Dilema
Penjualan Bank Mutiara
A Prasetyantoko ; Dosen di Unika Indonesia Atma Jaya, Jakarta
|
KOMPAS,
01 Desember 2014
AKHIRNYA,
Otoritas Jasa Keuangan menyetujui akuisisi PT Bank Mutiara Tbk oleh
perusahaan investasi Jepang, J Trust Co Ltd. Dengan demikian, kepemilikan
99,99 persen eks Bank Century itu resmi berpindah tangan dari pemerintah yang
diwakili Lembaga Penjamin Simpanan.
Ada dua isu utama yang
menjadi sorotan. Pertama, terkait harga penjualan
sebesar Rp 4,5
triliun atau di bawah nilai talangan pemerintah sebesar Rp 7,9 triliun.
Kedua, kecurigaan masuknya kepentingan pemilik lama dalam proses akuisisi
tersebut. Mempersoalkan keduanya secara bersamaan jelas kontradiktif.
Di satu sisi, mengkritik nilai recovery yang jauh di bawah
penyertaan modal sementara (PMS). Sementara di sisi lain, mencurigai masuknya
kepentingan pemilik lama karena rela membayar mahal.
Terlepas dari polemik
yang masih berkembang, aksi korporasi tersebut harus diletakkan dalam rencana
besar konsolidasi perbankan serta penataan sektor keuangan pada umumnya di
Tanah Air.
Harus diakui, industri
keuangan ritel kita sangat menggiurkan investor asing sehingga bisa dimaklumi
mereka mau membayar mahal. Selain mengakuisisi Bank Mutiara, melalui anak
perusahaannya di Singapura, mereka juga menandatangani aliansi strategis
dengan PT Bank Mayapada Tbk. Terlihat betapa agresifnya investor asing masuk
ke sektor perbankan kita.
Pengembalian
Dasar hukum sering
dijadikan bahan diskusi panjang. Apakah penjualan aset Bank Mutiara di bawah
penyertaan modal pemerintah termasuk tindakan merugikan keuangan negara
sehingga bisa dikenai pasal korupsi?
Berdasarkan Pasal 42
Ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan
(LPS), dijelaskan saham bank dalam penanganan harus terjual paling lama
tiga tahun sejak penanganan bank gagal. Tingkat pengembalian harus sama
dengan dana penempatan. Namun, setelah lima tahun bisa dijual di bawah nilai
penyertaan. Soal kerugian negara, Pasal 81 Ayat (2) menyebutkan,
kekayaan LPS merupakan aset negara yang dipisahkan. Dengan begitu,
mestinya dari sudut pandang hukum tak mampu menjerat aksi penjualan Bank
Mutiara.
Secara ekonomi,
dibandingkan dengan penjualan aset pada umumnya, nilai penjualan Bank Mutiara
tergolong bagus. Sebagai perbandingan, pengalaman penjualan aset bank rekap
oleh PT Perusahaan Pengelolaan Aset (PPA) sepanjang 2000- 2004, tingkat
pengembaliannya hanya sekitar 31 persen. Rinciannya, bail out enam
bank (BCA, Bank Danamon, BII, Bank Lippo, Bank Niaga, dan Bank Permata)
senilai Rp 289,099 triliun hanya mampu dijual senilai Rp 89,622 triliun.
Di negara lain,
rata-rata tingkat pengembalian aset perbankan juga tak pernah mencapai 50
persen. Thailand rata- rata recovery rate-nya sekitar 40 persen.
Jika setuju tingkat pengembalian Bank Mutiara bagus, lalu masuk
kecurigaan berikutnya. Mengapa investor mau membeli aset yang kemungkinan
masih menyimpan masalah?
Ada banyak faktor
penentu tingkat recovery, seperti faktor kualitas perusahaannya sendiri
(firm specific), faktor industri (industry specific), dan faktor negara
(country specific). Semakin
bagus prospek perusahaan dalam industri yang sehat serta konteks negaranya
juga menjanjikan, tingkat pengembalian semakin tinggi.
Dan, jika kita bicara
prospek perbankan di Tanah Air, tak satu pun faktor yang memberatkan. Meski
tengah dilanda penurunan, prospeknya ke depan diyakini masih begitu
menjanjikan. Pertama, data Bank Dunia menunjukkan baru 49 persen saja
penduduk Indonesia yang dilayani perbankan. Sementara 17 persen lainnya
benar-benar belum terlayani baik oleh lembaga formal maupun informal.
Kedua, rasio deposito
bank terhadap perekonomian (PDB) baru sekitar 37 persen, jauh ketinggalan
dari negara lain. Malaysia 105 persen, Singapura 281 persen, dan Filipina 49
persen. Ketiga, rasio kredit terhadap PDB sekitar 27 persen, sementara
Malaysia 113 persen dan Singapura 213 persen. Keempat, rasio jumlah ATM
per 100.000 penduduk baru sekitar 14 persen, sementara Malaysia 54
persen dan Singapura 50 persen.
Kesempatan yang masih
begitu luas dibandingkan negara lain di kawasan, disertai tingkat keuntungan
yang tinggi. Perbedaan bunga tabungan dan kredit atau net interest
margin (NIM) tergolong tertinggi di kawasan atau 5-7 persen. Sementara
di negara lain di kawasan ASEAN hanya 2-3 persen. Dengan kata lain, sektor
perbankan di Indonesia, baik prospek pertumbuhan maupun keuntungannya,
sama-sama menjanjikan.
Agenda regulasi
Ditilik dari kerangka
regulasi, memang ada banyak agenda perundangan yang harus ditindaklanjuti,
bahkan sangat segera. UU Perbankan yang mengatur kepemilikan asing salah satu
yang perlu segera ditindaklanjuti. Namun, urgensinya kalah penting dengan UU
Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) yang masih berbentuk Perppu No 4 Tahun
2008. Undang-undang ini sangat urgen karena menyangkut koordinasi para
pihak terkait stabilitas sistem keuangan, yang terdiri dari Kementerian
Keuangan, Bank Indonesia, Lembaga Penjamin Simpanan, juga Otoritas Jasa Keuangan
(OJK).
OJK lahir dan diatur
keberadaannya berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011. Jadi, meskipun
secara otomatis masuk dalam Forum Stabilitas Sistem Keuangan (FSSK), UU JPSK
perlu direvisi pasca munculnya OJK.
Undang-undang ini
diperlukan khususnya ketika terjadi gejolak sehingga para pihak yang terkait
memiliki payung hukum mengeluarkan kebijakan. Tarik ulur politis kasus Bank
Century salah satunya terkait dengan landasan hukum yang absen dalam
tindakan bail out.
Kesalahan pikir kita,
hanya melakukan hal-hal baik ketika situasinya begitu buruk (krisis). Ketika
situasinya baik-baik saja, enggan melakukan hal baik, seperti mengeluarkan
regulasi. UU JPSK dianggap tak urgen karena tak mungkin menghadapi krisis
(hebat) lagi. Anggapan situasi sekarang ini lain dengan yang lalu sangat
berbahaya dalam mengelola sistem keuangan. Sindrom this time is different dianggap sebagai salah satu sesat
pikir paling serius di sektor keuangan, menurut ekonom Universitas
Harvard, Carmen M Reinhart.
Justru ketika
situasinya relatif tenang seperti sekarang inilah, berbagai agenda
regulasi di sektor keuangan harus segera diselesaikan. Dengan begitu, ada
basis hukum untuk melangkah lebih lanjut, seperti melakukan konsolidasi
perbankan. Situasi perbankan di Tanah Air membutuhkan langkah sistematis
untuk meningkatkan perannya. Pertama, penambahan modal baru baik oleh pemilik
lama maupun investor baru. Kedua, melakukan merger dan akuisisi (M&A)
untuk mencapai persyaratan modal minimum baru. Ketiga, penerbitan saham
baru atau secondary offering di pasar modal dan keempat
penerbitan subordinated loan.
Kita harus melihat
sektor perbankan dalam cakrawala waktu yang jauh ke depan. Perjalanan sektor
keuangan selalu terjadi dalam fase booming dan
bursting. Kita harus berbenah pada
saat situasi aman, bukan ketika gejolak sudah terjadi. Karena biasanya ketika
gejolak datang, upaya menahannya sudah tak mempan. Semuanya sudah akan
terlambat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar