Kamis, 04 Desember 2014

Refleksi di Hari Disabilitas

                                       Refleksi di Hari Disabilitas

FX Rudy Gunawan ;   Wartawan, Pendiri media disabilitas Indonesia (www.majalahdiffa.com)
KORAN TEMPO,  03 Desember 2014

                                                                                                                       


Ada persepsi yang sangat kuat menstigma disabilitas sebagai "bukan urusan penting" di antara berbagai persoalan besar, seperti kemiskinan, korupsi, konflik politik, birokrasi, pendidikan, sampai ketahanan pangan. Di Hari Disabilitas Internasional, 3 Desember ini, rasanya penting untuk merefleksikan persoalan terkait dengan hak asasi para penyandang disabilitas. Mampukah pemerintah Jokowi-JK memberikan prioritas terhadap persoalan disabilitas?

Permasalahan yang dihadapi penyandang disabilitas sangat luas, mencakup berbagai aspek, dari soal identitas, relasi sosial, aksesibilitas, aspek politik (pemenuhan hak dan partisipasi politik), aspek kebudayaan, serta aspek ekonomi (ketenagakerjaan sampai pemberdayaan). Dalam hampir semua bidang kehidupan, penyandang disabilitas terdiskriminasi. Di bidang pendidikan, hak mereka untuk mendapat pendidikan hanya tertatih di tingkat pendidikan dasar dan menengah melalui sekolah luar biasa (SLB) yang kondisinya memprihatinkan.

Menurut teori hegemoni Antonio Gramsci, demokrasi harus memberikan tempat pada keberadaan kelompok marginal agar bisa mengartikulasikan diri mereka. Penyandang disabilitas adalah kelompok marginal. Namun, karena persepsi terhadap mereka dikonstruksi oleh budaya "normalitas", dalam sistem yang demokratis pun sikap "menganggap tidak penting" mereka tetap menghegemoni.

Kini pemerintah Jokowi-JK akan langsung berhadapan dengan pekerjaan mengubah persepsi yang salah itu dengan menyediakan aksesibilitas. Ruang publik, seperti trotoar atau taman, belum menyediakan guiding block bagi tunanetra dan ram bagi pengguna kursi roda. Untuk mengubah keadaan ini, pemerintah harus mengarusutamakan wacana disabilitas dan mengintegrasikannya dalam kebijakan.

Tidak ada risiko politik dalam mengarusutamakan persoalan disabilitas ke dalam kebijakan dan program turunannya karena ini murni soal kemanusiaan. Jokowi, yang pernah menjadi wali kota sebuah kota yang dianggap surganya penyandang disabilitas, Solo, seharusnya bisa melakukan hal ini.

Yang harus dilakukan adalah mengkonstruksi persepsi bahwa penyandang disabilitas adalah manusia dengan hak dan martabat sama serta berkemampuan setara. Contoh, seorang tunadaksa kaki satu dan tangan satu di Cibinong, Jawa Barat, bisa mengendarai sepeda motor tanpa bantuan dengan terampil.

Persepsi yang salah harus didekonstruksi jika ingin mewujudkan sebuah revolusi mental. Jaques Derrida, filsuf Prancis, mengatakan apa yang dianggap sebagai tatanan kodrat pun bisa didekonstruksi jika itu tidak benar. Masyarakat yang masih percaya bahwa disabilitas merupakan kodrat akibat dosa atau kutukan harus didekonstruksi. Dalam revolusi mental Jokowi, sasarannya adalah perubahan menjadi manusia dengan mental berdikari, berdaulat, dan berkepribadian dalam bidang ekonomi, politik, dan kebudayaan.

Jika pemerintah Jokowi-JK sudah memiliki political will kuat untuk memberikan dukungan kepada suara penyandang disabilitas, ruang-ruang lain dalam tatanan masyarakat pun akan tercipta melalui sebuah proses interaksi yang alamiah. Masyarakat, dalam konteks ini, adalah masyarakat politis, di mana ada kesadaran akan hubungan kekuasaan antara kelompok dominan dan kelompok lainnya, termasuk kelompok penyandang disabilitas sebagai kelompok yang termarginalkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar