Presiden
dan Masalah GKI Yasmin
Albert Yosua Bonasahat ; Alumnus Fakultas Hukum Universitas Utrecht
Belanda
|
KORAN
TEMPO, 16 Desember 2014
Dalam
dokumen Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Nomor
A/HRC/26/29 tertanggal 14 April 2014, untuk kesekian kalinya Indonesia masuk
ke catatan buruk Dewan HAM PBB, terkait dengan kasus-kasus yang dialami
kelompok minoritas Ahmadiyah, Baha'i, Syiah, dan Kristen. Kasus GKI Yasmin
disebutkan dengan kalimat khusus.
Menghadapi
sorotan berbagai pihak termasuk dunia internasional selama
masa pemerintahan Presiden SBY, pemerintah pusat memandang kasus GKI Yasmin
sebagai persoalan izin mendirikan bangunan (IMB) yang merupakan wilayah
kewenangan pemerintah daerah. Benarkah demikian?
Sejak adanya putusan Mahkamah
Agung Nomor 127 PK/TUN/2009 tertanggal 9 Desember 2010 dalam sengketa hukum
soal IMB gereja GKI di Taman Yasmin yang membatalkan pembekuan IMB gereja GKI
Yasmin, kasus GKI Yasmin telah bergeser dari persoalan IMB kepada persoalan
kepatuhan seluruh warga negara, termasuk pejabat publik di pemerintahan pusat
dan daerah, kepada putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Dalam
konteks ini, memastikan kepatuhan Pemerintah Daerah Kota Madya Bogor terhadap
putusan Mahkamah Agung (juga Ombudsman) dalam kasus GKI Yasmin merupakan
kewajiban konstitusional presiden memastikan bahwa supremasi hukum yang
diatur dalam UUD 1945 dan kesetaraan segala warga negara dalam hukum dan
pemerintahan serta kewajiban untuk menjunjung hukum dan pemerintahan tanpa
kecuali dilaksanakan secara tegas dan tanpa pandang bulu.
Argumentasi
pemerintahan masa lalu yang mengatakan bahwa Undang-Undang Pemerintah Daerah
membuat pemerintah pusat tidak dapat masuk ke penyelesaian kasus hukum GKI
Yasmin juga sangat keliru. Ini mengingat baik dalam UU Pemerintahan Daerah
Nomor 32/2004 maupun UU Pemerintahan Daerah Nomor 23/2014 yang kini berlaku
menegaskan bahwa urusan agama adalah urusan absolut pemerintah pusat.
Ketika
persoalan IMB bergulir ke pengadilan dan dinyatakan sah, penyegelan gereja
GKI Yasmin adalah ranah agama, di mana karena adanya pembangkangan hukum
pemerintah daerah, yang selama ini tidak dikoreksi oleh pemerintah pusat,
menjadikan warga negara Indonesia yang kebetulan juga menjadi warga jemaat
gereja GKI di Taman Yasmin tidak dapat menjalankan ibadah sesuai agama dan
keyakinannya sendiri di rumah ibadahnya sendiri yang sah.
Memastikan
hak beragama WNI jemaat GKI Yasmin dilindungi dan ditegakkan di Kota Madya
Bogor adalah ranah absolut dari pemerintah pusat, yang jika tidak
dilaksanakan, pembangkangan hukum pemerintah daerah tersebut justru akan
rentan dicontoh oleh pemerintah daerah lainnya untuk menutup rumah ibadah
yang sah milik kelompok masyarakat yang agama atau kepercayaannya dianggap
minoritas, mengikuti tekanan kelompok yang dianggap mayoritas.
Pergantian pemerintah kepada pemerintahan yang dipimpin oleh Presiden
Joko Widodo diharapkan dapat meluruskan salah kaprah dalam kasus GKI Yasmin
ini. Demi memastikan bahwa konstitusi negeri ini tegak, dan demi menjaga nama
Indonesia di tingkat dunia dalam isu hak asasi manusia, sudah sepantasnya
Presiden Joko Widodo segera mengambil tindakan nyata dan tegas untuk
memastikan putusan Mahkamah Agung dan Ombudsman Republik Indonesia terkait
dengan gereja GKI Yasmin ditegakkan tanpa ditunda lebih lama lagi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar