Selasa, 09 Desember 2014

Etika

                                                                       Etika

Putu Setia  ;   Pengarang, Wartawan Senior Tempo
KOMPAS,  07 Desember 2014

                                                                                                                       


Cucu Romo Imam menangis tersedu-sedu. Bocah itu diberi tahu ibunya, sepedanya hilang digondol maling. Dia minta dibelikan sepeda baru. "Sudah setahun lebih anak itu tak pernah naik sepeda, dipikirkan pun mungkin tidak. Begitu tahu sepedanya hilang, langsung menangis," demikian komentar Romo, enteng. "Ya, anak kecil-anak besar sama saja. Baru ingat kalau sudah hilang. Saya juga begitu, baru kangen sama SBY setelah tak lagi berkuasa."

Saya tersentak. "Maksud Romo kangen dengan Pak Susilo Bambang Yudhoyono?" Romo tertawa: "Ya, betul. Sepuluh tahun menjadi presiden saya kurang perhatian secara khusus. Biasa-biasa saja, saya tak suka memuji tapi juga tak suka memaki. Tapi, begitu beliau tak lagi menjadi presiden, kok tiba-tiba kangen. Saya merasa kehilangan. Apalagi saat SBY dikibuli soal kesepakatan Perpu Pilkada."

Saya tersenyum maklum. Pasti Romo membaca tweet yang diunggah SBY soal penolakan Golkar terhadap Perpu Pilkada. Romo punya akun Twitter tapi tak suka nge-tweet, hanya suka membaca. Orang yang "lurus" seperti Romo Imam pasti bersedih bagaimana SBY bisa dikibuli begitu saja soal Perpu Pilkada. 

Selaku Ketua Umum Partai Demokrat, SBY memerintahkan Fraksi Demokrat untuk bergabung dengan Koalisi Merah Putih dalam menentukan pimpinan DPR dan MPR. Tapi dengan syarat mutlak, Koalisi Merah Putih mendukung perpu. Setelah pimpinan DPR dan MPR disikat habis Koalisi Merah Putih, ternyata sekarang Golkar menolak perpu. Juga pernyataan politikus Gerindra, Desmon, yang menyebut tak ada kesepakatan itu, dan menuduh SBY berbohong. Akan halnya politikus Partai Keadilan Sejahtera, Fahri Hamzah, dia menyebut partainya dulu setuju perpu karena saat itu perpu belum dibaca.

"Itu aneh, kurang pinter mencari alasan," kata Romo untuk alasan Fahri Hamzah. Tapi saya mengingatkan Romo, Fahri Hamzah itu Wakil Ketua DPR, tak mungkin orang bodoh berada dalam kedudukan tersebut. "Bodoh atau tidak, mereka tak punya etika. Lihat tweet SBY yang mengatakan: politik juga soal kebenaran, politik akan indah jika pelakunya memegang etika dan juga bisa dipercaya," kata Romo.

Etika, suatu kata yang berangsur hilang dari negeri ini. Kesepakatan soal perpu yang ditandatangani pada 1 Oktober, yang dengan mudah diingkari, memang menabrak etika umum. Namun cara memandang etika itu sendiri juga berbeda-beda. Orang yang lagi mabuk dan berada dalam kekuasaan mungkin tak melihat dirinya menabrak etika.

"Apakah elite politik sekarang punya etika?" tiba-tiba Romo menghentikan renungan saya. Saya tersenyum belum mampu menjawab. "Saya yakin tidak lagi," kata Romo. "Lihat saja ruang paripurna DPR, tak ada gambar Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Di pilar gedung, semua foto presiden terdahulu dipasang, tapi tak ada foto Jokowi. Saya yakin Jokowi rapopo, tapi etikanya di mana? Itu simbol negara, suka atau tidak kepada pribadinya, simbol harus dihormati. Itu etika berbangsa."

Kalau Romo lagi "panas", saya biasanya diam. "Kenapa hakim dalam sidang dipanggil Yang Mulia? Karena ada simbol keadilan atas nama Tuhan di sana. Itu etika, tak ada dalam undang-undang. Kenapa anggota DPR diembel-embeli Yang Terhormat? Itu pun etika dan sopan santun kenegaraan karena mereka mengemban amanat rakyat. Kalau anggota DPR tak mau lagi menghormati simbol presiden dan melecehkan etika berbangsa, apa mau mereka dipanggil Yang Terbrengsek atau Yang Terbego?"

"Romo, Romo, eling...." saya mencoba menenangkan. Romo minum. Setua apa pun orang, seperti Romo Imam atau SBY, marah masih wajar asal sesuai dengan kadarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar