Senin, 22 Desember 2014

PTS dan MEA 2015

                                                  PTS dan MEA 2015

A Ilyas Ismail  ;   Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah;
Dekan Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Islam As-Syafi’iyah (UIA) Jakarta
KOMPAS,  18 Desember 2014

Artikel ini telah dimuat di REPUBLIKA 15 Desember 2014

                                                                                                                       


SEJAK 2008, ASEAN telah menjadi organisasi regional dengan moto legal personality yang terkenal: ”One vision, one identity, one caring and sharing”. Masyarakat Ekonomi ASEAN, disingkat MEA, memberlakukan pasar tunggal Desember tahun depan, yang selain berdampak pada sektor ekonomi dan bisnis juga akan memengaruhi sektor pendidikan, khususnya pendidikan tinggi.

Dengan MEA 2015, perguruan tinggi kita tidak hanya bersaing secara nasional, tetapi juga harus berkompetisi secara regional dengan perguruan tinggi lain di Asia Tenggara yang selama ini lebih unggul. Bagaimana kesiapan perguruan tinggi kita, khususnya perguruan tinggi swasta (PTS)?

Dalam direktori Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) disebutkan, jumlah perguruan tinggi (PT) sudah mencapai 3.485 buah pada 2014, dengan perguruan tinggi negeri (PTN) berjumlah 100 buah (3 persen) yang menampung sekitar 35 persen atau 1.541.261 mahasiswa, dan sebanyak 3.385 buah atau 97 persen merupakan perguruan tinggi swasta (PTS) dengan mahasiswa yang ditampung sebanyak 2.825.466 orang atau sekitar 65 persen.

Kondisi PTS sangatlah beragam. Menurut Asosiasi Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (ABP PTSI), dalam satu Kopertis dengan sekitar 340 PTS, hanya 20,83 persen sehat murni, 2,38 persen sehat, dan 4,17 persen hampir sehat, dan 64,88 persen sakit.

Belum siap

Banyak pihak pesimistis dan merasa belum siap menghadapi MEA 2015. Edy Suandi Hamid, Ketua Aptisi, menyadari betul kelemahan PTS dan menyarankan agar PTS melakukan akselerasi penguatan, baik kualitas maupun kuantitas, melalui penguatan SDM, governance, jaminan mutu (quality assurance), dan program akreditasi nasional dan internasional.

Menurut saya, langkah-langkah untuk menyehatkan PTS menghadapi MEA 2015 adalah pertama, politik pendidikan harus merata. Artinya, perlu pemihakan nyata dari pemerintah untuk memajukan PTS. Selama ini, fokus pemerintah hanya pada PTN. Ini berbeda dengan negara-negara maju. Sekadar contoh, di Inggris boleh dibilang tidak ada PTS. Semua PT dikelola dan didanai oleh pemerintah.

Di Amerika Serikat dan negara-negara Anglo Saxon, jumlah PTS sangat besar, bahkan lebih besar dan lebih unggul dibandingkan dengan PTN. Sebagian besar PTS masuk 500 besar World University Rankings. Dari 500 universitas itu, 245 universitas berasal dari kawasan Anglo Saxon, 153 universitas dari Eropa kontinental, dan 102 universitas dari Asia, Timur Tengah, dan Amerika Selatan (Josep C Brada, The University in the Age of Globalization, 2012).

Kedua, selain soal politik pendidikan, PTS juga mesti bersikap kreatif dan inovatif untuk mendapatkan nilai tambah (added value). Menurut Kishore Mahbubani, Dekan dari Lee Kuan Yew School of Public Policy, agar tidak terus mengekor Barat, universitas di Asia harus berani berkreasi dan giat berinovasi. Seperti direkomendasikan Daniel Rodas (Resource Allocation in Private University, 2014), ada empat hal terkait inovasi.

Pertama, capacity building. PTS disarankan membuat lebih banyak program undergraduate, yakni program non-akademik yang dinilai memberikan manfaat bagi PTS dan masyarakat.

Kedua, riset. Selain riset dasar untuk pengembangan teori dan keilmuan (pure research), PTS juga diminta melakukan riset terapan dengan pendekatan interdisipliner. PTS bisa menggandeng pemerintah dan dunia usaha (industri) sehingga lebih produktif dan sinergis. Di sini, riset dipandang sebagai value enhancement, dengan prinsip more value and less cost.

Ketiga, laboratorium sosial. Kawasan lokal bisa dimanfaatkan untuk keperluan praktik pembelajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Pendekatan ini akan mendorong lahirnya ilmu yang bersifat scientific indigenous base seperti di banyak negara. Cara ini akan mengangkat local wisdom kita menjadi global wisdom.

Keempat, internasionalisasi pendidikan tinggi. PTS diminta mengoneksi dan bekerja sama internasional dengan sejumlah lembaga luar negeri, baik universitas, LSM, komunitas, alumni, maupun yang lain. Program ini menjadi mudah karena pada masa kita sekarang setiap orang sebagai pribadi ataupun institusi pasti merasa perlu menginternasionalisasikan dirinya masing-masing.

Sosial budaya

Inilah beberapa cara yang bisa dilakukan untuk menyehatkan PTS. PTS juga bisa lebih cekatan merespons persoalan sosial budaya. Dengan demikian, PTS tidak hanya menjadi rumah produksi ilmu pengetahuan, tetapi juga menjadi pusat pengembangan ekonomi kreatif (knowledge based economy) dan pengembangan masyarakat madani (civilized society).

Untuk itu, PTS harus menggenjot penguatan SDM. Sebab, unggul dalam riset (excellence in research) menjadi dasar penetapan peringkat. Sampai saat ini, problem terbesar PTS terletak pada penyediaan dosen berkualitas. Persyaratan minimal enam dosen berpendidikan S-2 untuk setiap program studi belum semua PTS bisa memenuhi.

Tentu, pemerintah harus juga ikut bertanggung jawab. Dengan anggaran pendidikan 20 persen dari total APBN, pemerintah bisa memberikan dukungan lebih besar untuk keberdayaan PTS. Rencana pemerintah menjadikan PTS unggul sebagai PTN justru kontraproduktif dan mereduksi peranan pemerintah.

Hal yang bisa dilakukan pemerintah dalam waktu dekat adalah meningkatkan bantuan beasiswa S-2 dan S-3 bagi dosen-dosen PTS, memperbanyak bantuan dosen PNS kepada PTS, dan mendukung pendanaan lebih besar untuk memperkuat sarana dan prasarana PTS, seperti yang selama ini diberikan pemerintah kepada PTN.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar