BPJS
Ketenagakerjaan
Sulastomo ; Anggota/Ketua Tim SJSN 2001-2004
|
KOMPAS,
06 Desember 2014
Program
jaminan sosial bagi tenaga kerja, sesuai dengan UU No 40/2004 tentang Sistem Jaminan
Sosial Nasional dan UU No 24/2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial,
kiranya akan dimulai tahun 2015. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
Ketenagakerjaan, badan publik yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan
jaminan sosial bagi tenaga kerja, yang merupakan transformasi PT (Persero)
Jamsostek, telah mempersiapkan diri memikul tanggung jawab itu. Jika semua
berjalan sesuai UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), semua pekerja akan
memiliki jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua (JHT), jaminan pensiun
(JP), jaminan kematian (JKM).
Jaminan
kesehatan akan diperoleh dari BPJS Kesehatan yang telah dimulai 2014. Dengan
kondisi seperti itu, kiranya Indonesia akan mampu memberi rasa aman sosial
bagi setiap tenaga kerja dan keluarganya, sejak lahir hingga meninggal.
Dampaknya, mungkin akan sangat besar dari aspek peningkatan daya saing dan
produktivitas kerja.
Persiapan regulasi
Meskipun
waktu sudah sangat mendesak, kita masih menunggu berbagai regulasi turunan,
yaitu peraturan pemerintah dan peraturan presiden, yang diperlukan. Adalah
harapan kita berbagai peraturan perundangan itu bisa terbit dalam waktu yang
cukup untuk dapat disosialisasikan sehingga ketergesa-gesaan sebagaimana
pelaksanaan jaminan kesehatan/Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dapat
dihindari.
Ada
kesan, terjadinya keterlambatan selama ini disebabkan masih ada perbedaan
persepsi dari para pengambil keputusan, yang notabene memutuskan terbitnya
regulasi itu. Selain itu, juga keberatan sebagian dunia usaha, antara pemberi
kerja dan pekerja, yang merasa terbebani iuran jaminan sosial. Formula
besaran iuran jaminan sosial kabarnya telah menyita perdebatan yang alot
antara pemerintah, pemberi kerja, dan pekerja. Selain itu, juga terkait
jaminan pensiun antara konsep ”manfaat pasti” dan ”iuran pasti” agar
keberlanjutannya terjamin.
Di pihak
lain, ada kepentingan bisnis dunia usaha, termasuk asing, yang menolak sebab
setiap program jaminan sosial, baik program jangka pendek (jaminan kesehatan)
maupun jangka panjang, JHT dan JKM, dapat mengganggu keberadaan sejumlah
perusahaan swasta domestik dan asing yang telah bergerak di berbagai bidang
usaha itu.
Selain
itu, khusus program jangka panjang (JHT, JP, dan JKM) akan mampu membentuk
tabungan nasional yang sangat besar. Dana jaminan sosial yang sangat besar
ini merupakan sarana meningkatkan kemampuan untuk mandiri dalam bidang
ekonomi melalui akumulasi dana jaminan sosial yang bisa dimanfaatkan untuk
membiayai proyek-proyek investasi dan membuka lapangan kerja lainnya.
Aspek politik
Mandiri
dalam bidang ekonomi dengan sendirinya akan terwujud. Kondisi seperti ini
bisa saja menjadi kendala kepentingan modal asing di Indonesia. Sementara
pelaksanaan program jaminan kesehatan akan berpengaruh pada keberadaan
industri farmasi, rumah sakit, dan asuransi kesehatan swasta, khususnya
asing. Dengan demikian, tidak hanya aspek ekonomi, kepentingan politik pun
akhirnya ikut berbicara.
Kondisi
seperti itu sebenarnya sudah diantisipasi saat pembahasan naskah akademik RUU
SJSN. Sengitnya perdebatan itu berdampak pada konsep RUU SJSN yang mengalami
perubahan sebanyak 56 kali sebelum naskah RUU SJSN diserahkan kepada DPR.
Kemauan politik pemerintahan Megawati Soekarnoputri waktu itu sangat
menentukan. Di DPR, pembahasan RUU SJSN memerlukan waktu sembilan bulan, dari
Januari sampai dengan Oktober 2004.
Meskipun
demikian, UU No 40/2004 yang dengan susah payah dipersiapkan dan telah
diputuskan itu tidak langsung diimplementasikan. Dalam UU No 40/2004
diamanatkan masa transisi lima tahun sehingga (mestinya) implementasi sudah
dimulai pada 2009. Namun, dalam kurun waktu lima tahun itu (2004-2009)
implementasinya praktis tidak ada. Berbagai peraturan perundangan turunan
yang diperlukan tidak terbit sehingga UU No 40/2004 tidak dapat diimplementasikan.
Syukurlah,
DPR 2009-2014 mengambil inisiatif untuk membuka kembali UU No 40/2004 dan
kemudian mengajukan usul inisiatif terbitnya rencana UU baru untuk
mengimplementasikan UU No 40/2004 yang kemudian dikenal sebagai UU tentang
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU No 24/2011).
Pembahasan
UU ini di DPR juga sangat alot. Meski pemerintah diwakili delapan menteri,
tidak semua menteri memiliki pendapat yang sama. Peran serikat buruh yang
melakukan demonstrasi mendesak disahkannya RUU BPJS dapat dikatakan sangat
besar. Mengagumkan bahwa semua fraksi di DPR mendukung terbitnya UU ini. UU
BPJS disahkan DPR di tengah demonstrasi serikat buruh yang mendesak
disahkannya UU itu.
Sesuai
UU No 24/2011 tentang BPJS, kini tiba saatnya kita mengimplementasikan
program jaminan sosial sebagaimana termaktub dalam UU No 40/2004 tentang
SJSN. Dalam UU BPJS, jaminan kesehatan harus sudah dimulai 2014, sedangkan
jaminan sosial bagi tenaga kerja dimulai 2015. Kalau tertunda lagi, berapa
juta pekerja yang tertunda memperoleh jaminan pensiunnya?
Harapan
UU No
40/2004, sebagaimana kita ketahui, terbit pada masa Presiden Megawati,
sedangkan UU No 24/1011 terbit masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dengan
demikian, mengesankan adanya kesinambungan jalannya pembangunan untuk
mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Khusus jaminan kesehatan, peta jalan juga sudah disiapkan, antara lain
ditargetkan bahwa pada 2019 jaminan kesehatan mencapai cakupan semesta.
Artinya, seluruh warga negara, kaya dan miskin, terlindungi dengan jaminan
kesehatan. Adalah harapan kita bahwa dengan berbagai kelemahan yang masih ada
dalam pelaksanaan JKN, target itu dapat tercapai. Untuk itu, perlu evaluasi
bahkan koreksi. Hal ini hanya dapat diwujudkan jika ada proses yang
berkelanjutan untuk mengimplementasikan UU No 40/2004 dan UU No 24/2011. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar