Ruang
Bersama Pendidikan Tinggi
Mesdin Simarmata ; Bekerja di Bappenas
|
KOMPAS,
01 Desember 2014
SALAH
satu terobosan kelembagaan dalam Kabinet Kerja Joko Widodo-Jusuf Kalla adalah
pembentukan Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi. Harapannya tentu agar
menjadi motor penggerak inovasi di Indonesia. Apa saja pekerjaan rumah yang
harus diselesaikan agar mendapat hasil maksimal dan menjadi basis peningkatan
produktivitas nasional?
Dari
perspektif pembangunan iptek, perguruan tinggi mempunyai karakteristik unik.
Di perguruan tinggi berkumpul ribuan individu yang ingin mendalami,
menguasai, dan mengembangkan pengetahuan. Keunggulan utama universitas adalah
sumber daya manusia yang senantiasa diperbarui, yaitu mahasiswa. Potensi
inilah yang harus dimanfaatkan maksimal.
Memanen
ide-ide segar dari khalayak juga menjadi perhatian para ilmuwan. Konsep ba
dari Ikojiro Nonaka banyak diterapkan oleh perusahaan-perusahaan yang
inovatif, seperti Mirosoft, Cisco, dan Sony. Konsep ba berasal dari seorang
filsuf bernama Kitaro Nishida yang menjelaskan perlunya ”ruang bersama” dalam
kehidupan masyarakat. Ikojiro Nonaka menyebutnya tempat lahirnya ide-ide
baru.
Di salah
satu perusahaan high-tech di AS,
ruang bersama diciptakan dengan menyediakan tempat ngobrol di dekat lift yang
dilengkapi coffee maker. Setiap
insinyur atau ilmuwan yang bertemu setelah keluar lift atau sebelum masuk
lift bisa melanjutkan perbincangan di sini. Hasilnya, jumlah temuan di
perusahaan meningkat tajam.
Di
tempat lain, yaitu perusahaan baja di AS, karyawan yang punya ide segar
tentang teknologi atau solusi yang lebih baik diminta menuliskannya dalam
secarik kertas dan dimasukkan ke dalam kotak suara.
Setiap
dua minggu, pimpinan eksekutif (CEO) membaca satu per satu dan memilih
beberapa untuk dipaparkan dalam forum resmi. Usulan yang terbaik langsung
diuji-terapkan dan meminta pengusul untuk memimpin proyeknya. Saat itu,
industri baja di AS sudah dianggap uzur (sunset)
karena kalah dengan pesaingnya dari Asia. Ternyata, dengan menerapkan cara
itu muncul temuan-temuan baru dan membuat perusahaan berjaya kembali.
Pendidikan tinggi
Ruang
bersama di dunia pendidikan tinggi sangat kompleks. Di negara maju, ruang
bersama ini dimulai dari ruang kuliah tempat ide-ide yang sudah menjadi
batang tubuh pengetahuan mata kuliah diperbincangkan dan didalami.
Perbincangan ini menjadi sumber inspirasi lahirnya ide-ide baru, baik dalam
tugas-tugas kuliah maupun proposal riset.
Setiap
tahun, serikat-serikat ilmiah tidak hanya menerbitkan jurnal ilmiah, tetapi
juga menyelenggarakan seminar hasil-hasil riset yang disertai dengan pameran
temuan-temuan baru ataupun lowongan kerja bagi wisudawan baru.
Hajatan
ini menjadi agenda wajib bagi para direktur teknologi perusahaan untuk
ditengok dan yang menarik dikembangkan lebih lanjut. Keseluruhan mekanisme
ini membentuk ruang bersama dan terjalinnya jaringan peneliti seminar yang
oleh de Solla Price disebut invisible
college.
Membangun
ruang bersama di Indonesia tidak perlu mulai dari nol. Beberapa komponennya
sudah ada. Awal tahun 1990, Ditjen Pendidikan Tinggi yang dimotori oleh
Profesor Yayah Koswara bersama Dikcy R Munaf (ITB) memprakarsai program Hibah
Bersaing di kalangan dosen-dosen perguruan tinggi negeri.
Oleh
Triono Soendoro dari Bappenas, program ini diadopsi menjadi program Riset
Unggulan Terpadu (RUT) di Kementerian Ristek. Perangkat pengelolaan RUT ini
terdiri atas Dewan Riset Nasional (DRN) sebagai ex-ante quality assurance dengan tugas menyeleksi proposal,
memantau perkembangan, dan mengevaluasi riset yang didanai.
Perangkat
lain yang tidak kalah penting adalah forum komunikasi peneliti seminat untuk
menggodok pemikiran dan memperluas ranah riset di Indonesia. Yang lain adalah
jurnal ilmiah. Jurnal ilmiah semestinya dikelola secara independen dari
lembaga penelitian sehingga mampu menjalankan fungsi sebagai ex-post quality
assurance dengan hanya menerbitkan hasil-hasil riset yang berkualitas. Untuk
itu, perlu reviewer yang berkualitas dan independen.
Litbang kementerian
Bagaimana
dengan litbang di kementerian? Sewaktu penulis memulai kuliah di ITB, di
barat laut kampus ada dua lembaga mentereng, yaitu Direktorat Penyelidikan
Masalah Bangunan (DPMB) unit kerja dari Ditjen Cipta Karya-Pekerjaan Umum,
dan Balai Sellulosa milik Ditjen Industri Kimia Dasar-Perindustrian.
Sekarang,
kedua lembaga ini dan lembaga sejenis tidak lagi di bawah direktorat jenderal
teknis, tetapi disatukan dalam badan penelitian dan pengembangan (balitbang).
Manis secara administrasi, tetapi tidak tepat menurut konsep ruang bersama.
Alur
pengetahuan pertama dimiliki oleh mereka yang meneliti dan mengembangkan,
sedangkan alur kedua dimiliki oleh mereka yang bekerja di unit teknis yang
menyediakan produk atau layanan ke masyarakat. Interaksi keduanya harus
intensif.
Untuk
itu, kedua alur pengetahuan harus berada dalam ruang bersama. Dari perspektif
ini, tatanan kelembagaan litbang yang lama lebih tepat karena menyatu dengan
unit kerja teknis dalam satu direktorat jenderal.
Setelah
kelembagaan dibenahi, pekerjaan rumah berikutnya adalah menata praktik
pengelolaan (manajemen). Mengelola inovasi berbeda dengan mengelola
administrasi bank karena menyangkut pergerakan ide dari yang abstrak menjadi
barang dan jasa atau solusi teknis yang nyata (value creation). Di era
ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge based economy), pengelolaan inovasi
menjadi kunci keberhasilan.
Pelaksanaan
manifesto manajemen di atas butuh dukungan semua pemangku kepentingan yang
mencakup pemangku kebijakan administrasi pemerintahan, pemangku kebijakan
administrasi anggaran, dan tentu pimpinan lembaga yang bersangkutan. Dalam
bahasa kontemporer, inilah salah satu bentuk revolusi mental untuk membangun
ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar