Senin, 22 Desember 2014

Maafkan dan Lupakan

                                             Maafkan dan Lupakan

L Wilardjo  ;   Fisikawan
KOMPAS,  17 Desember 2014

                                                                                                                       


MEMINJAM kata-kata Yahya Pembaptis, dalam oratorionya, ”Messiah”, Haendel berseru: ”Ratakan jalan yang bergelombang dan luruskan yang bengkok-bengkok.”Seruan itu sekarang penad (relevant) untuk kita, utamanya pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Kalau Trisakti dan Nawacita hendak diaktualisasikan melalui revolusi mental, Presiden Joko Widodo perlu menuhoni pesan ”jas merah”: jangan sekali-kali kita lupakan sejarah.

Kalau ada bagian-bagian yang belum terungkap, atau ada yang dibeberkan demi kepentingan politik-ideologis tertentu, luruskan dulu yang bengkok-bengkok itu. ”Make the crooked straight”, kata maestro Georg Friedrich Haendel.

Ada paralelisme antara orang-orang Yahudi yang menjadi korban kekejaman Gestapo (Geheime Staatspolizei) dan SS (Schutzstaffel) di era Nazi di Jerman dan orang-orang PKI dan mereka yang dicap sebagai anggota partai itu atau ormas-ormas bangunan bawah (onderbouw)-nya.

Julukan peristiwa sejarah berdarah di pengujung September 1965 itu, ”Gestapu” (Gerakan September 30), juga mengingatkan kita kepada akronim polisi-negara rahasianya Adolf Hitler, yakni Gestapo. Sementara SS adalah pasukan kamtibmas yang bengis dan ganas. SS berseragam hitam-hitam, dan dibentuk oleh Hitler, meniru pasukan ”Kemeja Hitam”-nya diktator fasis, Benito Mussolini, di Italia.

Memaafkan

Dalam esainya berjudul ”Auschwitz dan Warisan Ketakutan” (Kompas, 9/11/2014), sutradara Lola Amaria mengulangi imbauan perempuan filsuf Jerman, Hannah Arendt. ”Maafkan, tetapi jangan lupakan.”

Imbauan itu diucapkan Arendt dalam pengadilan terhadap Adolf Eichmann, ”jagal” Nazi yang diuber sampai tertangkap oleh agen rahasia Israel, Mossad. Sungguh, suatu imbauan yang mulia. Bukankah terhadap kita yang berdosa Tuhan berkenan menjadi Allah yang Mahapengampun?

Jangan berpegang pada ayat Taurat, ”Mata dibalas mata”. Hukum kuno itu sudah dibarui melalui revolusi mental menjadi Dwisila Kasih, yakni mengasihi Tuhan dan sesama manusia.

Tak usahlah kita mengikuti kaidah ”menjaga kehormatan” dan ”menegakkan keadilan” ala mafia, lalu menjadi vigilante dan melakukan vendetta.
Vigilante ialah orang yang mengangkat diri menjadi polisi, jaksa, hakim, dan algojo sekaligus. Vendettaialah ulah vigilante dalam aksi balas dendamnya. Vigilante diperankan dengan bagus oleh Charles Bronson dalam film Death Wish.

Pada hemat saya, imbauan Arendt yang konon pacarnya Martin Heidegger, filsuf fenomenologi dan ”anak emas”-nya Hitler, masih tanggung. Seharusnya: ”Maafkan dan lupakan”. Kalau kita tidak melupakan, pikiran dan perasaan kita akan terganggu terus. Itu pertanda maaf kita tidak tulus. Dendam harus berakhir bersamaan dengan maaf yang diberikan.

Luruskan sejarah

Pesan Arendt agar kita ”jangan melupakan” kita terima, sepanjang itu diartikan sebagai peristiwa tragedi kemanusiaan yang perlu dicatat dalam sejarah. Biarlah anak-cucu kita mengetahui kejadian itu seperti kita mengetahui ulah  Karadzic, dan sebagainya yang tenar karena kejam sebagai penguasa.Atilla, Iskandar Agung, Mussolini, Trio Serbia, Milosevic-Mladic

Peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM perlu kita catat dalam sejarah, tetapi harus diluruskan dulu yang bengkok-bengkok. Buat menjadi terang dulu yang masih remang-remang.

Kalau film G-30S garapan Arifin C Noer yang menampilkan Kol TNI AL dr Amoroso Katamsi sebagai Bung Karno dianggap kurang saksama, terlebih-lebih lagi kalau dinilai berbau pesan sponsor, ya, harus diluruskan. Para ahli sejarah kita tentu dapat memberikan penilaiannya secara ilmiah.

Kalau film The Act of Killing karya sutradara Joshua Oppenheimer lebih jujur dan akurat menggambarkan Gestapu dan akibatnya, termasuk mereka yang dianggap bersalah tanpa dibuktikan dalam pengadilan, film itu sebaiknya dibiarkan masuk dan ditonton publik, meskipun tidak usah dikampanyekan di sekolah-sekolah. Itu bagian dari upaya mencerdaskan bangsa dan menanaman nilai-nilai kemanusiaan dan demokrasi.

Film The Years of Living Dangerously juga sudah beredar di Indonesia. Judul film ini sama dengan ucapan BK: ”Vivere pericoloso”, yang artinya ’Hidup menyerempet-nyerempet bahaya’.

Jiwa besar

Pengadilan HAM ad hoc sebaiknya digelar agar semua ganjelan dan rasa penasaran hilang dan semua pihak menjadi lega. Lalu, mereka yang bersalah kita maafkan. Dengan amnesti presiden, kalau perlu.

Memaafkan pihak yang bersalah, mengakui kekhilafannya, dan bersedia mengalah dalam posisi sedang ”di atas angin” demi kepentingan yang lebih besar dari bangsa dan negara, merupakan ciri negarawan berjiwa besar.

Edwin MacMasters Stanton, ahli hukum dan politikawan, tak henti-hentinya mengecam Presiden Abraham Lincoln. Namun, Presiden ke-16 Amerika Serikat yang wafat dalam asasinasi politik (1865) itu tidak gusar. Stanton diyakininya beritikad baik. Bahkan, Stanton diangkat menjadi Menteri Perang (Secretary of War) saat Perang Budak melawan ”Konfederasi Selatan”.

Sifat dan sikap Presiden Lincoln menunjukkan bahwa dia seorang negarawan yang berjiwa besar (magnanimous). Nyata benar bedanya dengan politisi ambisius yang menuruti naluri balas dendam politik dengan menggunakan teknikalitas aturan positivistik demi sapu bersih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar