Kamis, 18 Desember 2014

Profesionalitas dalam Penilaian Amdal

Profesionalitas dalam Penilaian Amdal

M Daud Silalahi  ;   Guru Besar Hukum Lingkungan Universitas Padjadjaran (Unpad)
SUARA MERDEKA,  17 Desember 2014

                                                                                                                       


“Izin suatu usaha atau kegiatan bahkan bisa dicabut bila syarat izin lingkungan dilanggar pada tahap operasi”

IZIN mengenai lingkungan sebenarnya bisa dikatakan regulasi yang ”baru dikenal”, yang kemudian diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) dan PP Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan (PP Nomor 27/2012). Izin itu diterbitkan oleh menteri Lingkungan Hidup, gubernur, atau bupati/ wali kota sesuai kewenangannya setelah pihak yang akan melaksanakan kegiatan, menyusun amdal terkait pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup atas wilayah yang terkena dampak usaha itu.

Problematika hukum yang akhir-akhir ini terjadi adalah adanya gugatan terhadap izin lingkungan ke peradilan administratif oleh pihak yang khawatir akan rusak atau tercemarnya lingkungan hidup terkait suatu kegiatan usaha. Padahal, izin itu telah dilengkapi amdal. Pertanyaannya, apakah izin lingkungan bisa digugat mengingat telah dilengkapi dokumen amdal sebagai kajian akademis? Konsep amdal berlatar analisis ilmiah lintas disiplin ilmu dan bersifat holistik secara ekologis.

Karena itu, amdal dirumuskan secara sistematis untuk mengidentifikasi, memprediksi, mengevaluasi, atau menilai kemungkinan terjadinya dampak signifikan terkait rencana kegiatan dalam proses pengambilan keputusan. Maksudnya supaya dampak negatifnya dapat dicegah atau diminimalkan. Hasil kajian amdal dijadikan dasar penerbitan izin lingkungan setelah diuji secara ilmiah berdasarkan kompetensi ilmu yang terkait guna menjamin validitasnya.

Kajian ilmiah yang sistemik dan komprehensif tersebut tidak mungkin dilakukan atau dinilai oleh orang yang tidak berkompeten, atau bukan ahlinya. Pasalnya, sedari awal penyusunan dokumen itu dimaksudkan supaya sejak perencanaan hingga pelaksanaan, bisa dirancang instrumen pengelolaan yang terbaik, dan bisa dinilai oleh Komisi Amdal.

Kompetensi Keahlian

Komisi itu mempunyai otoritas dengan latar belakang kompetensi/keahlian khusus yang diperoleh melalui pendidikan khusus pula.

Rezim UUPPLH itulah yang kemudian diadopsi oleh PP Nomor 27/2012 dengan memperkenalkan izin lingkungan dalam proses amdal, sebagai pengintegrasi berbagai bentuk izin lingkungan yang berlaku sebelumnya. Rezim ini sekaligus meningkatkan kapasitas instansi di bidang lingkungan dalam proses pemantauan ketaatan secara tegas melalui izin lingkungan.

Mekanisme pemantauan ketaatan atas pelaksanaan izin lingkungan bisa mengakibatkan penangguhan, bahkan pembatalan izin usaha bila terbukti ada pelanggaran izin lingkungan (Pasal 40 UUPPLH). Hal itu suatu perubahan yang mendasar dari PP Amdal sebelumnya. Bahkan guna menjamin validitas amdal secara ilmiah, ada persyaratan kompetensi keahlian anggota Komisi Amdal untuk boleh menilainya, dan otoritas Komisi itu dinyatakan dengan lisensi, sesuai dengan PP Amdal dan izin lingkungan.

Anggota Komisi itu wajib memiliki sertifikat amdal yang diperoleh lewat kursus supaya ia bisa menilai amdal, baik secara teknis maupun ilmiah. Terkait dengan transparansi, ketidakberpihakan dan prinsip keterwakilan dari pemangku kepentingan dan perwakilan lingkungan maka Komisi Amdal selalu beranggotakan wakil organisasi lingkungan, kemungkinan terkena dampak, dan wakil daripusat studi lingkungan (PSL) sebagai perwakilan keahlian/ilmiah. Karena itu secara hukum, amdal dan izin lingkungansebagai hasil kajian ilmiah dalam sistemhukum lingkungan tidak dapat diuji berdasarkanprinsip-prinsip umum hukum administrasi negara.

Atas dasar kerangka berpikir itu pula, para hakim di Jepang menyebut kajian ilmiah itu sebagai verifikasi ilmiah. Bahkan Cartagena Protocol 2000 menyebutnya guna menjamin ”kepastian ilmiah” dalam proses keputusan layak lingkungan, bukan kepastian hukum. Pasalnya, keputusannya itu berdasarkan validitas ilmiah yang tidak bisa ”jatuh” oleh sistem hukum administrasi melalui PTUN. Mengacu konsep amdal dan izin lingkungan berdasarkan layak lingkungan secara ilmiah, saya berpendapat ada kekeliruan berpikir ilmiah dari sebagian masyarakat.

Hal itu mengingat penilaian layak lingkungan oleh Komisi Amdal selalu ditetapkan bersama-sama dengan wakil organisasi lingkungan yang secara hukum mewakili lingkungan,dan juga masyarakat yang mungkin terkena dampak. Hal itu supaya hasil penilaian layak secara sosial, ekonomi, dan lingkungan, bisa dipenuhi. Bahkan pada tahap pelaksanaannya, instrumen pengelolaan dan pemantauan (RKL danRPL) berdasarkan amdal bisa terus diperbaiki sesuai dengan perkembangan iptek. Atas dasar pemikiran itu, publik bisa memperoleh pemahaman bahwa keberadaan amdal dimaksudkan guna meningkatkan kualitas pengambilan keputusan yang lebih baik.

Alat ukur ilmunya yang digunakan pun lebih akurat, termasuk memakai pilihan instrumen pemantauan dan pengelolaanlingkungan yang terbaik. Berkembangnya izin lingkungan dalam generasi keempat amdal pada tahun 2012, akan memberikan kekuatan pemantauan (Pasal 40 UUPPLH), antara lain artinya bisa menghentikan atau mencabut izin usaha/kegiatan bila syarat izin lingkungan dilanggar pada tahap operasi. Amdal memiliki konsep sebagai kajian ilmiah dengan biaya sangat mahal dan waktu lama (75 hari kerja).

Jadi, bila amdal dan izin lingkungan sebagai instrumen pemantauan ketaatan serta instrumen perlindungan dan pengelolaan lingkungan dijadikan sengketa di PTUN maka tujuan dari amdal secara otomatis hilang. Padahal penyusunan amdal dimaksudkan pertama;untuk meningkatkan kualitas lingkungan melalui sistem pengelolaan dan pemantauan lingkungan yang efektif dan efisien.

Kedua; menyejahterakan masyarakat melalui pembangunan berkelanjutan seiring dengan perkembangan iptek. Ketiga; membuka peluang baru pertumbuhan ekonomi. Penolakan amdal secara hukum (PPAmdal) hanya dapat terjadi karena dua alasan, yaitu bila pada penilaian amdal disimpulkan (1) dampak negatif lebih besar dari dampak positif (cost-benefit analysis), dan (2) bila dampak negatif tidak dapat ditanggulangi dengan teknologi yang ada (analisis risiko lingkungan).

Berkait timbulnya kekhawatiran terjadinya dampak lingkungan yang serius, yang disebut dampak penting dalam UUPPLH, justru merupakan tujuan dari pentingnya penyusunan amdal. Pasalnya, berdasarkan kajian amdal oleh para ahli dan penilaian oleh Komisi Amdal maka dampak negatif tersebut bisa dicegah atau diminimalisasi sejak sedini mungkin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar