Rabu, 17 Desember 2014

Presiden dan Masalah GKI Yasmin

         Presiden dan Masalah GKI Yasmin

Albert Yosua Bonasahat  ;   Alumnus Fakultas Hukum Universitas Utrecht Belanda
KORAN TEMPO,  16 Desember 2014

                                                                                                                       


Dalam dokumen Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Nomor A/HRC/26/29 tertanggal 14 April 2014, untuk kesekian kalinya Indonesia masuk ke catatan buruk Dewan HAM PBB, terkait dengan kasus-kasus yang dialami kelompok minoritas Ahmadiyah, Baha'i, Syiah, dan Kristen. Kasus GKI Yasmin disebutkan dengan kalimat khusus.

Menghadapi sorotan berbagai pihak termasuk dunia internasional selama masa pemerintahan Presiden SBY, pemerintah pusat memandang kasus GKI Yasmin sebagai persoalan izin mendirikan bangunan (IMB) yang merupakan wilayah kewenangan pemerintah daerah. Benarkah demikian?

Sejak adanya putusan Mahkamah Agung Nomor 127 PK/TUN/2009 tertanggal 9 Desember 2010 dalam sengketa hukum soal IMB gereja GKI di Taman Yasmin yang membatalkan pembekuan IMB gereja GKI Yasmin, kasus GKI Yasmin telah bergeser dari persoalan IMB kepada persoalan kepatuhan seluruh warga negara, termasuk pejabat publik di pemerintahan pusat dan daerah, kepada putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Dalam konteks ini, memastikan kepatuhan Pemerintah Daerah Kota Madya Bogor terhadap putusan Mahkamah Agung (juga Ombudsman) dalam kasus GKI Yasmin merupakan kewajiban konstitusional presiden memastikan bahwa supremasi hukum yang diatur dalam UUD 1945 dan kesetaraan segala warga negara dalam hukum dan pemerintahan serta kewajiban untuk menjunjung hukum dan pemerintahan tanpa kecuali dilaksanakan secara tegas dan tanpa pandang bulu.

Argumentasi pemerintahan masa lalu yang mengatakan bahwa Undang-Undang Pemerintah Daerah membuat pemerintah pusat tidak dapat masuk ke penyelesaian kasus hukum GKI Yasmin juga sangat keliru. Ini mengingat baik dalam UU Pemerintahan Daerah Nomor 32/2004 maupun UU Pemerintahan Daerah Nomor 23/2014 yang kini berlaku menegaskan bahwa urusan agama adalah urusan absolut pemerintah pusat.

Ketika persoalan IMB bergulir ke pengadilan dan dinyatakan sah, penyegelan gereja GKI Yasmin adalah ranah agama, di mana karena adanya pembangkangan hukum pemerintah daerah, yang selama ini tidak dikoreksi oleh pemerintah pusat, menjadikan warga negara Indonesia yang kebetulan juga menjadi warga jemaat gereja GKI di Taman Yasmin tidak dapat menjalankan ibadah sesuai agama dan keyakinannya sendiri di rumah ibadahnya sendiri yang sah.

Memastikan hak beragama WNI jemaat GKI Yasmin dilindungi dan ditegakkan di Kota Madya Bogor adalah ranah absolut dari pemerintah pusat, yang jika tidak dilaksanakan, pembangkangan hukum pemerintah daerah tersebut justru akan rentan dicontoh oleh pemerintah daerah lainnya untuk menutup rumah ibadah yang sah milik kelompok masyarakat yang agama atau kepercayaannya dianggap minoritas, mengikuti tekanan kelompok yang dianggap mayoritas.

Pergantian pemerintah kepada pemerintahan yang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo diharapkan dapat meluruskan salah kaprah dalam kasus GKI Yasmin ini. Demi memastikan bahwa konstitusi negeri ini tegak, dan demi menjaga nama Indonesia di tingkat dunia dalam isu hak asasi manusia, sudah sepantasnya Presiden Joko Widodo segera mengambil tindakan nyata dan tegas untuk memastikan putusan Mahkamah Agung dan Ombudsman Republik Indonesia terkait dengan gereja GKI Yasmin ditegakkan tanpa ditunda lebih lama lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar