Kamis, 04 Desember 2014

Jokowi dan Pembangunan Manusia

                           Jokowi dan Pembangunan Manusia

Wahyu Susilo  ;   Analis Kebijakan Migrant Care
KOMPAS,  02 Desember 2014

                                                                                                                       


TERLEPAS siapa pun yang menjabat, inisiatif Presiden Joko Widodo untuk mengubah nomenklatur Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat menjadi Kementerian Pembangunan Manusia dan Kebudayaan patut mendapatkan apresiasi.

Inisiatif ini tentu saja harus ditindaklanjuti oleh menteri yang memegang jabatan ini dan kementerian-kementerian yang ada dalam koordinasinya untuk mengejawantahkan visi misi Nawa Cita dalam upaya menyejahterakan rakyat Indonesia.

Perhatian dan keprihatinan utama Presiden Joko Widodo mengenai kondisi pembangunan manusia Indonesia sudah kentara terlihat dalam gagasan revolusi mental dan semakin dielaborasi dalam penyusunan visi-misi Nawa Cita.

Inilah yang menjadi acuan utama dan landasan Joko Widodo maju dalam kontestasi Pemilu Presiden 2014. Kartu Indonesia Sehat dan Kartu Indonesia Pintar menjadi tawaran konkret untuk mendaratkan gagasan besar (visi-misi Nawa Cita) dalam program-program yang terukur dan dapat dievaluasi.

Ekonomi dominan

Selama ini, indikator tentang keberhasilan/kegagalan pembangunan Indonesia lebih banyak didominasi oleh indikator-indikator makroekonomi. Tentu saja kita tak bisa abai pada indikator makroekonomi, tetapi tak boleh melupakan indikator-indikator non-ekonomi untuk mengukur apakah rakyat Indonesia (kebanyakan) juga bisa menikmati apa yang dinamakan kenaikan pertumbuhan ekonomi.
Jangan pernah lupa, kita pernah terjerembab dalam pujian-pujian semu kemajuan pembangunan Indonesia oleh Bank Dunia tahun 1997.

Saat itu, dengan basis argumen pertumbuhan ekonomi yang cemerlang, stabilitas politik yang permanen dan klaim swasembada pangan yang mengesankan, Indonesia dipromosikan sebagai ”macan Asia”.

Tak lama setelah pujian tersebut, dalam sapuan krisis ekonomi regional, fundamen ekonomi Indonesia terbukti rapuh. Oleh karena itu, terlalu berbahaya kalau ukuran keberhasilan pembangunan hanya diukur dengan angka-angka statistik makroekonomi semata.

Ironisnya, selain lebih banyak mengacu pada indikator makroekonomi, kesehatan pembangunan Indonesia juga acap kali didiagnosis dengan angka-angka yang didapat dari lembaga-lembaga privat pemeringkat ekonomi dan utang (semisal Stanley Morgan, Fitch, Standard & Poor, dan sejenisnya) yang tentu penuh dengan pamrih dan kepentingan.

Kalau dilihat dari sejarah, pengukuran kualitas pembangunan melalui indikator pembangunan manusia (human development index) juga berakar dari ketidakpuasan atas dominasi pengukuran ekonomi (yang hanya berbasis pada pertumbuhan ekonomi, pendapatan per kapita, dan neraca ekspor-impor) tanpa melihat aspek-aspek lain, seperti akses dalam pendidikan dan kesehatan, lingkungan yang sehat, serta rasa aman.

Oleh karena itu, dimotori ahli-ahli ekonomi dari dunia ketiga (Mahbub Ul Haq dkk) pengukuran yang lebih komprehensif mengenai maju mundurnya pembangunan mulai diperkenalkan dan diadopsi Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) sejak 1990 sebagai human development index.

Dalam perkembangannya, penulisan human development report yang berkala ini juga disertai analisis-analisis tematik yang terkait dengan indeks pembangunan manusia, seperti lingkungan hidup, pertanian, migrasi, konflik, perubahan iklim, dan jender.

Tiga laporan

Walau usia pengukuran kualitas hidup manusia menjelang seperempat abad, Indonesia hanya pernah menyusun tiga kali laporan pembangunan manusia secara komprehensif.

Pertama tahun 1996 pada masa pemerintahan Soeharto dan kedua dan ketiga pada tahun 2001 dan 2004 pada masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri. Sementara 10 tahun masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono sama sekali tidak pernah menyusun laporan pembangunan manusia. Provinsi Aceh juga pernah menyusun laporan pembangunan manusia tahun 2010.

Di kawasan ASEAN, negara yang paling rajin menyusun laporan pembangunan manusia secara nasional adalah Kamboja (7 kali) disusul Filipina (6 kali), Thailand (5 kali), Vietnam dan Indonesia (3 kali), dan Malaysia (2 kali). Gambaran tersebut memperlihatkan betapa pengukuran kualitas hidup manusia dengan indikator indeks pembangunan manusia di Indonesia belum mendapatkan perhatian yang serius.

Tentu saja indeks pembangunan manusia ini tidak lepas dari kelemahan sehingga metodologinya selalu dievaluasi dan diperbarui. Tahun 2010, UNDP memperbarui pengukuran indeks pembangunan manusia dengan mendekatkan multidimentional poverty index yang mengukur kemiskinan tidak hanya pada dimensi pendapatan, tetapi juga berdasarkan pada ketakteraksesnya (deprivation) kebutuhan-kebutuhan dasar manusia secara bersama-sama.

Kebutuhan-kebutuhan dasar tersebut adalah kesehatan, pendidikan, dan standar kehidupan layak. Dari uji coba yang dilakukan oleh UNDP, ketika metodologi baru tersebut digunakan, terjadi pembengkakan jumlah orang miskin di dunia.

Dengan melihat akar historis dan kemanfaatan serta perkembangan yang terjadi dalam penggunaan indeks pembangunan manusia, pemerintahan Presiden Joko Widodo ditantang untuk bisa memanfaatkan instrumen tersebut sebagai salah satu cara mengukur keberhasilan/kegagalan dalam mewujudkan tujuan pokok Nawa Cita: meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia.

Namun, instrumen baru bisa berarti kalau program-program konkret, seperti Kartu Indonesia Pintar, Kartu Indonesia Sehat, penguatan masyarakat pesisir dan kepulauan, perlindungan hak-hak buruh (migran, petani, perempuan, dan kelompok-kelompok marginal lainnya), benar-benar berlangsung dan dirasakan kemanfaatannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar