Indonesia
dalam Teh
Priyadi ; Santri di Bilik Literasi, Solo
|
KORAN
TEMPO, 16 Desember 2014
Masyarakat
Indonesia biasa menyediakan teh untuk tamunya. Di pedesaan, hal itu masih tetap
berlaku meski sang tuan rumah kadang mengatakan, "maaf, hanya ada
teh" (Koran Tempo, 22 November
2009). Teh tak hanya menjadi suguhan untuk tamu, tapi kadang juga untuk
oleh-oleh saat menjenguk orang sakit. Teh menjadi "perekat solidaritas
dan perwujudan" empati masyarakat kelas bawah. Di perkotaan, hidangan
teh telah mulai surut. Kebiasaan menyajikan teh untuk tamu diganti dengan air
mineral dalam gelas plastik!
Jutaan
warung-warung sederhana dan PKL penjual makanan, seperti mi ayam, pecel,
gado-gado, bakso, dan lainnya, memasang teh sebagai menu wajib. Penjual biasa
menyediakan pelbagai varian menu untuk tehnya.
Teh tak
hanya dikonsumsi oleh pejabat sekelas presiden, tapi juga rakyat jelata. Di
meja jamuan, obrolan Presiden Jokowi dan SBY adalah untuk memikirkan rakyat
Indonesia. Di meja makan dalam sebuah warung sederhana, teh menjadi teman
ngobrol buruh saat makanan sudah dilahap habis. Obrolan di warung tak jarang
membincangkan para pejabat dan nasib Indonesia. Mereka sering menjadi
komentator politik. Komentar mereka sering lebih panas daripada pengamat
politik di televisi. Kita memang bisa memperkirakan bobot obrolan, komentar,
dan dampaknya dari dua kelompok tersebut (elite-jelata). Namun kita tak bisa
mengelak bahwa rakyat dan pejabat bisa saling mencoba mengerti dengan
ditemani teh.
Populernya
teh di Indonesia menjadi bisnis menggiurkan. Faktor uang membuat
berhektare-hektare tanah di Indonesia telah dijadikan perkebunan teh. Hingga
2013, Badan Pusat Statistik merilis bahwa luas perkebunan teh besar dan milik
rakyat terus meningkat. Teh dan produknya pernah membawa seorang pengusaha
minuman ini masuk jajaran sepuluh orang terkaya di Indonesia. Teh juga
menjadi produk ekspor Indonesia. Namun meningkatnya penyerapan teh dalam
negeri telah membuat nilai ekspor turun pada 2014. Ekspor teh selama
Januari-September turun 14,4 persen dibanding pada periode yang sama tahun
sebelumnya (Koran Tempo, 10 Desember
2014).
Teh yang
diimpor oleh Belanda ke Indonesia pada abad XVII itu telah mempengaruhi masyarakat
Indonesia. Pengaruh dari teh juga terlihat dalam karya sastra dan koran pada
abad XX. Hella S. Haasse, penulis Belanda yang lahir di Batavia, menulis Heren van de Thee yang mengisahkan
juragan teh dan pribumi tak banyak memiliki arti dalam perannya sebagai buruh
dalam novel itu. Dalam novel tipis Oeroeg
(2009), anak pribumi yang bapaknya bekerja pada juragan teh ditampilkan
sebagai bayang-bayang anak sang juragan teh yang jadi sahabatnya ketika kecil
(Wibisono, 2014).
Dalam koran Api, 30 November 1925, terdapat tulisan tentang dibeslahnya
Api oleh polisi kolonial. Bahkan, "Pembeslaghan
boekan dilakoekan pada barang-barang jang bersangkoetan dengan perkaranja
sadja, tetapi satoe vorm zetsels sama sekali dibeslag. Keperloean advertensi
terbawa djoega." Koran Api menjadi tempat gagasan komunisme disebar,
dan dalam koran tersebut banyak pula terdapat iklan yang
"menghidupi" koran. Lima edisi pada November 1925 berisi iklan teh.
Bunyi iklannya, "Awas! Thee tjap
(gambar palu-arit)." Teh cap gambar palu-arit tersebut haroem bahoenja
dan enak rasanja." Palu-arit jadi merek teh. Nah! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar