Politik
Distributif
Dirga Ardiansa ; Peneliti Pusat Kajian Politik
dan Pengajar pada Departemen Ilmu Politik FISIP UI
|
KOMPAS,
04 Desember 2014
Tahun
2014 setidaknya ada tiga momen politik, yang terdapat partisipasi dan
keterlibatan warga dalam jumlah besar. Pertama, momen pemilu legislatif.
Kedua, momen pemilu presiden. Ketiga, momen inagurasi Joko Widodo.
Partisipasi warga dalam ketiga momen tersebut masih dalam satu tarikan napas
yang disebut sebagai partisipasi elektoral atau partisipasi dalam rangkaian
aktivitas kepemiluan. Sebuah bentuk partisipasi politik yang tergolong dalam
kadar yang masih rendah.
Partisipasi politik
Terlihat
ada kebingungan di masyarakat dalam memaknai politik. Bahkan, mereka yang
terlibat dalam ketiga momen di atas bisa merasa sangat yakin bahwa mereka
telah dan sedang terlibat secara politik. Warga memandang politik sebagai
sesuatu yang dianggap terkait dengan berbagai simbol yang bersifat institusional
seperti pemilu, bahkan ada yang memaknainya melalui dukungan terhadap sosok
atau seseorang yang merepresentasikan kekuasaan (Jokowi atau Prabowo).
Saya
sependapat dengan Susan C Stokes (2013), yang tidak terjebak memaknai politik
dalam sebuah narasi besar yang abstrak. Politik ia maknai sebagai proses
alokasi dan distribusi sumber daya kepada warga. Alhasil, secara sederhana
bisa dinilai, aktivitas warga yang melibatkan diri dengan proses alokasi dan
distribusi sumber daya adalah bentuk partisipasi politik.
Proses
alokasi sumber daya adalah ranah pembahasan antara legislatif dan eksekutif,
pengesahan dari proses penganggaran dan legislasi adalah domain dari
legislatif. Sementara proses distribusi yang terwujud dalam transformasi
anggaran dan perundangan menjadi sesuatu yang memberi daya serta diantarkan
kepada warga dalam bentuk kebijakan, program, informasi publik, bantuan,
bahkan peraturan perundangan adalah tugas eksekutif dan jajaran birokrasinya.
Pertanyaan
utamanya, berasal dari manakah dasar rujukan bagi proses alokasi (budgeting
dan legislasi) hingga distribusi (transformasi jadi kebijakan, program, dan
peraturan) sumber daya dilakukan legislatif dan eksekutif? Jika proses
politik ini bertujuan menjawab kebutuhan dan menyelesaikan masalah warga,
sudahkan warga ditanya dan dilibatkan dalam tiap prosesnya?
Dua
pertanyaan inilah titik penting untuk menjawab partisipasi politik warga.
Wakil rakyat dalam hal ini tak bisa mengatasnamakan rakyat karena ada jurang
pemisah antara kepentingan warga dan kepentingan partai politik. Karena, jika
warga dan kepentingannya absen dari kedua proses tersebut, sesungguhnya hanya
kepentingan elite politik yang hadir dan bentuk kegagalan dari partisipasi
politik warga.
Di
sinilah hadir konsep politik distributif sebagai suatu strategi melibatkan
partisipasi warga dalam proses penentuan alokasi dan distribusi sumber daya.
Strategi ini bisa dilakukan oleh eksekutif dan atau legislatif, dalam hal ini
presiden dan atau DPR, untuk tidak terjebak oleh kepentingan oligarki.
Melihat kondisi saat ini, potensi dan peluang terbesar justru ada di tangan
eksekutif/presiden untuk menjalankan strategi ini.
Dari
mana memulai proses politik distributif ini? Politik distributif adalah
sebuah strategi yang memiliki kemampuan mendorong keterlibatan warga dengan
menghubungkan antara fase perencanaan, fase kesepakatan, dan fase pengawasan
dari proses alokasi dan distribusi sumber daya. Di sinilah peran penting
pemilu karena ketiga fase tersebut dihubungkan melalui proses pemilu.
Pertama,
fase perencanaan, yang terjadi pada masa prapemilu. Berisikan sejumlah
aktivitas, seperti konsolidasi dukungan, pemetaan kebutuhan warga, penyerapan
aspirasi, dialog warga, serta menyusun visi misi dan program melalui proses
yang bottom-up dari aspirasi dan
kebutuhan warga. Jadi, visi, misi, dan program yang final bukanlah yang
diberikan ke Komisi Pemilihan Umum, yang berasal dari pikiran kandidat dan
tim suksesnya, melainkan dari hasil kesepakatan yang dimunculkan dari bawah
dari proses penyempurnaan yang dialogis dengan warga.
Caranya
bisa melalui proses penyerapan aspirasi, dialog warga, atau survei warga.
Pada fase ini, output-nya menyepakati masalah dan kebutuhan warga yang harus
dijawab melalui program-program kandidat. Fase perencanaan ini sangat penting
dalam politik distributif karena merupakan bahan bakar bagi keterlibatan
warga pada fase-fase selanjutnya. Sangat disayangkan karena sesungguhnya
tidak satu pun dari kedua kandidat presiden kita, baik Jokowi maupun Prabowo,
melalui fase ini.
Kedua,
fase kesepakatan, yang terjadi pada hari pemilihan atau pencoblosan. Fase ini
wujud sebuah kesepakatan politik untuk menggantungkan kepercayaan kepada
pemimpin. Bentuk konkretnya saat ini adalah visi, misi, dan program kandidat
yang menang, dalam hal ini Jokowi (meski visi, misi, dan programnya tak
melalui fase perencanaan yang ideal).
Ketiga,
fase pengawasan. Ini merupakan proses pasca pemilu setelah kandidat terpilih
dan harus kita awasi. Sebab, pada fase inilah relasi kuasa antara warga dan
kandidat terpilih sudah tak lagi setara. Sementara proses alokasi dan
distribusi sumber daya secara nyata terjadi pada fase ini. Apa yang terjadi
pada fase perencanaan adalah sesuatu yang penting dan harus terus dikawal
agar proses alokasi dan distribusi sumber daya sesuai dengan apa yang
direncanakan.
Saya
ambil satu contoh apa yang terjadi pada Pilkada DKI Jakarta tahun 2012. Warga
pada fase perencanaan atau masa pra-pemilu menyerukan pentingnya pembangunan
sarana transportasi publik massal untuk mengatasi hambatan mobilitas penduduk
akibat kemacetan. Apa yang terjadi kemudian, pada fase pengawasan atau masa
pasca pemilu justru muncul keinginan Pemerintah Provinsi DKI membangun enam
ruas jalan tol. Dari berbagai diskusi warga, proses penyerapan aspirasi, hingga
survei tentang masalah warga dan solusinya ini tak muncul sebagai bagian dari
rencana alokasi anggaran yang akan dieksekusi sebagai bagian dari proses
distribusi sumber daya kepada warga.
Rentan dibajak
Setelah
Jokowi terpilih sebagai presiden, kini kita telah masuk pada fase pengawasan
dalam proses alokasi dan distribusi sumber daya. Maka, strategi pelibatan
warga dalam politik distributif untuk membuka ruang bagi warga menuntut apa
yang telah direncanakan dan dijanjikan adalah suatu bentuk kekuatan agar
tidak terjadi pembajakan elite di parlemen atau justru penyelewengan dan
pengkhianatan oleh presiden terpilih itu sendiri. Karena itu, keterlibatan
dan partisipasi warga tidak bisa lagi dalam wujud hadir secara fisik dalam
jumlah besar, tetapi absen secara kepentingan dan tuntutan akan akses
terhadap sumber daya.
Saat ini
menjadi penting bagi pendukung Jokowi dan pendukung Prabowo memosisikan
sebagai rakyat, bukan merepresentasikan cara berpikir partai politik dan
elite-elitenya. Bersatulah atas nama rakyat menuntut akses terhadap sumber
daya untuk kesejahteraan dan kemuliaan warga. Sebab, jika kekuatan oligarki
telah bekerja mempersatukan para elite politik, yang ada hanyalah bagi
kekuasaan dan bagi keuntungan di antara mereka.
Oleh karena itu, terlibatlah dalam proses pertarungan alokasi dan
distribusi sumber daya yang menguntungkan bagi warga. Di situlah letak
partisipasi politik, bukan pada keramaian pesta dan kemeriahan perayaan,
melainkan pada keterlibatan warga di berbagai ruang politik yang menyuarakan
akses terhadap sumber daya, baik di dalam mekanisme public hearing maupun
aksi di jalan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar