Basa-Basi
Interpelasi
Ali Rif’an ; Peneliti
Poltracking
|
KORAN
TEMPO, 02 Desember 2014
Rencana
sebagian anggota DPR yang hendak mengajukan hak interpelasi atas kebijakan
Presiden Joko Widodo menaikkan harga bahan bakar minyak sepertinya akan
berjalan mulus. Pasalnya, sampai tulisan ini dibuat, sudah ada 202 anggota
Dewan yang membubuhkan tanda tangan guna mendukung rencana itu.
Meski
begitu, gagasan yang disponsori fraksi-fraksi yang tergabung dalam Koalisi
Pendukung Prabowo itu masih menuai pro-kontra sehingga tak semua fraksi di
Senayan mendukungnya. Sebagian anggota Dewan bahkan menganggap rencana
interpelasi terlalu berlebihan. Selain kebijakan kenaikan harga BBM memiliki
payung hukum, yakni UU APBN 2014, hak bertanya itu dapat dilakukan dalam
rapat kerja terhadap menteri terkait di komisi-komisi DPR, bukan langsung
memanggil presiden.
Secara
letterlijk, interpelasi diartikan sebagai hak DPR untuk meminta keterangan
kepada pemerintah mengenai kebijakan yang penting dan strategis serta
berdampak luas terhadap kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Dalam konteks politik, interpelasi merupakan pantulan dari polarisasi
kekuasaan serta produk tarik-menarik kekuatan kubu-kubu yang bertakhta di
parlemen. Interpelasi merupakan salah satu hak anggota Dewan selain hak
angket dan menyatakan pendapat.
Dalam
sejarahnya, praktek interpelasi terjadi secara sayup-sayup dan bahkan
terkesan basa-basi. Pada masa Orde Baru, misalnya, hak interpelasi pernah
diajukan oleh 25 anggota DPR periode 1977-1982 dengan meminta penjelasan
terkait dengan kebijakan pemerintah yang dikeluarkan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan tentang normalisasi kehidupan kampus.
Interpelasi
saat itu sangat fenomenal dan terjadi hanya satu kali sepanjang rentang 32
tahun dengan enam periode pergantian anggota DPR, mengingat pada masa itu
hegemoni eksekutif terhadap legislatif lebih dominan.
Pada era
Reformasi, interpelasi terjadi secara beruntun dan yang paling banyak terjadi
pada era pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono. Pada Februari 2008, DPR pernah
mengajukan hak interpelasi terhadap Presiden SBY terkait dengan Bantuan
Likuiditas Bank Dunia. Presiden SBY kemudian mengutus Menteri Keuangan Sri
Mulyani untuk menjelaskan kasus itu kepada anggota Dewan. Tak puas dengan
penjelasan pemerintah, sejumlah anggota DPR menggalang hak angket. Tapi
belakangan, hasilnya tidak jelas.
Pada
Juni 2008, sejumlah anggota DPR yang dinakhodai fraksi PDI Perjuangan
mengajukan interpelasi kenaikan harga BBM kepada Presiden SBY. Hak
interpelasi kemudian berubah menjadi hak angket. Sebulan berikutnya, tepat
Juli 2008, interpelasi atas kenaikan harga bahan pokok kembali digalang oleh
100 anggota DPR yang dipimpin oleh Ketua Fraksi PDI Perjuangan Tjahjo Kumolo.
Menanggapi hal tersebut, Presiden SBY mengutus tujuh orang pembantunya untuk
menjelaskan ihwal kenaikan harga itu. Mendengar penjelasan ketujuh menteri
utusan SBY, DPR tidak puas sehingga menggalang hak angket. Namun, seiring
perjalanan waktu, hak angket itu batal.
Belajar
dari sejarah, Presiden Jokowi semestinya tak perlu gentar oleh rencana
interpelasi anggota DPR. Sebab, interpelasi adalah hal wajar dan biasa saja
dalam sistem demokrasi. Adanya interpelasi justru menunjukkan bahwa check and
balance antara eksekutif dan legislatif telah berjalan. Yang harus dilakukan
pemerintah justru mempersiapkan jawaban-jawaban yang tepat terkait dengan
perihal keputusan menaikkan harga BBM.
Misalnya,
pemerintah harus mampu menjelaskan bahwa subsidi bahan bakar fosil itu sudah
menjadi kanker yang menggerogoti bangsa ini yang tak hanya membuat kemiskinan
struktural semakin meningkat, tapi subsidi BBM telah membuat persediaan
anggaran negara lumpuh. Bayangkan, subsidi BBM selama lima tahun terakhir telah
mencapai Rp 1.300 triliun. Jumlah itu tentu sangat fantastis karena uang yang
disalurkan untuk kesejahteraan rakyat saja tak sampai 1000 triliun.
Ketimpangan itulah yang harus dijelaskan Presiden Jokowi dengan angka-angka
statistik kenapa harga minyak harus dinaikkan, meskipun harga minyak dunia
sedang turun.
Sebab,
masalah subsidi BBM ini menjadi persoalan laten bak benang kusut yang sulit
diurai. Dari presiden ke presiden, persoalannya selalu sama: subsidi BBM.
Keberanian Presiden Jokowi menaikkan BBM di tengah teriknya atmosfer politik
justru harus diapresiasi. Kebijakan penarikan subsidi ibarat pil pahit, tidak
enak di awal, tapi akan menyehatkan negara pada masa mendatang. Kita harus
meniru negara-negara seperti Cina, Vietnam, dan India yang tidak memberikan
subsidi terhadap BBM, yang disubsidi hanya transportasi umum sehingga
dampaknya nyaman serta kemajuan industri dapat meningkat pesat. Bahkan negara
tetangga seperti Malaysia juga akan melakukan penghapusan subsidi seluruh
jenis BBM yang dijual mulai 1 Desember 2014.
Wacana interpelasi yang nyaring terdengar di Senayan tak perlu
dirisaukan. Sebab, interpelasi kerap dikonotasikan sebagai potret dinamika
politik pada zamannya yang kerap dimotori oleh partai oposisi. Selain itu,
interpelasi kerap dianggap sebagai langkah basa-basi, karena akan cepat
tenggelam seiring dengan berjalannya waktu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar