Kamis, 18 Desember 2014

Petisi K-13 untuk Mendikbud

Petisi K-13 untuk Mendikbud

Sudaryanto ;   Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta
HALUAN,  17 Desember 2014

                                                                                                                       


Bapak Anies Bas­wedan yang te­r­hor­mat.

Tulisan ini sebagai petisi penulis terhadap keputusan Anda selaku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) yang telah menghentikan pelak­sanaan Kurikulum 2013 atau K-13, Jumat (5/12) lalu. Atas keputusan Anda itu, kuri­kulum pengganti Kurikulum 2006 itu dihentikan karena dinilai mengandung banyak masalah. Pertanyaannya kini, apa dan bagaimana implikasi dari penghentian K-13 itu?

Banyak pihak menilai bahwa implementasi K-13 terkesan dipaksakan. Salah satu pihak yang menilai hal itu ialah Prof Hafid Abbas dari UNJ (Kompas, 13/3/2013). Ia mengkritik keras bahwa modus perubahan kurikulum lebih terkesan sebagai ikhtiar dadakan karena tidak didahului persiapan yang lebih matang. Buktinya, perencanaan ang­garan K-13 selalu berubah-ubah dalam rapat koordinasi dengan DPR saat itu.

Ditambah lagi kurang gencarnya sosialisasi K-13 kepada para guru sehingga konsep kurikulum pengganti Kurikulum 2006 itu tidak jelas, bahkan dipahami secara berbeda-beda oleh para guru. Di kemudian hari, terjadi pula keterlambatan pengiriman buku ajar K-13 siswa dan guru di sekolah, padahal Mendikbud (saat itu) Mohammad Nuh telah berjanji akan mengirim­kannya sebelum semester dimulai. Hingga kini keter­lambatan itu ternyata masih terjadi saja.

Repot Memberi Penilaian

Selain itu, tak sedikit guru me­ngeluh repotnya mem­berikan pe­nilaian ter­ha­dap siswanya secara deskriptif dan per orang. Dalam K-13, pe­­­­nilai­an hasil pem­belajaran di­­­sam­­paikan dalam bentuk des­kripsi ke­ma­mpuan siswa (per orang). Bisa dibayangkan, jika di kelas terdapat 30 siswa, maka seorang guru mata pelajaran (mapel) harus mem­buat pe­nilaian deskripsi 30 siswa pula. Bagi para guru, hal ini sangat me­nyita waktu di te­ngah kesibukan me­ngajar dan lain-lain.

Berbeda dengan K-13, dalam Ku­rikulum 2006, pe­nilaian hasil pem­belajaran dalam bentuk deskripsi kompetensi ma­ta pelajaran, bu­kan ke­mam­pu­an siswa. Ja­di, para gu­ru cu­kup menulis kom­petensi pelajaran mana yang sudah dicapai dan belum dicapai. Lagi pula, selama ini tak banyak siswa yang mem­perhatikan perihal deskripsi kompetensi mata pelajaran di lembar rapot. Justru para siswa lebih tertarik melihat angka hasil mata pelajaran.

Pak Menteri yang percaya diri, jika Anda dan tim memilih agar K-13 dilanjutkan dengan koreksi/perbaikan, maka di tangan Anda pula perbaikan-perbaikan harus dilakukan. Pertama, Anda perlu mengatasi persoalan keterlambatan buku ajar K-13 siswa dan gu­ru di se­k­o­lah. Kurikulum apapun yang diterapkan, termasuk K-13, para guru selalu bertipe textbook thinking. Mereka tak pernah lepas dari buku ajar dan lembar kerja siswa (LKS) di kelas.

Kedua, Anda perlu menye­lenggarakan pelatihan-pelatihan bagi guru semua mapel, baik guru PNS maupun guru non-PNS, baik guru di pusat maupun di daerah secara periodik. Sekadar usul, Anda bisa mendayagunakan kebe­radaan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) serta Kelom­pok Kerja Kepala Seko­lah/Madrasah guna mendorong para guru aktif dalam pelatihan guru. Misalnya, pelatihan inovasi mengajar, penyusunan proposal PTK, dsb.

Jujur saja, para guru kita terbilang rendah pengalaman dalam hal pelatihan guru. Secara prediktif, saya bisa menyebut jumlah 2-4 guru di sekolah yang intens mengikuti pelatihan guru, selebihnya banyak guru yang abai. Jadi, jika Pak Men­te­ri ber­­hasil mendayagunakan kembali forum MGMP dan KKS/KKM ke arah pelatihan guru yang sifatnya ilmiah, kreatif, dan inovatif, hal itu merupakan langkah tepat dan patut didukung oleh siapa pun, termasuk penulis.

Kembali ke Kurikulum 2006

Pak Menteri yang pekerja keras, jika Anda dan tim memilih agar K-13 ditunda, maka di tangan Anda pula Kurikulum 2006 atau Kuri­kulum Tingkat Satuan Pendi­dikan (KTSP) diberlakukan lagi. Hanya saja, Anda perlu men­catat bagian mana yang di­anggap baik dan kurang baik/perlu diperbaiki dalam imple­mentasi Kuriku­lum 2006. Saya pikir sudah ba­nyak hasil penelitian yang mengung­kapkan tentang implementasi ku­rikulum tersebut.

Salah satu keunggulan dari Kurikulum 2006 ialah pihak sekolah/guru diberikan kele­luasaan dalam mengajar di kelas. Misalnya saja, materi ajar boleh sesuai dengan kekhasan tiap-tiap sekolah. Namun, hal itu juga yang menjadi kelemahan dari ku­rikulum pengganti Kuri­kulum 2004 itu, yakni dispa­ritas sarana dan prasarana sekolah. Sekolah yang memiliki per­pustakaan unggul tentu gampang untuk memberikan bahan bacaan bagi siswanya.

Di sini, sarana dan pra­sarana sekolah menjadi faktor yang lebih dominan daripada faktor kurikulum semata. Sebagus apapun kurikulum dirancang oleh pemerintah, termasuk K-13 dan Ku­rikulum 20­06, jika tak ada guru yang berkinerja baik dan sarana dan prasarana sekolah yang lengkap, maka kurikulum tinggallah kurikulum. Hemat saya, Men­teri Anies perlu bekerja keras guna membenahi mutu stan­dar pelayanan minimal, tak hanya kuri­kulum saja.

Dalam hal ini, pihak sekolah juga dituntut harus berbenah diri dalam mempersiapkan sarana dan prasarana secara lengkap. Mulai dari perpustakaan, laboratorium bahasa dan IPA, ruang teater, hingga la­pa­­ngan olah raga yang me­madai. Kesemua sarana dan prasarana itu layak disediakan oleh pihak sekolah apabila pelak­sanaan pem­belajaran ingin ter­bilang sukses. Tanpa itu, sekali lagi, kurikulum tinggallah kuri­kulum. K-13 tinggallah K-13.

Menteri Anies yang optimis, penghentian pelaksanaan K-13 tak perlu disesali atau bahkan dicaci-maki. Alih-alih begitu, kita semua justru memperoleh pelajaran dari hal tersebut. Bahwa pelaksanaan kurikulum semestinya memperhatikan aspek-aspek pendukungnya, antara lain, guru, siswa, buku teks, sarana-prasarana sekolah, serta orang tua siswa. Aspek terakhir yang disebut bahkan sering dilupakan oleh pengambil kebijakan selama ini.

Untuk itu, kini saatnya Menteri Anies turun tangan membenahi sektor pendidikan dasar dan menengah. Harap diingat, Indonesia bukanlah Jawa, dan Jawa bukanlah Jakarta. Oleh karena itu, Menteri Anies harus rajin blusukan ke sekolah-sekolah di seluruh wilayah Indonesia, agar mengerti apa-apa saja yang patut di­per­­baiki. Kep­u­tusan peng­­­hen­tian K-13 pada Ju­mat (5/12) lalu merupakan geb­­rakan per­tama dan bu­kan yang ter­akhir.

Salam hor­mat dari saya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar