Refleksi
di Hari Disabilitas
FX Rudy Gunawan ; Wartawan, Pendiri
media disabilitas Indonesia (www.majalahdiffa.com)
|
KORAN
TEMPO, 03 Desember 2014
Ada
persepsi yang sangat kuat menstigma disabilitas sebagai "bukan urusan
penting" di antara berbagai persoalan besar, seperti kemiskinan,
korupsi, konflik politik, birokrasi, pendidikan, sampai ketahanan pangan. Di
Hari Disabilitas Internasional, 3 Desember ini, rasanya penting untuk merefleksikan
persoalan terkait dengan hak asasi para penyandang disabilitas. Mampukah
pemerintah Jokowi-JK memberikan prioritas terhadap persoalan disabilitas?
Permasalahan
yang dihadapi penyandang disabilitas sangat luas, mencakup berbagai aspek,
dari soal identitas, relasi sosial, aksesibilitas, aspek politik (pemenuhan
hak dan partisipasi politik), aspek kebudayaan, serta aspek ekonomi
(ketenagakerjaan sampai pemberdayaan). Dalam hampir semua bidang kehidupan,
penyandang disabilitas terdiskriminasi. Di bidang pendidikan, hak mereka
untuk mendapat pendidikan hanya tertatih di tingkat pendidikan dasar dan
menengah melalui sekolah luar biasa (SLB) yang kondisinya memprihatinkan.
Menurut
teori hegemoni Antonio Gramsci, demokrasi harus memberikan tempat pada
keberadaan kelompok marginal agar bisa mengartikulasikan diri mereka.
Penyandang disabilitas adalah kelompok marginal. Namun, karena persepsi
terhadap mereka dikonstruksi oleh budaya "normalitas", dalam sistem
yang demokratis pun sikap "menganggap tidak penting" mereka tetap
menghegemoni.
Kini
pemerintah Jokowi-JK akan langsung berhadapan dengan pekerjaan mengubah
persepsi yang salah itu dengan menyediakan aksesibilitas. Ruang publik,
seperti trotoar atau taman, belum menyediakan guiding block bagi tunanetra
dan ram bagi pengguna kursi roda. Untuk mengubah keadaan ini, pemerintah
harus mengarusutamakan wacana disabilitas dan mengintegrasikannya dalam
kebijakan.
Tidak
ada risiko politik dalam mengarusutamakan persoalan disabilitas ke dalam
kebijakan dan program turunannya karena ini murni soal kemanusiaan. Jokowi,
yang pernah menjadi wali kota sebuah kota yang dianggap surganya penyandang
disabilitas, Solo, seharusnya bisa melakukan hal ini.
Yang
harus dilakukan adalah mengkonstruksi persepsi bahwa penyandang disabilitas
adalah manusia dengan hak dan martabat sama serta berkemampuan setara.
Contoh, seorang tunadaksa kaki satu dan tangan satu di Cibinong, Jawa Barat,
bisa mengendarai sepeda motor tanpa bantuan dengan terampil.
Persepsi
yang salah harus didekonstruksi jika ingin mewujudkan sebuah revolusi mental.
Jaques Derrida, filsuf Prancis, mengatakan apa yang dianggap sebagai tatanan
kodrat pun bisa didekonstruksi jika itu tidak benar. Masyarakat yang masih
percaya bahwa disabilitas merupakan kodrat akibat dosa atau kutukan harus
didekonstruksi. Dalam revolusi mental Jokowi, sasarannya adalah perubahan
menjadi manusia dengan mental berdikari, berdaulat, dan berkepribadian dalam
bidang ekonomi, politik, dan kebudayaan.
Jika pemerintah Jokowi-JK sudah memiliki political will kuat untuk
memberikan dukungan kepada suara penyandang disabilitas, ruang-ruang lain
dalam tatanan masyarakat pun akan tercipta melalui sebuah proses interaksi
yang alamiah. Masyarakat, dalam konteks ini, adalah masyarakat politis, di
mana ada kesadaran akan hubungan kekuasaan antara kelompok dominan dan
kelompok lainnya, termasuk kelompok penyandang disabilitas sebagai kelompok
yang termarginalkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar