Menimbang
Kurikulum 2013
Haidar Bagir ; Ketua Yayasan Lazuardi Hayati; Praktisi
Pendidikan;
Terlibat dalam Penulisan Buku Pelajaran SD Kurikulum 2013
|
KOMPAS,
04 Desember 2014
Riwayat
perubahan kurikulum di Indonesia sudah setua negeri ini. Tak lebih lama dari
dua tahun sejak Kemerdekaan RI diproklamasikan, pemerintah mengungkapkan yang
pada waktu itu disebut sebagai Leer
Plan (Rentjana Pelajaran) 1947. Sejak itu, sebelum sampai pada Kurikulum
2013, Indonesia telah melewati beberapa penyempurnaan dan penggantian
kurikulum. Ada Rentjana Pelajaran Terurai 1957, Rentjana Pendidikan 1964,
Kurikulum 1968, Kurikulum 1975, Kurikulum 1984, Kurikulum 1994, Kurikulum
2004 alias Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), dan Kurikulum 2006 yang
dikenal sebagai Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
Berarti
selama hampir 60 tahun kemerdekaan, pendidikan di Indonesia telah mengalami
10 jenis kurikulum. Tentu dengan tingkat perubahan atau penyempurnaan yang
berbeda-beda.
Mungkin
karena alasan inilah muncul ungkapan ”ganti
menteri, ganti kurikulum”. Sebenarnya pergantian kurikulum bukanlah
sesuatu yang haram. Bahkan terkadang niscaya. Karena tantangan kehidupan
selalu berubah, bahkan makin cepat, sementara teori-teori dan temuan-temuan
baru di bidang pemikiran pendidikan juga terus berlangsung. Persoalannya
lebih terletak pada ketepatan arah perubahan kurikulum. Tak kalah penting:
implementasinya! Sebab, sebaik apa pun kurikulum, dia tak akan membawa hasil
seperti yang diharapkan jika pelaksanaannya tidak beres.
Maka,
dalam mengevaluasi Kurikulum 2013, penting bagi kita untuk lebih dulu
membaginya ke dalam dua aspek. Pertama, aspek substansi kurikulum itu dan,
kedua, implementasinya.
Sebelum
membahas masalah ini lebih jauh, harus saya katakan bahwa—dalam hal
implementasi—Kurikulum 2013 sangat jauh dari harapan. Masa penulisan buku
pendukung bisa dibilang terburu-buru dan tanpa standar penulisan yang jelas,
pelatihan guru yang tidak dipersiapkan dengan baik, dan distribusi buku yang
mengalami kendala di mana-mana. Khusus mengenai pelatihan guru, terasa sekali
kurangnya koordinasi antara pusat dan daerah, serta peraturan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan, panduan teknis, dan modul pelatihan kurang sinkron.
Juga sering dijumpai perbedaan pemahaman (dan kemampuan) narasumber atau
instruktur nasional yang berakibat pada kerancuan pemahaman.
Lemah dan tak lengkap
Filosofi
kurikulumnya sendiri, sebagaimana terungkap dalam Naskah Akademik Kurikulum
2013, adalah pengembangan dari KTSP (termasuk kecakupan dan sequence, yang
dilengkapi bahan standar TIMSS dan PISA). Pengembangan yang dilakukan
mencakup beragam terobosan penting, yang memang amat dibutuhkan. Termasuk di
dalamnya pengurangan mata pelajaran, pengakomodasian minat siswa (SMA)
melalui sistem lintas minat dan pendalaman minat, penekanan sikap moral dan
spiritual (pendidikan karakter), pendekatan kecerdasan majemuk, penerapan
pembelajaran berbasis problem dan project, penekanan pada pendekatan saintifik,
adopsi metode tematis terpadu (khusus SD), penerapan penilaian otentik, serta
perubahan desain buku rapor yang menambahkan capaian dan deskripsi.
Sayangnya
lagi, sejak penjabaran filosofi kurikulum ini ke dalam panduan penyusunan
kurikulum, kita sudah dihadapkan pada sejumlah kelemahan dan ketaklengkapan.
Di antara kelemahan-kelemahan tersebut adalah: pemaksaan masuk aspek sikap
spiritual dan sosial ke dalam bahan ajar yang tak sesuai akibat pendesakannya
dalam setiap Kompetensi Dasar (KD), terlalu banyak jumlah dan komponen KD
sehingga terasa waktu belajar tidak mencukupi; serta terlalu banyak instrumen
dalam sistem penilaian dan rumitnya pekerjaan pembuatan Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran (RPP) sehingga terlalu banyak menyita waktu dan energi guru.
Dalam
hal pendekatan tematik terpadu, meski sesungguhnya pendekatan ini sejalan
dengan prinsip brain based learning, engagement, dan kontekstualitas, tetapi
pada kenyataannya tak selalu dapat dipelihara integrasi bahan ajar dan/atau sequence yang tepat. Di samping itu,
jumlah tema terlalu banyak sehingga menambah kerumitan pengelolaan proses
belajar dan penilaian. Khusus untuk SMP dan SMA, beban pelajaran terasa
terlalu berat—dan menuntut jam belajar lebih lama—akibat terlalu banyak
proyek yang harus dikerjakan oleh siswa.
Setelah
itu semua, kiranya dituntut kebijaksanaan pemerintah untuk memutuskan
keberlangsungan Kurikulum 2013 ini. Pertama-tama harus dilihat secara
seimbang kekuatan dan kelemahan Kurikulum 2013, baik dari segi substansi
maupun implementasinya. Selanjutnya, ditimbang untung-rugi jika penerapan
Kurikulum 2013 ditunda.
Memutuskan
moratorium, dan mencanangkan kembali ke KTSP memang bukan tak mengandung
risiko. Apalagi tahun pelajaran 2014/2015 sudah setengah jalan. Mengganti
kurikulum di tengah semester, yang praktis tinggal kurang dari sebulan,
adalah suatu tindakan yang muskil.
Terlebih
terkait penyediaan buku. Belum lagi jika hal ini (bagi orangtua, khususnya
dari keluarga miskin) berarti harus merogoh kocek untuk membeli paket buku
yang tak murah, setelah sebelumnya mendapatkan buku gratis. Yang tak kalah
penting, langkah maju-mundur yang diambil hingga nantinya Kurikulum 2013
diterapkan kembali setelah revisi dapat menimbulkan kebingungan dan
disorientasi.
Disempurnakan
Pilihan
terbaik, barangkali—apa boleh buat—adalah tetap melanjutkan penerapan
Kurikulum 2013 sambil segera melakukan langkah-langkah untuk mengatasi
kelemahan-kelemahannya. Meski bukan pekerjaan mudah dan juga tak akan
langsung sempurna —bahkan kurikulum yang sudah matang pun selalu membutuhkan
penyempurnaan—masih memungkinkan untuk melakukannya secara bertahap untuk
penerapannya pada tahun ajaran mendatang. Mulailah dengan memprioritaskan
upaya perbaikan atas kelemahan-kelemahan yang lebih bersifat fundamental,
lalu masuk pada penyempurnaan aspek-aspek lain. Kenyataannya, sejak mulai
diluncurkan pada awal tahun pelajaran 2012/2013, upaya untuk menyempurnakan
Kurikulum 2013 pun telah dilakukan.
Akhirnya,
kalau boleh menyarankan, hendaknya tim penyempurnaan Kurikulum 2013 diperkuat
dengan sejumlah praktisi pendidikan yang sehari-hari berada di lapangan.
Libatkan mereka yang memiliki kreativitas serta kepekaan terhadap tantangan
dan kebutuhan zaman, sekaligus memiliki pemahaman mendalam dan wawasan luas
dalam hal perkembangan pemikiran pendidikan mutakhir.
Bersamaan dengan itu, perlu benar-benar dirancang program pelatihan
guru dan pendampingan sekolah secara sistematis, berkelanjutan, koheren,
serta tepat guna dan tepat sasaran. Karena semua tahu, sebaik apa pun kurikulum
tak akan banyak manfaat tanpa kesiapan guru, yang menjadi ujung tombak
pelaksanaannya sehari-hari di lapangan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar