Kamis, 04 Desember 2014

Sepak Bola Kancil

                                                    Sepak Bola Kancil

Eddi Elison ;   Bekas Pengurus PSSI
KORAN TEMPO,  03 Desember 2014

                                                                                                                       


Pengenalan terhadap mouse deer football (sepak bola kancil) pada dasarnya terkait dengan dongeng tentang kancil, si hewan cerdik yang memiliki insting tipu muslihat luar biasa. Sampai-sampai gajah, harimau, buaya, atau ular bisa dikalahkannya hanya dengan permainan "akal-akalan"-nya.

Jika dikaitkan dengan sepak bola, permainan ala kancil baru bisa dirasakan setelah melalui pendalaman atas policy yang ditempuh pengurus PSSI dalam menggerakkan roda organisasi, demi pembinaan dan kemajuan persepakbolaan nasional--seperti tertera dalam Mukadimah Statuta PSSI. Dari empat alinea itu bisa disimpulkan bahwa PSSI merupakan alat perjuangan yang mengabdikan diri kepada bangsa dan negara dalam mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Karena itu, kegagalan di Hanoi dalam AFF Cup 2014 barusan agaknya pantas dikategorikan sebagai pendegradasian martabat bangsa. Pelatih Alfred Riedl (Austria) jelas harus bertanggung jawab, tapi pengurus PSSI tak mungkin lepas tangan. Riedl hanya bertanggung jawab soal masalah teknik, tapi PSSI bertanggung jawab atas policy yang justru dominan sebagai penyebab utama kegagalan lima timnas.

Diawali oleh timnas U-14 (pelatih Mundari Karya/Piala Asia di Uzbekistan), U-16 (pelatih Sutan Harharah/Piala AFF di Myanmar), U-19 (pelatih Indra Syafri/Piala Asia di Myanmar), U-23 (pelatih Aji Santoso/AG-XVII di Icheon), dan timnas senior (pelatih Riedl/AFF Cup di Vietnam), semua gagal. Berarti, selama kepengurusan Djohar Arifin Husin, tidak ada satu timnas pun yang berhasil.

Penyebab utama kegagalan demi kegagalan itu, jika dikaji secara mendalam, jelas terkait dengan policy yang ditempuh kepengurusan Djohar Arifin, yakni permainan "sepak bola kancil" di luar arena. Riedl mengeluhkan fisik pemainnya akibat kompetisi ISL yang panjang, berarti kompetisi yang selalu disebut-sebut sebagai jantungnya pembinaan timnas dilaksanakan dengan compang-camping. Terjadinya sepak bola gajah di Divisi Utama, selain bentrokan antarpendukung, keributan pemain atau manajer versus wasit, artinya menempatkan kompetisi sebagai "racun" bagi timnas.

Pola strategi yang diterapkan PSSI untuk kompetisi ISL/Divisi Utama bagaikan polah tingkah kancil untuk menyelamatkan dirinya. PSSI lebih cenderung mengacu pada sepak bola = uang, demi "keselamatan" pengurus, sehingga unsur pembinaan hanya 25 persen, dikalahkan unsur transaksional 75 persen. Pembinaan cabang olahraga apa pun memerlukan dana, tapi jika uang yang paling utama dikibarkan, berarti PSSI hanya memikirkan bagaimana menjual timnas, terutama hak siar ke televisi swasta, menguber sponsor--yang jelas bertentangan dengan mukadimah statuta PSSI. Apalagi insan sepak bola sampai saat ini masih bertanya-tanya tentang transparansi hasil penjualan hak siar dan sponsor itu.

Dengan mengemukakan secuil kisah "permainan kancil" ala PSSI, tentunya semakin jelas bahwa jangan hanya Riedl yang dijadikan "kambing hitam" atas kegagalan di AFF Cup Hanoi. Tapi yang paling harus bertanggung jawab adalah pengurus PSSI di bawah pimpinan Djohar Arifin Husin, bersama Wakil Ketua Umum/Ketua BTN La Nyalla Mattalitti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar