Kinerja
MPR
Bahrul Ilmi Yakup ; Ketua Asosiasi Advokat Konstitusi;
Advokat dan Konsultan Hukum BUMN; Ketua Pusat
Kajian BUMN
|
KOMPAS,
08 Desember 2014
KEGADUHAN politik menjelang pelantikan presiden pada 20 Oktober
2014 telah lama usai. Popularitas Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai
lembaga negara kembali redup, dan sepertinya akan kembali tenggelam dalam
rutinitas. Adakah MPR hanya menjadi penting sekali dalam lima tahun?
Sebagai lembaga negara, MPR sebetulnya memiliki kedudukan kuat
dan sentral dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Sesuai gagasan awal
pembentukannya, MPR merupakan lembaga negara yang berwenang membahas dan
memutuskan semua isu penting dan strategis kenegaraan. Gagasan demikianlah
yang dimaksud Soepomo, Mohamad Yamin, dan Soekarno ketika membahas lembaga
MPR dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Oleh karena itu,
sedari awal MPR diatur pada bagian paling awal dari UUD 1945, mendahului pengaturan
lembaga Presiden dan lembaga negara lainnya.
Alami degradasi peran
Namun, dalam praktiknya, lembaga MPR mengalami deviasi, bahkan
degradasi peran. MPR gagal melaksanakan peran konstitusionalnya sebagai
lembaga negara sentral dalam banyak momen penting kenegaraan. MPR sering kali
berperan hanya sebagai penyalur gagasan dan kehendak lembaga negara yang
lain. Praktik demikian sejatinya mencederai lembaga MPR yang pada awalnya
menyandang julukan sebagai ”lembaga tertinggi negara”.
Kendati pada era Reformasi MPR tidak lagi menyandang julukan
sebagai ”lembaga tertinggi negara”, seharusnya MPR tidak hanya berperan
sebagai aksesori sistem ketatanegaraan Indonesia. Itu karena MPR masih tetap
memegang kewenangan sentral dan strategis dalam menentukan arah dan karakter
sistem ketatanegaraan Indonesia.
Menurut Pasal 3 UUD 1945, MPR memiliki wewenang mengubah dan
menetapkan UUD, melantik presiden dan/atau wakil presiden, memberhentikan
presiden dan/atau wakil presiden dalam masa jabatannya apabila terbukti melanggar
UUD 1945 atau UU. Kewenangan tersebut dirinci lebih lanjut oleh UU No 17/2014
tentang MPR, DPD, DPR, dan DPRD (MD3).
Selanjutnya, UU No 17/2014 memberi tugas kepada MPR untuk (a)
memasyarakatkan Ketetapan MPR; (b) memasyarakatkan Pancasila, UUD 1945,
konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan konsep Bhinneka Tunggal Ika;
(c) mengkaji sistem ketatanegaraan, UUD 1945 dan pelaksanaannya; serta (d)
menyerap aspirasi masyarakat berkaitan dengan pelaksanaan UUD 1945. Dengan
demikian, sejatinya MPR memiliki tugas berat yang bersifat determinatif
terkait dengan pemahaman, interpretasi, dan implementasi UUD 1945.
Tugas MPR yang bersifat determinatif tersebut seyogianya dapat
dilaksanakan secara baik dan bertanggung jawab oleh MPR, terutama MPR periode
2014-2019. MPR sejatinya menjadi sumber pertama dan utama yang seharusnya
memberi kata akhir pemutus untuk setiap aspek pemahaman, interpretasi, dan
implementasi UUD 1945.
Terkait dengan itu, menjadi aneh dan ironis ketika ternyata MPR
tidak mampu muncul memberikan solusi atas beragam persoalan kenegaraan.
Hal-hal tersebut di antaranya MPR ternyata tidak mampu memberikan jawaban
solutif atas perdebatan sengit komponen bangsa, apakah kepala daerah dipilih
secara langsung oleh rakyat atau dipilih oleh DPRD sebagai pemaknaan Pasal 18
Ayat (4) UUD 1945.
Kecacatan amandemen
Sebagai lembaga negara, MPR seyogianya memiliki kinerja
produktif yang berkualitas, tak hanya terbatas pada kinerja rutinitas
sebagaimana yang dilakukan MPR selama ini. MPR seyogianya berperan korektif
dan antisipatif menyangkut pemahaman, interpretasi, dan implementasi UUD 1945
yang menjadi tugas konstitusionalnya.
Adalah naif dan ironis apabila sampai saat ini ternyata MPR tak
menyadari bahwa ada kecacatan konstitusional dalam amandemen I, II, III, dan
IV UUD 1945 yang dilakukan MPR selama Sidang Umum 1999, 2000, 2001, dan 2002.
Padahal, amandemen tersebut telah berlangsung lebih dari sepuluh tahun.
Kekeliruan konstitusional amandemen I, II, III, dan IV UUD 1945
yang dilakukan MPR meliputi dua aspek. Pertama, pada aspek penuangan jenis
aturan hukum yang menjadi bentuk formal amandemen UUD 1945. Pasal 3 UUD 1945
naskah asli berikut Tap MPR No XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR
mengenai Sumber Tata Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan
Peraturan Perundangan Republik Indonesia Huruf B Butir 2 mengatur dan
menghendaki bahwa Perubahan UUD dituangkan dalam jenis aturan hukum berupa
Ketetapan MPR.
Sementara fakta yang terjadi, MPR hanya menuangkan amandemen I,
II, III, dan IV UUD 1945 dalam jenis aturan hukum berupa Risalah Rapat
Paripurna MPR. Oleh karena itu, amandemen I, II, III, dan IV UUD 1945
tersebut sesungguhnya mengandung cacat konstitusional.
Kedua, aspek perujukan wewenang substantif. Dalam melakukan
amandemen I, II, III, dan IV UUD 1945, MPR hanya merujuk wewenangnya yang
diatur Pasal 37 UUD 1945 naskah asli tentang Perubahan Undang-Undang Dasar.
Padahal, norma Pasal 37 UUD 1945 tersebut hanya mengatur mekanisme amandemen
Undang-Undang Dasar, tidak mengatur substansi wewenang MPR untuk
mengamandemen UUD 1945.
Norma substantif MPR untuk mengamandemen UUD 1945 diatur Pasal 3
UUD 1945 naskah asli, yang secara faktual sama sekali tidak dirujuk MPR
ketika melakukan amandemen I, II, dan III. MPR hanya merujuk norma Pasal 3
UUD 1945 naskah asli dalam melakukan amandemen IV tahun 2002.
Perlu segera dikoreksi
Dampak kelalaian tersebut, MPR telah melahirkan amandemen I, II,
III, dan IV UUD 1945 yang mengandung kecacatan konstitusional. Kelalaian
tersebut seharusnya segera dikoreksi MPR agar tidak menjadi persoalan
yuridis-konstitusional ketatanegaraan Indonesia.
Peluang MPR untuk mengoreksi kelalaian tersebut, menurut hukum,
masih terbuka. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 7 Ayat (1) Huruf b UU No
12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang mengatur
eksistensi TAP MPR sebagai salah satu jenis aturan hukum kendati masih harus
berupaya menganulir pembatasan dalam bagian penjelasannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar