Etika
Putu Setia ; Pengarang, Wartawan Senior Tempo
|
KOMPAS,
07 Desember 2014
Cucu Romo Imam
menangis tersedu-sedu. Bocah itu diberi tahu ibunya, sepedanya hilang
digondol maling. Dia minta dibelikan sepeda baru. "Sudah setahun lebih
anak itu tak pernah naik sepeda, dipikirkan pun mungkin tidak. Begitu tahu
sepedanya hilang, langsung menangis," demikian komentar Romo, enteng.
"Ya, anak kecil-anak besar sama saja. Baru ingat kalau sudah hilang.
Saya juga begitu, baru kangen sama SBY setelah tak lagi berkuasa."
Saya
tersentak. "Maksud Romo kangen dengan Pak Susilo Bambang
Yudhoyono?" Romo tertawa: "Ya, betul. Sepuluh tahun menjadi
presiden saya kurang perhatian secara khusus. Biasa-biasa saja, saya tak suka
memuji tapi juga tak suka memaki. Tapi, begitu beliau tak lagi menjadi
presiden, kok tiba-tiba kangen. Saya merasa kehilangan. Apalagi saat SBY
dikibuli soal kesepakatan Perpu Pilkada."
Saya tersenyum
maklum. Pasti Romo membaca tweet
yang diunggah SBY soal penolakan Golkar terhadap Perpu Pilkada. Romo punya
akun Twitter tapi tak suka nge-tweet,
hanya suka membaca. Orang yang "lurus" seperti Romo Imam pasti
bersedih bagaimana SBY bisa dikibuli begitu saja soal Perpu Pilkada.
Selaku
Ketua Umum Partai Demokrat, SBY memerintahkan Fraksi Demokrat untuk bergabung
dengan Koalisi Merah Putih dalam menentukan pimpinan DPR dan MPR. Tapi dengan
syarat mutlak, Koalisi Merah Putih mendukung perpu. Setelah pimpinan DPR dan
MPR disikat habis Koalisi Merah Putih, ternyata sekarang Golkar menolak
perpu. Juga pernyataan politikus Gerindra, Desmon, yang menyebut tak ada
kesepakatan itu, dan menuduh SBY berbohong. Akan halnya politikus Partai
Keadilan Sejahtera, Fahri Hamzah, dia menyebut partainya dulu setuju perpu
karena saat itu perpu belum dibaca.
"Itu
aneh, kurang pinter mencari alasan," kata Romo untuk alasan Fahri
Hamzah. Tapi saya mengingatkan Romo, Fahri Hamzah itu Wakil Ketua DPR, tak
mungkin orang bodoh berada dalam kedudukan tersebut. "Bodoh atau tidak,
mereka tak punya etika. Lihat tweet
SBY yang mengatakan: politik juga soal kebenaran, politik akan indah jika
pelakunya memegang etika dan juga bisa dipercaya," kata Romo.
Etika, suatu
kata yang berangsur hilang dari negeri ini. Kesepakatan soal perpu yang
ditandatangani pada 1 Oktober, yang dengan mudah diingkari, memang menabrak
etika umum. Namun cara memandang etika itu sendiri juga berbeda-beda. Orang
yang lagi mabuk dan berada dalam kekuasaan mungkin tak melihat dirinya
menabrak etika.
"Apakah
elite politik sekarang punya etika?" tiba-tiba Romo menghentikan
renungan saya. Saya tersenyum belum mampu menjawab. "Saya yakin tidak
lagi," kata Romo. "Lihat saja ruang paripurna DPR, tak ada gambar
Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Di pilar gedung, semua
foto presiden terdahulu dipasang, tapi tak ada foto Jokowi. Saya yakin Jokowi
rapopo, tapi etikanya di mana? Itu
simbol negara, suka atau tidak kepada pribadinya, simbol harus dihormati. Itu
etika berbangsa."
Kalau Romo
lagi "panas", saya biasanya diam. "Kenapa hakim dalam sidang
dipanggil Yang Mulia? Karena ada simbol keadilan atas nama Tuhan di sana. Itu
etika, tak ada dalam undang-undang. Kenapa anggota DPR diembel-embeli Yang
Terhormat? Itu pun etika dan sopan santun kenegaraan karena mereka mengemban
amanat rakyat. Kalau anggota DPR tak mau lagi menghormati simbol presiden dan
melecehkan etika berbangsa, apa mau mereka dipanggil Yang Terbrengsek atau
Yang Terbego?"
"Romo,
Romo, eling...." saya mencoba menenangkan. Romo minum. Setua apa pun
orang, seperti Romo Imam atau SBY, marah masih wajar asal sesuai dengan
kadarnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar