Optimalkan
Dana Desa
Joko Tri Haryanto ; Bekerja di Kementerian Keuangan
|
KORAN
JAKARTA, 08 Desember 2014
Pembangunan
desa dan daerah menjadi prioritas utama pemerintahan baru. Kue pembangunan
yang awalnya hanya berkutat di Ibu Kota dicoba lebih diratakan ke seluruh
Indonesia. Sebab ada ketimpangan pendapatan antardaerah.
Anggaran
sering dianggap sebagai masalah utama ketimpangan tersebut. Namun demikian,
pemerintah tetap concern dengan mulai dialokasikannya dana desa (DD) tahun
2015 sebagimana diperintahkan Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2014 tentang
Desa serta Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 66 Tahun 2014 tentang Dana Desa
yang Bersumber APBN.
Pemerintah
telah menyiapkan mekanisme pengalokasian dana tersebut ke provinsi,
kabupaten, dan kota. Pulau Jawa dan Sumatra memperoleh alokasi terbesar 3,6
triliun rupiah dan 1,86 triliun. Urutan selanjutnya Papua 1,37 triliun,
Sulawesi 878,6 miliar, Kalimantan 852,7 miliar, sedangkan Bali, NTT, NTB
sebesar 500 miliar. Jawa Timur mendapatkan alokasi terbesar di Jawa (1,16
triliun) untuk 30 kabupaten/kota.
Dengan mempertimbangkan jumlah daerah, Provinsi Papua memperoleh alokasi
terbesar (1,17 triliun) untuk 29 kabupaten/kota.
Dalam
Pasal 4 PP Nomor 60 Tahun 2014 disebutkan DD bersumber dari belanja
pemerintah dengan mengefektifkan program yang berbasis desa secara merata dan
berkeadilan. Sementara dalam Pasal 8 Ayat 1 dijelaskan anggaran DD merupakan
bagian dari Belanja Pusat nonkementerian/lembaga sebagai pos Cadangan DD
(CDD). Pagu CDD ini nantinya akan diajukan pemerintah kepada DPR untuk
disetujui.
Dalam
Pasal 72 Ayat (2) UU Nomor 6 Tahun 2014 juga disebutkan DD bersumber dari
belanja pusat dengan mengefektifkan program berbasis desa secara merata dan
berkeadilan. Dalam APBN 2015, pagu DD sebesar 9,06 triliun yang tercantum
dalam transfer ke daerah (630,9 triliun rupiah).
Pengelolaan
DD termuat dalam Pasal 2 PP No 60 Tahun 2014 harus ditangani secara tertib,
taat aturan, efisien, ekonomis, efektif, dan transparan. Harus disertai pula
tanggung jawab demi kepentingan masyarakat setempat. Penyelenggaraan
pemerintahan desa menganut asas desentralisasi dengan dana internal dan tugas
pembantuan berdasar dana pemerintah lebih tinggi. Pendapatan desa bersumber
dari asli desa, APBN, pajak, dan retribusi daerah.
Besaran
alokasi anggaran desa, 10 persen dari
dan di luar dana transfer ke daerah (on top) secara bertahap. APBN untuk desa
dihitung berdasarkan jumlah desa. Alokasi memperhatikan jumlah penduduk,
angka kemiskinan, luas wilayah, dan tingkat kesulitan geografis. Tujuannya
meningkatkan kesejahteraan dan pemerataan pembangunan desa.
Evaluasi
Sebelum
disahkan sempat ada polemik mengenai UU Desa. Pihak yang mendukung merasa
selama ini desa menjadi bagian wilayah yang selalu terpinggirkan. Desa
kemudian identik dengan keterbelakangan, penduduk usia renta, profesi tak
mentereng, serta kemiskinan. Penduduk usia produktif berbondong-bondong ke
kota untuk memperbaiki kesejahteraan.
Akibatnya
desa semakin terpinggirkan, sementara kota mengalami over population. Maka,
ada penilaian, guyuran dana diharapkan mampu mengubah wajah desa, minimal
menghambat arus urbanisasi.
Sementara
penentang merasa persoalan utama desa bukan sekadar tidak ada anggaran, perlu
mengubah sistem, mindset dan perilaku masyarakat yang justru lebih krusial.
Ini harus diatasi dulu agar alokasi dana yang melimpah tidak menjadi moral hazard baru aparat desa.
Berdasar data 2014 jumlah sebanyak 72.944. Tiap desa mendapat DD sebesar 1,4
miliar.
Indonesia
sebetulnya memiliki contoh terbaik dalam kasus implementasi otonomi daerah di
level kabupaten/kota. Otonomi yang sudah hampir menginjak usia 15 tahun,
justru semakin jauh dari tujuan awal. Aspek kemandirian, kematangan, serta daya
saing daerah malah tenggelam karena arus birokrasi yang semakin kompleks.
Belum lagi budaya korupsi yang merajalela serta pembentukan dinasti daerah.
Hal ini
sebetulnya tak lepas dari perbedaan cara pandang di antara pemerintah.
Awalnya otonomi diagendakan bersifat a-simetris dengan tetap mengakui
kemajemukan daerah-daerah. Kemajemukan sebagai warna tersendiri dalam potret
keindonesiaan. Pemerintah menghargai keberagaman tersebut dengan tetap
menghormati keistimewaan, tradisi, dan asal-usul wilayah, seperti Yogyakarta,
Aceh, dan Papua.
Sayang,
konsep desentralisasi a-simetris ini justru diterjemahkan menjadi konsep
a-simetris desentralisasi yakni pemerintah pusat memandang otonomi sebagai
sistem yang mampu menciptakan kemandirian daerah. Sementara daerah
memandangnya sebagai mekanisme potong kompas (short-cut) demi mendapat alokasi anggaran mandiri.
Pemekaran
merupakan contoh sederhana kondisi ini. Pemerintah pusat mendesain pemekaran
sebagai alat memutus mata rantai birokrasi pelayanan publik guna meningkatkan
efisiensi dan efektivitas. Sebaliknya, pemda memandang pemekaran sebagai
solusi singkat mendapat anggaran mandiri, lepas dari induk, serta menciptakan
eselonisasi pejabat baru.
Hal yang
sama juga bukan tidak mungkin terjadi di level desa nantinya. Apalagi
regulasi tidak mengatur hukuman bagi desa yang tidak menggunakan alokasi dana
seperti diharapkan. DD diprioritaskan untuk penyelenggaraan pemerintahan,
pembangunan, pemberdayaan masyarakat, dan kesosialan. Sanksi hanya penundaan
penyaluran DD. Itu pun hanya dikaitkan dengan pelaporan administrasi, tanpa
evaluasi kualitas penggunaan.
Dengan
tanpa mengurangi penghormatan atas kebijakan tersebut, DD sebetulnya memiliki
potensi luar biasa dalam mempercepat pertumbuhan dan pembangunan desa guna
mengatasi berbagai persoalan. Yang penting menjaga supaya pemanfaatannya
tetap pada koridor.
Harapannya dengan anggaran yang meningkat, desa dapat mengembangkan
kualitas dan kesejahteraan warga. Masyarakat yang berkualitas tentu menjadi
input berguna, baik bagi desa itu sendiri maupun daerah lainnya. Desa yang
maju ditunjang perkembangan kota yang bijak akan membawa Indonesia ke arah
masa depan lebih gemilang. Untuk itu, mari wujudkan seluruh mimpi-mimpi
tersebut, sebelum terlambat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar