Rela
Samuel Mulia ; Penulis kolom “PARODI”
Kompas Minggu
|
KOMPAS,
21 Desember 2014
Di dalam
lift seorang pria jangkung berkata kepada seorang teman wanitanya yang baru
saja masuk ke dalam lift itu. ”Wuiz...,
dah lama, nih, kita enggak ketemuan. Kok, elo jadi tambah pendek, sih?”
Saya
yang mendengar percakapan itu hanya tersenyum sambil teringat kepada
percakapan saya dengan seorang pria, yang beberapa minggu lalu berkomentar
setelah lama tak berjumpa. ”Kok, elo kelihatan jadi tambah tua gitu sih,
bro.”
Fisik
Sudah
lama saya mengerti bahwa orang dengan mudah menilai penampilan luar seseorang.
Terutama buat saya yang fisiknya ya gitu deh itu, maka penilaian penampilan
luar menjadi pemikiran yang tak bisa dianggap remeh. Maka acap kali mendengar
orang berkomentar seperti kalimat di atas, saya seperti mendapat serangan
jantung.
Kalau
mendengar komentar semacam itu, saya selalu berusaha menganggapnya sebagai
penyemangat hidup dan bukan untuk meluluhlantakkan jiwa raga. Tak bisa
dimungkiri bahwa penampilan luar itu dinilai dan diberi bobot yang luar biasa
oleh sesama manusia.
Beberapa
jam sebelum saya menulis artikel ini, saya datang ke rumah ibadah untuk
mengadakan sesi curhat dengan Sang Maha Pencipta. Salah satu dari sejuta isi
curhat itu adalah soal kondisi fisik atau penampilan luar saya. Curhatnya
begini.
Mengapa
saya ini tidak dilahirkan dengan tinggi badan lebih dari seratus delapan
puluh sentimeter. Saya suka keder dan tidak percaya diri kalau berdiri atau
berpapasan dengan orang yang jangkung.
Mengapa
saya diciptakan sebagai pria yang tidak tampan sehingga tidak mampu memesona
orang. Dengan hanya mengenakan atasan kaus yang superbiasa dan celana jins,
mereka yang masuk ke dalam kelompok tampan dan cantik serta tinggi semampai
sudah bisa membuat orang geleng kepala dan berdecak kagum.
Sementara
saya ini, kalau hanya mengenakan pakaian semacam itu, saya juga mendapat
gelengan kepala dari banyak orang. Geleng-geleng kepala karena kebingungan
bukan karena decak kagum.
Mereka
yang masuk dalam kategori mengagumkan juga dengan mudah dapat memiliki
pasangan. Kalaupun hubungan asmaranya tak berlangsung lama, mereka dengan
cepat mendapat yang baru. Putus lagi, dapat yang baru lagi. Saya? Sama saja.
Juga suka putus. Putus harapan, maksudnya.
Nonfisik
Kalau
teman-teman saya bisa berpacaran atau berakhir dalam sebuah perkawinan karena
diperkenalkan oleh seseorang, maka dalam seluruh perjalanan hidup saya, bisa
dikatakan orang enggan memperkenalkan saya kepada orang lain. Sampai saya
berpikir apakah saya ini mirip seperti barang rongsokan yang memalukan untuk
diperkenalkan?
Maka
suatu hari saya memutuskan menyewa personal trainer agar fisik saya menjadi
indah. Baru saja menjalani program dua minggu, saya KO. Berkeinginan memiliki
badan indah itu sah-sah saja, tetapi menjalankannya menjadi persoalan yang
berbeda. Maka saya memutuskan berhenti dan menerima untuk menjadi seperti
sekarang ini.
Mengapa
saya berpikir untuk berhenti dan menerima? Bukan karena akhirnya saya
bersyukur bahwa menerima keadaan dengan lapang dada adalah jalan yang
terbaik. Sama sekali bukan. Dengan menjadi lajang selama setengah abad lebih,
saya tak bisa lapang dada sampai sekarang.
Saya
hanya melihat bahwa banyak teman saya yang jauh dari tampan dan cantik bisa
memiliki pasangan yang tampan dan jelita. Maka saya mau mencoba keberuntungan
dan berharap bisa seperti mereka yang tidak tampan dan tidak cantik itu.
Alhasil sampai hari ini, yang beruntung hanya mereka dan bukan saya.
Maka
saya mulai berpikir untuk merombak keadaan fisik dan mendaftarkan diri di
sebuah seminar perombakan raga yang sungguh membuat saya tercengang. Ketika
saya menceritakan semua kejadian ini kepada seorang teman, ia mulai berkicau.
”Yaahh,
maaf-maaf aja ya, kayaknya itu emang nasib elo aja, bro. Eh, ngomong-ngomong
kalau sekarang elo operasi dan terus bisa jadi tampan, emang elo mau apa?
Mang nasib elo bisa jadi beda?”
Saya tak
bisa menjawab apakah saya akan beruntung setelah ”renovasi”. Saya, sih,
mengharap saya akan beruntung. Dalam keadaan masih tak bisa menjawab, teman
saya bernyanyi lagi. ”Eh, maaf ya, setahu gue nih, pisau dokter bedah kecantikan
tuh enggak berbanding lurus ama nasib elo,” jelasnya.
Sebelum
ia pergi meninggalkan pertemuan itu, ia memberi pesan. Begini. ”Gue percaya
elo udah berusaha pakai segala cara. Nah, coba elo pake cara yang kayaknya
belum pernah elo coba. Belajar rela. Rela menerima bahwa kondisi elo emang
kayak gini.”
Benar,
selama ini saya tidak rela dan sekarang mengerti mengapa mereka yang tidak
tampan dan cantik itu bisa mendapatkan yang tampan dan cantik, karena mereka
menjalani keberadaan mereka dengan rela hati. Rela itu sebuah ketampanan dan
kecantikan jiwa yang sesungguhnya. Ia yang mungkin menjadi daya tarik yang
utama. Sesuatu yang tidak terlihat oleh saya, yang terlihat oleh mata orang
lain. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar