BBM
dan Harga Pangan
Dwi Andreas Santosa ; Guru Besar Fakultas Pertanian Institut
Pertanian Bogor; Ketua Umum Asosiasi Bank Benih Tani Indonesia;
Associate Scholar Center of Reform on Economics Indonesia)
|
KOMPAS,
04 Desember 2014
Sebagaimana
sudah disosialisasikan, kenaikan harga bahan bakar minyak adalah suatu
keniscayaan dan tidak bisa dihindari untuk mendukung dan membiayai beragam
program dalam upaya mencapai visi-misi pemerintah saat ini. Harga BBM naik
30,8 persen untuk bensin dan 36,4 persen untuk solar (18 November 2014).
Sudah barang tentu kenaikan harga BBM memberikan dampak ekonomi dan sosial
yang tidak ringan bagi masyarakat kelas menengah, kelas bawah, dan petani.
Untuk masyarakat kelas atas, dampak kenaikan harga BBM tidak signifikan
karena pengeluaran untuk BBM dengan harga saat ini hanya kurang dari 1 persen
hingga 4 persen dari pendapatan.
Sudah
barang tentu kenaikan harga BBM tidak bisa hanya diterjemahkan menjadi
penambahan pengeluaran untuk biaya transportasi. BBM berpengaruh terhadap
hampir semua aspek kehidupan karena menjadi energi yang menggerakkan seluruh
mesin perekonomian. Salah satu yang terkait erat dengan kenaikan harga BBM
adalah harga pangan.
Secara
konvensional, harga pangan ditentukan oleh nisbah stok dan konsumsi pangan,
harga BBM, indikator ekonomi makro, serta biaya pengolahan pangan. Nisbah
stok/konsumsi merupakan nisbah stok pangan pada akhir musim terhadap konsumsi
total. Nisbah stok/konsumsi sangat dipengaruhi produksi yang akan berkelindan
dengan harga input produksi (benih, pupuk, dan pestisida), kondisi iklim dan
cuaca, serta diversifikasi produk pertanian.
Selain
itu, faktor-faktor lain yang memengaruhi harga pangan adalah ekonomi makro.
Indikator ekonomi makro meliputi nilai tukar, suku bunga, pendapatan
masyarakat, dan inflasi.
Faktor-faktor penting
Nilai
tukar akan berpengaruh terutama terhadap produk-produk pertanian yang diimpor
dari negara maju, terutama Amerika Serikat, seperti kedelai, jagung, dan
gandum. Semakin kuat nilai dollar AS, harga produk-produk tersebut akan
semakin tinggi. Pola berkebalikan terjadi pada komoditas beras. Beras yang
diperdagangkan di dunia hanya sekitar 8 persen dari total produksi. Produsen
utama beras untuk sasaran ekspor saat ini adalah negara berkembang, terutama
Thailand dan Vietnam. Penguatan nilai dollar akan menyebabkan penurunan harga
beras terutama di pasar internasional yang akan berimbas ke pasar domestik.
Suku
bunga yang tinggi berasosiasi dengan penurunan harga komoditas karena suku
bunga yang tinggi menyebabkan penurunan permintaan pangan. Meskipun demikian,
hubungan antara suku bunga dan harga pangan bersifat ambigu (Bank Dunia, 2013) yang bermakna di
sisi lain suku bunga yang tinggi bisa juga meningkatkan harga pangan.
Peningkatan
pendapatan masyarakat sering kali menjadi salah satu alasan terjadi
peningkatan harga pangan di negara berkembang. Peningkatan pendapatan
menyebabkan perubahan pola makan dari berbasis karbohidrat ke peningkatan
proporsi protein dan lemak, terutama yang berasal dari produk hewani. Selain
itu, peningkatan pendapatan juga menyebabkan pergeseran budaya makan semakin
ke ”Barat”. Peningkatan konsumsi produk hewani akan meningkatkan permintaan
biji-bijian sehingga harga biji-bijian meningkat. Permintaan biji-bijian
meningkat karena untuk menghasilkan 1 kilogram daging diperlukan sekitar 8
kilogram biji-bijian.
Hubungan
antara peningkatan pendapatan dan harga pangan bersifat tidak langsung.
Peningkatan pendapatan memengaruhi nisbah stok/konsumsi yang pada akhirnya
mengerek harga pangan ke atas. Meskipun demikian, faktor ”peningkatan
pendapatan” terhadap harga pangan cukup lemah. Beberapa studi menunjukkan,
misalnya, di Tiongkok dan India laju pertumbuhan konsumsi biji-bijian pada
periode setelah tahun 2000 justru lebih rendah dibandingkan dengan dekade
sebelumnya. Studi di India bahkan menunjukkan bahwa peningkatan pendapatan
sejak awal tahun 1990-an justru menurunkan jumlah kalori yang dikonsumsi
masyarakat. Alasan di balik itu kemungkinan karena aktivitas fisik dan
perbaikan kesehatan menurun ketika pendapatan meningkat.
BBM dan harga pangan
Di
antara faktor-faktor penyebab peningkatan harga pangan, yang dikaji, dua
faktor menyumbang peran terpenting, yaitu nisbah stok/konsumsi dan harga BBM.
Dari hasil kajian Bank Dunia (2013), setiap penurunan nisbah stok/konsumsi
sebesar 10 persen akan diikuti kenaikan harga pangan sebesar 3 persen. Nisbah
stok/konsumsi dua produk utama, yaitu gandum dan jagung, memiliki pengaruh
yang paling tinggi terhadap harga pangan kedua komoditas tersebut. Indonesia
mengimpor 100 persen gandum dan sekitar 15-25 persen jagung sehingga bukan
hanya nisbah stok/konsumsi di Indonesia, stok kedua komoditas tersebut di
dunia juga akan langsung memengaruhi harga jagung di Indonesia.
Meskipun
Indonesia juga pengimpor kedelai cukup besar yaitu sekitar 80 persen
kebutuhan, pengaruh nisbah stok/konsumsi kedelai terhadap harga kedelai tidak
terlalu tinggi. Hal tersebut disebabkan stok kedelai dapat dalam bentuk biji,
tepung, ataupun minyak.
Di
antara pangan utama, nisbah stok/konsumsi beras memiliki pengaruh yang
terendah terhadap harga komoditas tersebut. Penyebab paling nyata adalah
distorsi kebijakan dan perlindungan pemerintah terhadap beras karena masuk
dalam komoditas strategis. Beberapa negara di Asia mengatur dengan ketat
komoditas tersebut, baik melalui perdagangan maupun pemasaran beras yang
dilakukan perusahaan negara atau melalui intervensi kebijakan yang kuat,
misalnya Bulog (Indonesia), Food
Corporation (India), National Food
Authority (Filipina), dan Rice
Paddy Pledging Program (Thailand).
Di
antara beragam faktor penyebab kenaikan harga pangan, ternyata BBM menempati
peringkat tertinggi. Peningkatan harga BBM memengaruhi harga semua komoditas,
tetapi peningkatan tertinggi terjadi pada komoditas pangan, yang dari
beberapa kajian peningkatannya hampir dua kali dibandingkan dengan total
komoditas non-energi. Setiap peningkatan 10 persen harga BBM rata-rata akan
meningkatkan harga komoditas pangan sebesar 3 persen.
Dengan
meningkatnya harga BBM saat ini, diperkirakan harga komoditas pangan akan
meningkat sebesar 9,3 persen hingga 11 persen. Di sisi lain, peningkatan
harga BBM akan berpengaruh kecil terhadap peningkatan harga pangan olahan dan
kemasan karena biaya bahan baku hanya menyusun komponen kecil dari struktur
biaya pengolahan pangan (Baumeister dan
Kilian, 2014).
Spekulasi dan kartel pangan
Faktor
yang jarang menjadi pisau analisis untuk penghitungan kenaikan harga pangan
adalah comovement, spekulasi, dan
kartel pangan. Dari banyak studi yang pernah dilakukan, kenaikan harga satu
komoditas nonenergi menyebabkan kenaikan harga komoditas lain meskipun
antarkomoditas tersebut sering kali tidak ada kaitannya. Misalnya, kenaikan
harga gandum pada dekade sebelum tahun 1990 diikuti dengan kenaikan harga
cokelat, tembaga, kapas, emas, dan kayu. Krisis pangan tahun 2007-2008, yang
awalnya disebabkan kenaikan harga gandum akibat kekeringan hebat di
Australia, ternyata menjadi lokomotif yang menarik juga harga jagung,
kedelai, dan beras. Dengan demikian, kenaikan harga satu jenis pangan perlu
diwaspadai untuk mencegah kenaikan harga pangan yang lain.
Spekulasi
dan kartel pangan merupakan faktor penyebab volatilitas harga pangan penting
yang beberapa kali penulis ulas di harian ini. Beberapa studi menunjukkan
spekulasi finansial dan kartel pangan justru menempati posisi terpenting
dalam kenaikan harga pangan (Bar-Yam
and Lindsay, 2012; New England Complex Systems Institute, 2013). Sekitar
40 persen fluktuasi harga pangan yang sangat tinggi berujung di institusi dan
spekulasi finansial.
Selain
itu, kartelisasi dan konglomerasi sistem pangan di Indonesia ataupun di dunia
(90 persen perdagangan pangan dunia hanya dikuasai lima korporasi transnasional)
menyumbang peran penting dalam permainan harga komoditas pangan, baik di
Indonesia maupun di dunia.
Dengan
demikian, kartel, spekulasi finansial, BBM dan nisbah stok/konsumsi menjadi
empat faktor utama yang berpengaruh besar terhadap harga pangan. Kabar
baiknya, keempat faktor tersebut merupakan faktor-faktor yang bisa
dikendalikan dan dikelola oleh pemerintah. Upaya untuk memicu produksi
pertanian dalam negeri dengan menempatkan petani kecil sebagai pemain utama,
mengendalikan kartel dan mafia pangan, serta membatasi upaya pemburu rente
dengan membatasi akses finansial untuk spekulasi komoditas menjadi hal
penting untuk mengendalikan kenaikan harga pangan akibat kenaikan harga BBM.
Semoga kenaikan harga BBM kali ini tidak berdampak serius terhadap sebagian
besar masyarakat kita yang sekitar 40 hingga 60 persen pendapatannya
dibelanjakan untuk pangan.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar