Kamis, 04 Desember 2014

Basa-Basi Interpelasi

                                                Basa-Basi Interpelasi

Ali Rif’an ;   Peneliti Poltracking
KORAN TEMPO,  02 Desember 2014

                                                                                                                       


Rencana sebagian anggota DPR yang hendak mengajukan hak interpelasi atas kebijakan Presiden Joko Widodo menaikkan harga bahan bakar minyak sepertinya akan berjalan mulus. Pasalnya, sampai tulisan ini dibuat, sudah ada 202 anggota Dewan yang membubuhkan tanda tangan guna mendukung rencana itu.

Meski begitu, gagasan yang disponsori fraksi-fraksi yang tergabung dalam Koalisi Pendukung Prabowo itu masih menuai pro-kontra sehingga tak semua fraksi di Senayan mendukungnya. Sebagian anggota Dewan bahkan menganggap rencana interpelasi terlalu berlebihan. Selain kebijakan kenaikan harga BBM memiliki payung hukum, yakni UU APBN 2014, hak bertanya itu dapat dilakukan dalam rapat kerja terhadap menteri terkait di komisi-komisi DPR, bukan langsung memanggil presiden.

Secara letterlijk, interpelasi diartikan sebagai hak DPR untuk meminta keterangan kepada pemerintah mengenai kebijakan yang penting dan strategis serta berdampak luas terhadap kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dalam konteks politik, interpelasi merupakan pantulan dari polarisasi kekuasaan serta produk tarik-menarik kekuatan kubu-kubu yang bertakhta di parlemen. Interpelasi merupakan salah satu hak anggota Dewan selain hak angket dan menyatakan pendapat.

Dalam sejarahnya, praktek interpelasi terjadi secara sayup-sayup dan bahkan terkesan basa-basi. Pada masa Orde Baru, misalnya, hak interpelasi pernah diajukan oleh 25 anggota DPR periode 1977-1982 dengan meminta penjelasan terkait dengan kebijakan pemerintah yang dikeluarkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tentang normalisasi kehidupan kampus.

Interpelasi saat itu sangat fenomenal dan terjadi hanya satu kali sepanjang rentang 32 tahun dengan enam periode pergantian anggota DPR, mengingat pada masa itu hegemoni eksekutif terhadap legislatif lebih dominan.

Pada era Reformasi, interpelasi terjadi secara beruntun dan yang paling banyak terjadi pada era pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono. Pada Februari 2008, DPR pernah mengajukan hak interpelasi terhadap Presiden SBY terkait dengan Bantuan Likuiditas Bank Dunia. Presiden SBY kemudian mengutus Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk menjelaskan kasus itu kepada anggota Dewan. Tak puas dengan penjelasan pemerintah, sejumlah anggota DPR menggalang hak angket. Tapi belakangan, hasilnya tidak jelas.

Pada Juni 2008, sejumlah anggota DPR yang dinakhodai fraksi PDI Perjuangan mengajukan interpelasi kenaikan harga BBM kepada Presiden SBY. Hak interpelasi kemudian berubah menjadi hak angket. Sebulan berikutnya, tepat Juli 2008, interpelasi atas kenaikan harga bahan pokok kembali digalang oleh 100 anggota DPR yang dipimpin oleh Ketua Fraksi PDI Perjuangan Tjahjo Kumolo. Menanggapi hal tersebut, Presiden SBY mengutus tujuh orang pembantunya untuk menjelaskan ihwal kenaikan harga itu. Mendengar penjelasan ketujuh menteri utusan SBY, DPR tidak puas sehingga menggalang hak angket. Namun, seiring perjalanan waktu, hak angket itu batal.

Belajar dari sejarah, Presiden Jokowi semestinya tak perlu gentar oleh rencana interpelasi anggota DPR. Sebab, interpelasi adalah hal wajar dan biasa saja dalam sistem demokrasi. Adanya interpelasi justru menunjukkan bahwa check and balance antara eksekutif dan legislatif telah berjalan. Yang harus dilakukan pemerintah justru mempersiapkan jawaban-jawaban yang tepat terkait dengan perihal keputusan menaikkan harga BBM.

Misalnya, pemerintah harus mampu menjelaskan bahwa subsidi bahan bakar fosil itu sudah menjadi kanker yang menggerogoti bangsa ini yang tak hanya membuat kemiskinan struktural semakin meningkat, tapi subsidi BBM telah membuat persediaan anggaran negara lumpuh. Bayangkan, subsidi BBM selama lima tahun terakhir telah mencapai Rp 1.300 triliun. Jumlah itu tentu sangat fantastis karena uang yang disalurkan untuk kesejahteraan rakyat saja tak sampai 1000 triliun. Ketimpangan itulah yang harus dijelaskan Presiden Jokowi dengan angka-angka statistik kenapa harga minyak harus dinaikkan, meskipun harga minyak dunia sedang turun.

Sebab, masalah subsidi BBM ini menjadi persoalan laten bak benang kusut yang sulit diurai. Dari presiden ke presiden, persoalannya selalu sama: subsidi BBM. Keberanian Presiden Jokowi menaikkan BBM di tengah teriknya atmosfer politik justru harus diapresiasi. Kebijakan penarikan subsidi ibarat pil pahit, tidak enak di awal, tapi akan menyehatkan negara pada masa mendatang. Kita harus meniru negara-negara seperti Cina, Vietnam, dan India yang tidak memberikan subsidi terhadap BBM, yang disubsidi hanya transportasi umum sehingga dampaknya nyaman serta kemajuan industri dapat meningkat pesat. Bahkan negara tetangga seperti Malaysia juga akan melakukan penghapusan subsidi seluruh jenis BBM yang dijual mulai 1 Desember 2014.

Wacana interpelasi yang nyaring terdengar di Senayan tak perlu dirisaukan. Sebab, interpelasi kerap dikonotasikan sebagai potret dinamika politik pada zamannya yang kerap dimotori oleh partai oposisi. Selain itu, interpelasi kerap dianggap sebagai langkah basa-basi, karena akan cepat tenggelam seiring dengan berjalannya waktu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar