Program
Listrik 35.000 MW
Felix Wisnu Handoyo ; Ekonom dan Peneliti LIPI
|
KOMPAS,
08 Desember 2014
INSTRUKSI Presiden Joko Widodo di sektor ketenagalistrikan perlu
mendapat apresiasi dalam meningkatkan penyediaan listrik mencapai 35.000
megawatt dalam lima tahun mendatang. Artinya, perlu ada tambahan suplai
listrik 7.000 MW setiap tahun. Pemerintahan saat ini menargetkan rasio
elektrifikasi 100 persen pada 2019 dari yang sebelumnya pada 2024 dengan
rasio elektrifikasi 99 persen. Lalu, menjadi hal yang menarik, bagaimana
Kabinet Kerja merealisasikan instruksi Presiden Joko Widodo?
Realistiskah target itu disematkan mengingat program percepatan
10.000 MW tahap I mundur dari waktu yang direncanakan (2007-2013). Sementara
program percepatan 10.000 MW tahap II (2013-2018) pun, yang lebih
memprioritaskan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP), tampaknya sulit
direalisasikan. Mahalnya biaya investasi dan penguasaan teknologi yang
terbatas sering menjadi kendala. Selain itu, permasalahan perizinan yang
rumit dan birokrasi yang berbelit kian membuat pengembangan PLTP di Indonesia
sulit berkembang.
Pengembangan sektor ketenagalistrikan di Indonesia masih
berbasis pada permintaan. Hal ini mengindikasikan penyediaan listrik akan
selalu lebih lambat daripada kebutuhan. Maka, tidak heran jika ancaman krisis
listrik sudah mulai terasa di beberapa provinsi di Sumatera, Kalimantan, dan
Indonesia bagian timur. Hal ini pun senada dengan kondisi riil yang terjadi
di lapangan.
Kajian Tim Kompetitif Ketenagalistrikan–LIPI pun menunjukkan
paradoks terkait dengan penyediaan ketenagalistrikan di Indonesia. Suatu
wilayah yang dekat dengan pembangkit listrik justru memiliki tingkat rasio
elektrifikasi yang lebih rendah. Selain itu, ironisnya, di beberapa daerah
penelitian yang dekat pembangkit justru tidak mendapatkan akses listrik,
dengan alasan tidak ekonomis karena sedikitnya permintaan.
Pada serangkaian diskusi pun beberapa narasumber mengemukakan
bahwa penyediaan listrik harus diawali dari permintaan, kemudian baru mulai
ada penyediaan listrik. Artinya, kelompok masyarakat atau badan usaha yang
mampu saja akan mendapatkan suplai listrik. Itu karena ini menyangkut
investasi jaringan listrik.
Secara tidak langsung dapat kita pahami, hanya kota-kota besar
yang akan mendapat suplai listrik. Wilayah pedesaan dan perbatasan akan jadi
prioritas terakhir. Kalau demikian, tidak heran apabila krisis listrik di
wilayah pedesaan dan perbatasan tidak akan pernah teratasi.
Permasalahan sektor ketenagalistrikan tidak hanya berkaitan
dengan pembangunan pembangkit listrik, juga terkait dengan distribusi
(jaringan listrik). Kontur beberapa wilayah di Indonesia yang berbukit dan
jarak antarrumah yang berjauhan selalu jadi alasan tidak ekonomisnya
penyediaan ketenagalistrikan.
Hal ini merupakan jawaban mengapa rasio elektrifikasi Indonesia
baru 78 persen (2012). Kondisi ini bahkan di bawah Vietnam, Laos, Singapura,
Malaysia, Thailand, dan Brunei. Melihat kondisi yang ada saat ini, tantangan
besar harus dihadapi Kabinet Kerja Presiden Jokowi untuk merealisasikan rasio
elektrifikasi 100 persen di tahun 2019.
Beberapa rekomendasi
Menjawab tantangan itu, pemerintahan saat ini perlu melakukan
lompatan-lompatan besar dalam penyediaan sektor ketenagalistrikan. Tim
Kompetitif Ketenagalistrikan-LIPI pun menghasilkan beberapa rekomendasi dalam
pengembangan dan pembangunan sektor ketenagalistrikan.
Pertama, pengembangan sektor ketenagalistrikan harus dilakukan
dengan skema jaringan (on grid) dan non-jaringan (off grid). Artinya,
megaproyek 35.000 MW harus dikombinasikan dengan model non-jaringan.
Apabila tetap dipaksakan dengan skema jaringan, dapat hampir
dipastikan target rasio elektrifikasi 100 persen pada 2019 akan gagal. Sebab,
permasalahan mendasar wilayah pedesaan dan perbatasan ialah tingkat
keekonomian. Mahalnya biaya jaringan listrik, baik jaringan eksternal maupun
jaringan internal (meteran listrik rumah) selalu menjadi kendala yang
mendasar dalam menyuplai wilayah pedesaan dan perbatasan.
Kedua, reformasi kelembagaan pembangunan dan penyediaan
ketenagalistrikan di Indonesia. Hasil studi Tim Kompetitif
Ketenagalistrikan-LIPI menunjukkan, penyediaan ketenagalistrikan saat ini
sangat berbelit, tumpang tindih regulasi, serta koordinasi antar-kementerian,
PLN, dan swasta tidak berjalan dengan baik. Beragam program ketenagalistrikan
pemerintah sering tumpang tindih, terutama dalam penyediaan listrik
non-jaringan. Adapun proyek pembangkit yang dikerjakan PLN sering mengalami
keterlambatan dari waktu yang direncanakan. Di pihak lain, sektor swasta
mengalami kesulitan terlibat dalam penyediaan sektor ketenagalistrikan.
Ketiga, pemerintah perlu menyinergikan program-program
pembangunan untuk sektor ketenagalistrikan. Penyediaan sektor
ketenagalistrikan tidak dapat berjalan sendiri-sendiri. Dalam hal ini,
pemerintah perlu menyinergikan peran pemerintah, BUMN, dan swasta, terlebih
dalam kaitan dengan rencana besar penyediaan listrik 35.000 MW dalam lima
tahun mendatang. Peran ketiga lembaga ini sangat penting untuk mempercepat
penyediaan sektor ketenagalistrikan di lapangan.
Keempat, mengombinasikan pembangunan pembangkit listrik berbasis
fosil dan energi terbarukan. Kita tidak bisa bergantung pada pembangkit
berbasis fosil meski secara keekonomian masih lebih ekonomis saat ini. Jadi,
alternatif energi baru dan terbarukan harus tetap menjadi agenda dalam
program listrik 35.000 MW kendati pada 10.000 MW tahap II pembangunan PLTP
telah menjadi prioritas. Hal ini penting diagendakan agar kita sedikit demi
sedikit dapat mengurangi ketergantungan pada energi fosil.
Megaproyek 35.000 MW merupakan harapan besar masyarakat
Indonesia untuk mengurangi krisis listrik yang sudah mulai dirasakan. Namun,
tantangan dan permasalahan yang ada saat ini tidaklah mudah. Pemerintah perlu
menyadari hal ini sehingga harapan untuk mencapai 100 persen rasio
elektrifikasi pada tahun 2019 dapat terealisasi dan bukan sekadar
fatamorgana. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar