Rabu, 10 Desember 2014

Kinerja MPR

                                                           Kinerja MPR

Bahrul Ilmi Yakup  ;   Ketua Asosiasi Advokat Konstitusi;
Advokat dan Konsultan Hukum BUMN; Ketua Pusat Kajian BUMN
KOMPAS,  08 Desember 2014

                                                                                                                       


KEGADUHAN politik menjelang pelantikan presiden pada 20 Oktober 2014 telah lama usai. Popularitas Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai lembaga negara kembali redup, dan sepertinya akan kembali tenggelam dalam rutinitas. Adakah MPR hanya menjadi penting sekali dalam lima tahun?

Sebagai lembaga negara, MPR sebetulnya memiliki kedudukan kuat dan sentral dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Sesuai gagasan awal pembentukannya, MPR merupakan lembaga negara yang berwenang membahas dan memutuskan semua isu penting dan strategis kenegaraan. Gagasan demikianlah yang dimaksud Soepomo, Mohamad Yamin, dan Soekarno ketika membahas lembaga MPR dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Oleh karena itu, sedari awal MPR diatur pada bagian paling awal dari UUD 1945, mendahului pengaturan lembaga Presiden dan lembaga negara lainnya.

Alami degradasi peran

Namun, dalam praktiknya, lembaga MPR mengalami deviasi, bahkan degradasi peran. MPR gagal melaksanakan peran konstitusionalnya sebagai lembaga negara sentral dalam banyak momen penting kenegaraan. MPR sering kali berperan hanya sebagai penyalur gagasan dan kehendak lembaga negara yang lain. Praktik demikian sejatinya mencederai lembaga MPR yang pada awalnya menyandang julukan sebagai ”lembaga tertinggi negara”.

Kendati pada era Reformasi MPR tidak lagi menyandang julukan sebagai ”lembaga tertinggi negara”, seharusnya MPR tidak hanya berperan sebagai aksesori sistem ketatanegaraan Indonesia. Itu karena MPR masih tetap memegang kewenangan sentral dan strategis dalam menentukan arah dan karakter sistem ketatanegaraan Indonesia.

Menurut Pasal 3 UUD 1945, MPR memiliki wewenang mengubah dan menetapkan UUD, melantik presiden dan/atau wakil presiden, memberhentikan presiden dan/atau wakil presiden dalam masa jabatannya apabila terbukti melanggar UUD 1945 atau UU. Kewenangan tersebut dirinci lebih lanjut oleh UU No 17/2014 tentang MPR, DPD, DPR, dan DPRD (MD3).

Selanjutnya, UU No 17/2014 memberi tugas kepada MPR untuk (a) memasyarakatkan Ketetapan MPR; (b) memasyarakatkan Pancasila, UUD 1945, konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan konsep Bhinneka Tunggal Ika; (c) mengkaji sistem ketatanegaraan, UUD 1945 dan pelaksanaannya; serta (d) menyerap aspirasi masyarakat berkaitan dengan pelaksanaan UUD 1945. Dengan demikian, sejatinya MPR memiliki tugas berat yang bersifat determinatif terkait dengan pemahaman, interpretasi, dan implementasi UUD 1945.

Tugas MPR yang bersifat determinatif tersebut seyogianya dapat dilaksanakan secara baik dan bertanggung jawab oleh MPR, terutama MPR periode 2014-2019. MPR sejatinya menjadi sumber pertama dan utama yang seharusnya memberi kata akhir pemutus untuk setiap aspek pemahaman, interpretasi, dan implementasi UUD 1945.

Terkait dengan itu, menjadi aneh dan ironis ketika ternyata MPR tidak mampu muncul memberikan solusi atas beragam persoalan kenegaraan. Hal-hal tersebut di antaranya MPR ternyata tidak mampu memberikan jawaban solutif atas perdebatan sengit komponen bangsa, apakah kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat atau dipilih oleh DPRD sebagai pemaknaan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945.

Kecacatan amandemen

Sebagai lembaga negara, MPR seyogianya memiliki kinerja produktif yang berkualitas, tak hanya terbatas pada kinerja rutinitas sebagaimana yang dilakukan MPR selama ini. MPR seyogianya berperan korektif dan antisipatif menyangkut pemahaman, interpretasi, dan implementasi UUD 1945 yang menjadi tugas konstitusionalnya.

Adalah naif dan ironis apabila sampai saat ini ternyata MPR tak menyadari bahwa ada kecacatan konstitusional dalam amandemen I, II, III, dan IV UUD 1945 yang dilakukan MPR selama Sidang Umum 1999, 2000, 2001, dan 2002. Padahal, amandemen tersebut telah berlangsung lebih dari sepuluh tahun.

Kekeliruan konstitusional amandemen I, II, III, dan IV UUD 1945 yang dilakukan MPR meliputi dua aspek. Pertama, pada aspek penuangan jenis aturan hukum yang menjadi bentuk formal amandemen UUD 1945. Pasal 3 UUD 1945 naskah asli berikut Tap MPR No XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR mengenai Sumber Tata Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia Huruf B Butir 2 mengatur dan menghendaki bahwa Perubahan UUD dituangkan dalam jenis aturan hukum berupa Ketetapan MPR.

Sementara fakta yang terjadi, MPR hanya menuangkan amandemen I, II, III, dan IV UUD 1945 dalam jenis aturan hukum berupa Risalah Rapat Paripurna MPR. Oleh karena itu, amandemen I, II, III, dan IV UUD 1945 tersebut sesungguhnya mengandung cacat konstitusional.

Kedua, aspek perujukan wewenang substantif. Dalam melakukan amandemen I, II, III, dan IV UUD 1945, MPR hanya merujuk wewenangnya yang diatur Pasal 37 UUD 1945 naskah asli tentang Perubahan Undang-Undang Dasar. Padahal, norma Pasal 37 UUD 1945 tersebut hanya mengatur mekanisme amandemen Undang-Undang Dasar, tidak mengatur substansi wewenang MPR untuk mengamandemen UUD 1945.

Norma substantif MPR untuk mengamandemen UUD 1945 diatur Pasal 3 UUD 1945 naskah asli, yang secara faktual sama sekali tidak dirujuk MPR ketika melakukan amandemen I, II, dan III. MPR hanya merujuk norma Pasal 3 UUD 1945 naskah asli dalam melakukan amandemen IV tahun 2002.

Perlu segera dikoreksi

Dampak kelalaian tersebut, MPR telah melahirkan amandemen I, II, III, dan IV UUD 1945 yang mengandung kecacatan konstitusional. Kelalaian tersebut seharusnya segera dikoreksi MPR agar tidak menjadi persoalan yuridis-konstitusional ketatanegaraan Indonesia.

Peluang MPR untuk mengoreksi kelalaian tersebut, menurut hukum, masih terbuka. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 7 Ayat (1) Huruf b UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang mengatur eksistensi TAP MPR sebagai salah satu jenis aturan hukum kendati masih harus berupaya menganulir pembatasan dalam bagian penjelasannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar