Maafkan
dan Lupakan
L Wilardjo ; Fisikawan
|
KOMPAS,
17 Desember 2014
MEMINJAM kata-kata Yahya
Pembaptis, dalam oratorionya, ”Messiah”, Haendel berseru: ”Ratakan jalan yang
bergelombang dan luruskan yang bengkok-bengkok.”Seruan itu sekarang penad
(relevant) untuk kita, utamanya pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Kalau
Trisakti dan Nawacita hendak diaktualisasikan melalui revolusi mental,
Presiden Joko Widodo perlu menuhoni pesan ”jas merah”: jangan sekali-kali
kita lupakan sejarah.
Kalau ada bagian-bagian yang
belum terungkap, atau ada yang dibeberkan demi kepentingan politik-ideologis
tertentu, luruskan dulu yang bengkok-bengkok itu. ”Make the crooked
straight”, kata maestro Georg Friedrich Haendel.
Ada paralelisme antara
orang-orang Yahudi yang menjadi korban kekejaman Gestapo (Geheime
Staatspolizei) dan SS (Schutzstaffel) di era Nazi di Jerman dan orang-orang
PKI dan mereka yang dicap sebagai anggota partai itu atau ormas-ormas
bangunan bawah (onderbouw)-nya.
Julukan peristiwa sejarah
berdarah di pengujung September 1965 itu, ”Gestapu” (Gerakan September 30),
juga mengingatkan kita kepada akronim polisi-negara rahasianya Adolf Hitler,
yakni Gestapo. Sementara SS adalah pasukan kamtibmas yang bengis dan ganas.
SS berseragam hitam-hitam, dan dibentuk oleh Hitler, meniru pasukan ”Kemeja
Hitam”-nya diktator fasis, Benito Mussolini, di Italia.
Memaafkan
Dalam esainya berjudul ”Auschwitz dan Warisan Ketakutan” (Kompas, 9/11/2014), sutradara Lola
Amaria mengulangi imbauan perempuan filsuf Jerman, Hannah Arendt. ”Maafkan,
tetapi jangan lupakan.”
Imbauan itu diucapkan Arendt
dalam pengadilan terhadap Adolf Eichmann, ”jagal” Nazi yang diuber sampai
tertangkap oleh agen rahasia Israel, Mossad. Sungguh, suatu imbauan yang
mulia. Bukankah terhadap kita yang berdosa Tuhan berkenan menjadi Allah yang
Mahapengampun?
Jangan berpegang pada ayat
Taurat, ”Mata dibalas mata”. Hukum kuno itu sudah dibarui melalui revolusi
mental menjadi Dwisila Kasih, yakni mengasihi Tuhan dan sesama manusia.
Tak usahlah kita mengikuti
kaidah ”menjaga kehormatan” dan ”menegakkan keadilan” ala mafia, lalu menjadi
vigilante dan melakukan vendetta.
Vigilante ialah orang yang
mengangkat diri menjadi polisi, jaksa, hakim, dan algojo sekaligus.
Vendettaialah ulah vigilante dalam aksi balas dendamnya. Vigilante diperankan
dengan bagus oleh Charles Bronson dalam film Death Wish.
Pada hemat saya, imbauan Arendt
yang konon pacarnya Martin Heidegger, filsuf fenomenologi dan ”anak emas”-nya
Hitler, masih tanggung. Seharusnya: ”Maafkan dan lupakan”. Kalau kita tidak
melupakan, pikiran dan perasaan kita akan terganggu terus. Itu pertanda maaf
kita tidak tulus. Dendam harus berakhir bersamaan dengan maaf yang diberikan.
Luruskan sejarah
Pesan Arendt agar kita ”jangan
melupakan” kita terima, sepanjang itu diartikan sebagai peristiwa tragedi
kemanusiaan yang perlu dicatat dalam sejarah. Biarlah anak-cucu kita
mengetahui kejadian itu seperti kita mengetahui ulah Karadzic, dan sebagainya yang tenar karena
kejam sebagai penguasa.Atilla, Iskandar Agung, Mussolini, Trio Serbia,
Milosevic-Mladic
Peristiwa-peristiwa pelanggaran
HAM perlu kita catat dalam sejarah, tetapi harus diluruskan dulu yang
bengkok-bengkok. Buat menjadi terang dulu yang masih remang-remang.
Kalau film G-30S garapan Arifin
C Noer yang menampilkan Kol TNI AL dr Amoroso Katamsi sebagai Bung Karno
dianggap kurang saksama, terlebih-lebih lagi kalau dinilai berbau pesan
sponsor, ya, harus diluruskan. Para ahli sejarah kita tentu dapat memberikan
penilaiannya secara ilmiah.
Kalau film The Act of Killing karya sutradara Joshua Oppenheimer lebih jujur
dan akurat menggambarkan Gestapu dan akibatnya, termasuk mereka yang dianggap
bersalah tanpa dibuktikan dalam pengadilan, film itu sebaiknya dibiarkan
masuk dan ditonton publik, meskipun tidak usah dikampanyekan di
sekolah-sekolah. Itu bagian dari upaya mencerdaskan bangsa dan menanaman
nilai-nilai kemanusiaan dan demokrasi.
Film The Years of Living Dangerously juga sudah beredar di Indonesia.
Judul film ini sama dengan ucapan BK: ”Vivere
pericoloso”, yang artinya ’Hidup
menyerempet-nyerempet bahaya’.
Jiwa besar
Pengadilan HAM ad hoc sebaiknya
digelar agar semua ganjelan dan rasa penasaran hilang dan semua pihak menjadi
lega. Lalu, mereka yang bersalah kita maafkan. Dengan amnesti presiden, kalau
perlu.
Memaafkan pihak yang bersalah,
mengakui kekhilafannya, dan bersedia mengalah dalam posisi sedang ”di atas
angin” demi kepentingan yang lebih besar dari bangsa dan negara, merupakan
ciri negarawan berjiwa besar.
Edwin MacMasters Stanton, ahli
hukum dan politikawan, tak henti-hentinya mengecam Presiden Abraham Lincoln.
Namun, Presiden ke-16 Amerika Serikat yang wafat dalam asasinasi politik
(1865) itu tidak gusar. Stanton diyakininya beritikad baik. Bahkan, Stanton
diangkat menjadi Menteri Perang (Secretary
of War) saat Perang Budak melawan ”Konfederasi Selatan”.
Sifat
dan sikap Presiden Lincoln menunjukkan bahwa dia seorang negarawan yang
berjiwa besar (magnanimous). Nyata
benar bedanya dengan politisi ambisius yang menuruti naluri balas dendam
politik dengan menggunakan teknikalitas aturan positivistik demi sapu bersih. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar