padahal, problem dan
risiko korupsi masih tetap tinggi, baik di pusat maupun di daerah. Demikian
juga korupsi lintas batas dan kejahatan keuangan lain masih mengancam
kedaulatan dan pertumbuhan perekonomian kita. Dalam konteks mengatasi
kelangkaan aktivis anti korupsi, di sinilah kita butuh banyak jihadis anti
korupsi. Sejumlah kelompok masyarakat dan organisasi keagamaan (apa pun) bisa
ikut ambil bagian menyiapkan dan memasok jihadis anti korupsi.
Menang atau syahid
Diperkirakan
tak terlalu sulit merekrut jihadis anti korupsi. Mengapa? Insentifnya memang
sangat menarik. Jihad itu hanya menawarkan dua kemungkinan: menang atau mati
syahid. Mati syahid itu ganjarannya surga dan keridaan Allah. Kalau Allah
rida, itu berarti tinggal niat yang benar dan lurus bahwa semua tindakan
jihad kita hanya karena Allah. Allah yang mana? Inilah yang mengharuskan
jihadis anti korupsi itu inklusif. Ia melampaui batas-
batas
satu agama dan keyakinan. Jihadis anti korupsi bisa datang dari kalangan
monteisme Ibrahim seperti Judaisme, Kristen, Islam, dan juga dari agama dan
keyakinan lain: Hindu, Buddha, Khonghucu, Sunda Wiwitan, dan lain-lain.
Istilah
jihadis anti korupsi tidak akan bentrok dan tidak perlu dipertentangkan
dengan istilah aktivis anti korupsi. Dalam bingkai gerakan pluralisme,
biarkan dua istilah itu bergandengan dan hidup berdampingan. Aktivis itu
mungkin lebih sekuler dan abangan, gerakannya mungkin didorong oleh semangat
humanisme bukan keagamaan. Dan, di belakangnya mungkin ada beragam kelompok
penyandang dana (lembaga donor).
Sekuler
dan abangannya para aktivis anti korupsi bisa dilihat dari anekdot ini. Kalau
memulai atau mengakhiri kegiatan, seperti diskusi, seminar, atau pelatihan,
biasanya mereka juga berdoa, bukan menurut agama, melainkan berdasarkan funding agency masing masing. Namun,
jika ada aktivis anti korupsi berbayar ingin bertransfromasi jadi jihadis
anti korupsi, boleh juga. Tak perlu risau dengan ketelanjuran jadi aktivis
anti korupsi berbayar. Jihadis anti korupsi tak ada kaitannya dengan masalah
upah-mengupah.
Tinggal
perbaiki dan luruskan niat saja. Mereposisi dari aktivis jadi jihadis anti
korupsi memang lebih menarik, selain kemungkinannya menang dan syahid, juga
berupah dan karier yang bagus. Beberapa pentolan aktivis anti korupsi kita
sudah diserap dan memegang posisi dan peranan strategis di dalam institusi
negara (kementerian), kuasi negara (Komisi Pemberantasan Korupsi), atau satu
gugus tugas negara (Tim Refomasi Tata Kelola Migas).
Aktivitas
atau program pencegahan dan pemberantasan korupsi yang dikembangkan para
jihadis bisa sama atau berbeda dengan yang sudah dikembangkan aktivis anti
korupsi selama ini. Namun, tentu saja mengembangkan hal yang baru dan berbeda
jauh lebih diinginkan. Selain menghindari kesamaan dan tumpang tindih, juga
harus mencerminkan semangat transformatif. Bisa saja, misalnya, para jihadis
anti korupsi mengembangkan satu model advokasi anti korupsi berbasis syariah.
Turunan model ini, misalnya, memunculkan sikap menolak didanai lembaga hibah
dari negara-negara Eropa atau Amerika, tetapi membolehkan menerima dana hibah
dari Timur Tengah.
Peluang
sangat terbuka. Di tingkat programatik, aktivis anti korupsi—yang berbasis
Facebook, Twitter, Path, Instagram, atau yang lain—sangat kesulitan dan
hampir pasti tak mungkin mengorganisasikan dan mengembangkan pembangkangan
sosial melawan korupsi. Jihadis anti korupsi dengan kekuatan jaringan
organisasi keagamaannya bisa jadi lebih mudah—meski bukan tanpa
kesulitan—untuk mewujudkan hal ini. NU, misalnya, adalah organisasi keagamaan
pertama yang mewacanakan perlunya pembangkangan sosial dalam melawan korupsi.
Belum operasional memang, tetapi potensi itu ada. Sekali disepakati dan
diterjemahkan ke dalam praksis, ia bisa menggelinding seperti bola salju
dalam melawan korupsi.
Radikalisasi
Berbeda
dengan upaya mencegah terorisme yang memerlukan program deradikalisasi, upaya
menumbuhkan jihadis anti korupsi justru memerlukan program radikalisasi.
Semangat, pandangan, dan cara mencegah dan memberantas korupsi harus lebih
radikal. Indeks persepsi korupsi kita tahun 2014 ini naik sedikit ketimbang
dua tahun sebelumnya, dari 30 menjadi 32 (dari skala 0-100). Peringkatnya
juga membaik dari urutan ke-118 menjadi urutan ke-107 dari 178 negara yang
diperingkat. Peningkatan yang amat lambat ini menunjukkan strategi dan
pendekatan kita dalam mencegah dan memberantas korupsi kurang radikal.
Upaya meradikalisasi warga, jemaah, atau aktivis untuk menjadi jihadis
anti korupsi tidak terlalu sulit. Bangunan teologis dan fikih jihad anti
korupsi bisa diracik. Demikian juga desain pelatihan, aktivitas setelah
pelatihan, fasilitator atau instruktur pelatihan, pendanaan, serta
keberlanjutan gerakan bisa dirancang. Tinggal sungguh-sungguh saja. Ada
ungkapan Arab yang terkenal di kalangan santri, yang juga saya yakini
mengandung kebenaran, man jadda wajadda, siapa sungguh-sungguh pasti (ia)
sukses. Jihad itu (bukan perang) tidak lain adalah berupaya sungguh-sungguh. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar