Kabar
Gembira Perppu Pilkada
Saldi Isra ; Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat
Studi Konstitusi
Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
|
KOMPAS,
11 Desember 2014
“KABAR gembira bagi kita semua, partai politik
pendukung KMP setuju Perppu Pilkada”. Boleh jadi, pelesetan iklan
ekstrak kulit manggis yang acap kali menghiasi layar kaca ini cocok
menggambarkan prospek persetujuan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati,
dan Wali Kota. Penegasan dukungan nyata parpol pendukung Koalisi Merah Putih
(KMP) dikemukakan Wakil Ketua Partai Gerindra Fadli Zon. Bahkan, Ketua Umum
Partai Golkar versi Munas Bali, Aburizal Bakrie, yang semula menolak,
berbalik mendukung peraturan yang diterbitkan saat injury time Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Dengan
adanya pernyataan kedua tokoh sentral KMP ini, persetujuan Perppu No 1/2014
hanya menunggu waktu penyelenggaraan masa sidang DPR yang dimulai Januari
2015. Meski demikian, segala kemungkinan masih bisa terjadi dalam proses
persetujuan di DPR.
Alat konsolidasi
Jika
ditelusuri tahap akhir pembahasan RUU Pilkada setelah hasil pemilu anggota
legislatif (pileg) serta pemilu presiden dan wakil presiden (pilpres)
diketahui, isu perubahan model pemilihan ini dapat dikatakan jadi alat
konsolidasi politik kekuatan politik di DPR. Paling tidak, penggunaan isu ini
sebagai alat konsolidasi dan penggalang kekuatan politik sangat terasa di
barisan parpol pendukung KMP.
Gejala
awal penggunaan isu tersebut dapat dilacak dari upaya sungguh-sungguh parpol
pendukung pasangan capres dan cawapres Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Hampir
dapat dipastikan, perubahan sikap mayoritas parpol di DPR dari semula
mendukung model pemilihan langsung menjadi pemilihan oleh DPRD menjadi amunisi
yang meneguhkan barisan pendukung KMP. Perimbangannya sangat sederhana,
jikalau dipilih DPRD, merujuk hasil Pileg 2014, mayoritas kepala daerah akan
dikuasai KMP. Dengan isu ini, KMP hadir menjadi blok politik yang sangat
solid.
Bahkan,
ketika proses pemilihan pimpinan DPR berlangsung, isu model pilkada menjadi
instrumen kunci untuk mendapatkan dukungan Partai Demokrat (PD). Dengan
menggunakan alasan KMP akan mendukung Perppu No 1/2014, sebagai kekuatan
penyeimbang, PD memilih bergabung dengan KMP. Sebagaimana kita ketahui,
dengan janji mendukung Perppu No 1/2014, KMP berhasil menguasai pimpinan DPR.
Padahal, apabila PD memindahkan dukungan kepada parpol pendukung Koalisi
Indonesia Hebat (KIH), pimpinan DPR belum tentu jatuh ke KMP.
Tak
hanya kepentingan soliditas konsolidasi di DPR, boleh jadi, secara individual
Aburizal Bakrie dapat dikatakan sebagai pihak yang meraih keuntungan dari isu
pilkada oleh DPRD. Sejumlah kalangan menduga, salah satu isu yang
dimanfaatkan Aburizal untuk dapat dukungan bulat dalam munas di Bali:
komitmen Partai Golkar mempertahankan pilkada dilakukan DPRD. Karena itu, di
ujung munas di Bali, Aburizal merasa perlu menegaskan sikap Partai Golkar
untuk tetap menolak Perppu No 1/2014.
Terakhir,
begitu
SBY menegaskan sikap PD untuk mendukung pilkada langsung ketika bertemu
Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, kekuatan politik KMP
harus memberikan respons secara tepat. Karena itu, sangat mungkin, demi
menjaga posisi PD tetap berada dalam barisan KMP, sebagian parpol pendukung
KMP siap mengambil posisi berbeda dengan Golkar. Bahkan, kuat dugaan, demi
soliditas KMP, Aburizal terpaksa menjilat ludah sendiri.
Sekalipun
sikap pendukung KMP harus jadi catatan khusus bagaimana parpol menggoreng dan
mengombang-ambingkan daulat rakyat dalam pilkada, perubahan sikap untuk
mendukung Perppu No 1/2014 tetap saja kabar gembira bagi kita semua. Dengan
sikap itu, pemaknaan frasa ”dipilih secara demokratis” sebagaimana termaktub
dalam Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 tetap berada dalam daulat rakyat.
Namun,
secara obyektif, KMP akan mengalami kerugian besar jika menolak Perppu No
1/2014. Berdasarkan ketentuan Pasal 22 UUD 1945, nasib Perppu No 1/2014
sangat tergantung dari pembahasan di DPR. Sekiranya anggota DPR atau
mayoritas anggota DPR menyetujui, Perppu No 1/2014 akan menjadi UU. Apabila
menolak, sangat mungkin terjadi kekosongan hukum dalam pengisian kepala
daerah.
Kemungkinan
terjadi kekosongan hukum karena ada ketentuan Pasal 52 Ayat (6) dan (7) UU No
12/2011. Berdasarkan ketentuan itu, dalam hal perppu ditolak, DPR atau
presiden mengajukan RUU tentang pencabutan perppu dan akibat hukum pencabutan
perppu. Dengan adanya keharusan itu, perbedaan antara presiden dan DPR
kemungkinan tetap terjadi. Titik perbedaan yang amat krusial menyangkut
posisi UU No 22/2014 yang telah dinyatakan tidak berlaku oleh Perppu No
1/2014. Bagaimanapun hampir dapat dipastikan presiden akan menolak
pemberlakuan kembali UU No 22/2014.
Sekiranya
kekosongan hukum benar-benar terjadi, pemilihan untuk mengisi sekitar 200
kepala daerah yang akan habis masa jabatan pada 2015 tak bisa dilakukan.
Dengan terjadi kekosongan itu, semua posisi yang habis masa jabatannya itu
akan ditentukan oleh pemerintah pusat. Artinya, jika menggunakan argumentasi
obyektif, menolak Perppu No 1/2014 sama saja membiarkan pemerintah Jokowi-JK
menentukan semua kepala daerah yang akan habis pada 2015.
Revisi terbatas
Dengan
dukungan hampir semua kekuatan politik, diharapkan proses persetujuan Perppu
No 1/2014 tidak melewati jalan berliku. Sekalipun pembahasannya menyerupai
proses pembahasan RUU biasa, pembentuk UU tak dapat melakukan perubahan
terhadap substansi perppu. Memakai logika Pasal 22 UUD 1945, yang bisa
diperdebatkan hanya kebenaran alasan subyektif presiden menerbitkan perppu.
Karena
tak terbuka ruang untuk memperdebatkan substansi Perppu No 1/2014 dan
mayoritas parpol akan mendukung, seharusnya pembahasan berlangsung cepat dan
singkat. Bilamana bisa berlangsung lebih cepat, kita masih punya waktu
melakukan beberapa revisi terhadap materi UU dari Perppu No 1/2014 yang
dianggap masih perlu perbaikan.
Salah
satu isu yang dirasa perlu diperbaiki ihwal penyelesaian sengketa pemilihan (electoral dispute resolution). Setelah
Mahkamah Konstitusi menyatakan tak berwenang lagi menyelesaikan perselisihan
hasil pilkada, pembentuk UU mengembalikan penyelesaian ke Mahkamah Agung.
Padahal, dalam desain electoral dispute
resolution, pengadilan hanya salah satu jalan menyelesaikan perselisihan
pemilu. Di Thailand, misalnya, komisi pemilihan umum memiliki wewenang
menyelesaikan sengketa tertentu, termasuk mendiskualifikasi calon yang
melanggar.
Isu lain
menyangkut uji publik terhadap calon kepala daerah yang diajukan parpol.
Gagasan ini menarik, tetapi akan jauh lebih bermakna jika parpol yang dipaksa
melakukan proses penentuan calon yang terbuka dan transparan. Misalnya, cara
yang paling mungkin dilakukan adalah semacam konvensi di internal parpol.
Langkah ini perlu dilakukan agar calon tidak lahir melalui proses oligarki
parpol. Kalau gagasan ini hendak direalisasaikan, parpol yang tak melakukan
proses terbuka dan partisipatif dibatalkan hak pengajuan calonnya oleh Komisi
Pemilihan Umum.
Dengan terbukanya ruang melakukan revisi terbatas setelah menjadi UU,
kabar gembira bagi kita tidak hanya sebatas lolosnya Perppu No 1/2014 dari
hadangan DPR, tetapi juga menunggu kabar gembira berikutnya demi menghadirkan
pemilihan kepala daerah yang berkualitas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar