“Harga” Dosen Naik,
Peringkat Universitas Turun
Erry Yulian Triblas Adesta ; Deputy Dean (Postgraduate & Research),
Universiti Islam Antarabangsa (UIA) Malaysia
|
KOMPAS,
02 Desember 2014
Tulisan Rhenald Kasali berjudul ”Naiknya ’Harga’ Dosen” (Kompas.com, Senin, 15 September 2014)
cukup menarik untuk ditanggapi. Sebagai guru besar ilmu manajemen yang sudah
tersohor, pendapat beliau mengenai naiknya ”harga” dosen beserta implikasinya
tentu cukup valid. Namun, saya merasa tulisan tersebut jadi kurang bermakna
ketika diarahkan hampir semata-mata untuk menyampaikan pesan agar para rektor
perguruan tinggi negeri berbadan hukum (PTN-BH) bekerja lebih cerdas menggali
dana-dana baru di luar biaya operasional pendidikan (BOP) dan pengelola
yayasan perguruan tinggi swasta (PTS) berpikir lebih keras untuk menyediakan
sumber-sumber dana baru untuk mempertahankan dosen-dosen berkualitas.
Di lain pihak, hampir bersamaan dengan tulisan tersebut, Quacquarelli
Symonds (QS) World University Rankings 2014/2015 diumumkan. Ternyata dari delapan perguruan tinggi Indonesia
yang masuk dalam radar QS World University Ranking, enam ”berhasil”
mempertahankan peringkatnya pada posisi yang sama dengan tahun lalu.
Sementara dua perguruan tinggi yang lain melorot: Universitas Indonesia turun
satu peringkat dari peringkat ke-309 (2013) menjadi ke-310 (2014) dan
Universitas Gadjah Mada melorot dari peringkat 501-550 (2013) menjadi 551-600
(2014).
Kemakmuran
dan kinerja
Pada kenyataannya, memakmurkan dosen semata-mata tak berkorelasi
langsung terhadap kinerja dosen. Ketika pemerintah—berdasarkan PP No 41/2009
tentang Tunjangan Profesi Guru dan Dosen, Tunjangan Khusus Guru dan Dosen,
serta Tunjangan Kehormatan Profesor—memberikan insentif yang cukup besar
kepada dosen, tak serta-merta hal ini berdampak terhadap kinerja dosen,
apalagi terhadap kinerja perguruan tinggi yang bersangkutan.
Bahkan, kalau boleh meminjam data yang telah dipublikasi QS World University
Ranking, sejak 2009, dari delapan PT Indonesia yang masuk radar QS, semua
turun peringkat dan kemudian stagnan. Sementara di bidang publikasi ilmiah,
menurut pihak Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Indonesia pun tertinggal
jauh, bahkan hanya sekitar sepertujuh jika dibandingkan dengan publikasi
ilmiah dari Malaysia. Hal ini pula yang membuat Dirjen Dikti mengeluarkan
Surat Edaran No 152/E/T/201,2 yang memberlakukan ketentuan kewajiban
menghasilkan makalah sebagai syarat kelulusan bagi mahasiswa S-1, S-2, dan
S-3. Seperti dapat dibayangkan sebelumnya, surat tersebut akhirnya menuai
kontroversi dan kehebohan di kalangan akademisi.
Sampai saat ini dampak surat edaran tersebut tampaknya tidak
berpengaruh secara signifikan terhadap jumlah publikasi karya ilmiah di
Indonesia. Mungkin satu hal yang terlupakan ketika surat tersebut
dikeluarkan, yaitu kenyataan bahwa tanpa ditopang kegiatan riset yang
menghasilkan luaran yang layak, mewajibkan mahasiswa menulis makalah hanya
akan mendorong para peserta didik mengambil jalan pintas. Salah satunya
melakukan plagiarisme. Jadi, sangat jelas dalam hal ini menaikkan ”harga”
dosen tidak serta-merta akan menaikkan kinerja dosen.
Dalam tulisan itu, Rhenald Kasali juga menyatakan bahwa Permendikbud No
84/2013 merupakan konsep penataan PT yang memberi nilai tambah lebih baik
bagi para dosen. Menurut saya, ini suatu pernyataan yang juga kurang tepat.
Dengan ikut sertanya pemerintah, melalui Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, ”mengelola” dosen PT yang jumlahnya sekitar 270.000 orang dan
tersebar di lebih dari 3.100 PT merupakan suatu langkah ”penataan” yang
sungguh susah dibayangkan tujuan utamanya. Alih-alih menyusun langkah
strategis dan menetapkan arah dan tujuan pendidikan tinggi, Kemendikbud
melalui Ditjen Dikti tampaknya memosisikan diri dan berperan menjadi
”universitas” terbesar di dunia yang berisikan lebih dari 3.100 PT di
dalamnya.
Bayangkan jika instrumen bernama Nomor Induk Dosen Nasional (NIDN) atau
Nomor Induk Pengajar Nasional (NIPN) digunakan untuk “mengikat” kaum
intelektual, yang disebut dosen, agar selalu ”loyal” kepada satu PT induknya
dengan beban minimum 12 SKS untuk mendapatkan status dosen tetap. Sementara
dosen bersangkutan mungkin adalah dosen yang ilmu dan kompetensinya sangat
mumpuni dan diperlukan, tidak saja di dalam negeri bahkan mungkin sampai ke
mancanegara.
Hal ini tentu bertolak belakang dengan semangat ASEAN Free Trade Area
(AFTA), yang secara jelas dicantumkan bahwa salah satu program utama untuk
bidang pendidikan adalah Student and
Staff Mobility. Namun, harap dipahami, saya bukan orang yang mendukung
adanya dosen ”empat penjuru angin” atau bahkan mungkin ”delapan penjuru
angin”, yang bagaikan selebritas ngamen di mana-mana semata-mata untuk alasan
uang.
Saya jadi bertambah kagum ketika menelusuri pasal demi pasal dari
permendikbud dimaksud. Secara implisit semangatnya menuju pengaderan dosen
profesional yang dimulai sejak mereka menyandang gelar S-2, bahkan mungkin
sejak S-1. Jadi, skenario yang akan dan telah terjadi mungkin begini.
Almamater sebuah PT merekrut alumninya untuk menjadi dosen. Maka, setelah
lulus S-1, calon dosen tersebut melanjutkan S-2, kemudian langsung ke S-3.
Setelah selesai S-3 jadilah dia dosen di almamaternya. Dari beberapa dosen
tersebut, kemudian ada yang mendapat tugas sebagai pejabat struktural, mulai
dari ketua program studi, sekretaris jurusan, ketua jurusan, kemudian wakil
dekan, dekan, sampai dengan wakil rektor, bahkan rektor.
Kepemimpinan
Ada hal yang menarik dari cara memberi penugasan ini, yang pada umumnya
menjadi kebiasaan di banyak universitas, yaitu memberikan tugas administratif
kepada dosen dengan kualifikasi akademik atau jabatan akademik tertinggi di
domain tersebut. Atau, belakangan ini, ada yang lazim dilakukan, yaitu
melakukan pemilihan, yang katanya supaya lebih ”demokratis”. Padahal, pada
tiap akhir jabatan sang dosen yang mengemban jabatan struktural itu tidak
pernah memberikan laporan pertanggungjawaban kepada ”rakyatnya”.
Lengkaplah sudah, dimulai dengan perekrutan dosen yang cenderung dari
alumni sendiri (in-breeding),
dilanjutkan pemilihan pejabat struktural dengan semangat ”korsa” yang tinggi,
dapat dibayangkan kualitas kepemimpinan seperti yang akhirnya didapatkan.
Jika PT itu kebetulan yang memang sudah melaju kencang, kecepatannya akan
cenderung stagnan, sedangkan kompetitornya di luar sana makin menambah
akselerasi sehingga akan semakin jauh melaju meninggalkannya. Hal ini salah
satunya disebabkan absennya kepemimpinan yang memiliki kompetensi manajemen
PT yang mumpuni dan teruji, bukan sekadar figur seorang dosen favorit,
motivator ulung atau selebritas terkenal.
Maka, sangat disayangkan ketika ”harga” dosen sudah naik, tetapi
peringkat universitas kita tetap seperti dulu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar