Pertaruhan
Masa Depan Golkar
Burhanuddin Muhtadi ; Dosen FISIP UIN Jakarta;
Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia
|
MEDIA
INDONESIA, 01 Desember 2014
SEJAK
Golkar berdiri, mungkin baru sekarang partai beringin ini menghadapi situasi
krisis yang paling parah. Dua pemilu terakhir, Golkar mengalami tren
penurunan elektoral yang makin mengkhawatirkan. Secara spasial, Partai Golkar
tak lagi mampu menegakkan supremasi elektoral mereka di sebagian Sulawesi dan
Papua. Jika dibandingkan dengan PDI Perjuangan sekalipun, volatilitas
elektoral yang dialami Golkar jauh lebih mencolok dari pemilu ke pemilu.
Di bawah
kepemimpinan Aburizal Bakrie (ARB), Golkar gagal memenuhi catursukses
elektoral mereka. Target suara 30% pada Pemilu Legislatif 2014 hanya mampu
dipenuhi kurang dari separuhnya. Untuk pertama kalinya dalam sejarah,
perolehan kursi Golkar merosot hingga di bawah 100 kursi. Golkar hanya meraih
91 kursi, turun signifi kan jika dibandingkan dengan Pemilu 2009 yang meraih
106 kursi. Pemilu Presiden 2014 juga menjadi monumen kegagalan ARB. Alih-alih
menjadi calon presiden, sekadar menjadi cawapres pun tak ada capres yang sudi
meminangnya.
Secara
fatsun politik, sebenarnya ARB tak punya legitimasi moral untuk maju kembali
dalam Musyawarah Nasional (Munas) IX Partai Golkar di Bali. Di banyak negara
demokratis, pemimpin partai yang gagal dalam pemilu akan membayar lunas
kegagalannya tersebut dengan mundur dari posisinya. Namun, itu hanya menjadi
dongeng sebelum tidur bagi elite politik yang terlalu memaksakan
kepentingannya. Toh, mekanisme reward
and punishment juga tidak dikenal dalam sistem kepartaian kita. Seorang
Akbar Tandjung yang berhasil memenangkan Golkar di Pemilu 2004 pun terpaksa
harus gigit jari ketika kalah melawan Jusuf Kalla. Bukan tak mungkin ARB yang
gagal total membawa Golkar tetap dipilih sebagai ketua umum kembali. kembali.
Realitas politik yang berubah
Sebagai
anak emas Orde Baru, Golkar banyak menikmati keistimewaan jika dibandingkan
dengan partai lain. Golkar tumbuh berkembang dalam desain politik Indonesia
yang diproyeksikan rezim sebagai beamtenstaat, negara yang dikelola oleh dan
untuk kepentingan aparatus rezim (McVey,
1982). Itulah sebentuk bureaucratic
polity (Riggs, 1966) yang
mengamputasi keterlibatan partisipasi publik dalam politik. Politik menjadi
kaveling eksklusif aparatus negara. Tiga poros pengungkit Golkar pada masa
dahulu--militer, birokrasi, dan PNS--menjadi tulang punggung kekuatan partai.
Namun,
sayangnya realitas politik yang berubah pascajatuhnya Soeharto tidak
serta-merta mengubah mindset dan cara kerja Golkar. Benar bahwa Golkar tak
memiliki jalur khusus lagi terkait dengan militer dan birokrasi seperti dulu.
Namun, struktur elite Golkar di tingkat pusat masih dikuasai tipikal
kepemimpin an lama yang bertumpu pada oligarki Orde Baru. Merekalah teknokrat
dan pengusaha yang dibesarkan Orde Baru. Tak mengherankan jika regenerasi
kepemimpinan elite Golkar pascareformasi seolah berjalan di tempat. Fase
transisi yang memberi tempat pemakluman bagi Akbar Tanjung sebagai Ketua Umum
Golkar pada Juli 1998 ternyata berlanjut dengan dominasi tokoh-tokoh lama
seperti Jusuf Kalla dan Aburizal Bakrie.
Regenerasi
kepemimpinan bukan hanya sebuah kepatutan, melainkan juga bagi Golkar
sekarang menjadi sebuah keniscayaan. Saat ini 60% pemilih berasal dari usia
di bawah 40 tahun. Ketua Umum Golkar yang terlalu tua akan kesulitan menyapa
kebutuhan dan aspirasi kaum muda. Itu juga menunjukkan kegagalan Golkar dalam
meremajakan diri di saat kepemimpinan nasional Jokowi dan puncak piramida
kepengurusan partai-partai seperti PKB dan PKS diisi generasi muda.
Sebenarnya Golkar tak mengalami defi sit aktivis muda. Namun, mereka terdesak
oleh dominasi elite tua dan keengganan untuk melakukan sirkulasi
kepemimpinan.
Terlebih
lagi Pemilu 2019 mengandaikan pelaksanaan pemilu legislatif dan presiden
secara bersamaan. Itulah lonceng kematian partai politik secara
perlahan-lahan. Figur ketua umum yang akan diasosiasikan sebagai bakal calon
presiden suatu partai akan menjadi daya tarik pemilih dalam memilih
partai.Suara partai akan dikontrol siapa ketua umum dan calon presiden yang
diusung.Adalah sulit bagi ARB yang terbukti gagal dalam Pemilu 2014 untuk
me-rebranding dirinya sebagai capres 2019 jika dia kembali terpilih sebagai
Ketua Umum Golkar. Alih-alih menaikkan suara Golkar, ARB terbukti malah
menjadi beban bagi partai.
Namun,
ini bukan berarti ada calon ketua umum lain yang lebih prospektif secara
elektoral ketimbang ARB. Beberapa nama bakal calon ketua umum yang muncul
malah terbukti sebagai caleg gagal seperti Agung Laksono, Priyo Budi Santoso,
dan Hajriyanto Thohari. Kompetitor ARB yang lain juga tak memiliki pesona
yang luar biasa.
Inilah
‘kutukan’ Partai Golkar pascaSoeharto. Karakteristik Golkar berbeda dengan
PDI Perjuangan, Demokrat, Gerindra, Hanura, atau NasDem yang memiliki tokoh
dengan karisma kuat yang melampaui kapasitas partai.
Golkar
tak punya veto player. Pada titik
tertentu, ketiadaan figur kuat itu menjadi sumber demokratisasi dan
modernisasi partai. Pengambilan keputusan internal bisa sepenuhnya
dikembalikan pada konstitusi partai tanpa dominasi pihak-pihak tertentu.
Namun, ketiadaan veto player juga menyulitkan Golkar untuk mencari titik temu
ketika dilanda konflik. Faksionalisasi bisa makin menajam. Ketiadaan veto player membuat Golkar kehilangan
sumber pemersatu partai. Tak ada solidarity maker karena tiap elite
menyumbang `saham' yang kurang lebih sama.
Biasanya veto player dilihat dari dua kontribusi; pertama, sejarah
berdirinya partai dan, kedua, sumbangsih elektoral dalam membesarkan partai.
Golkar
bukannya tak menyadari hal itu. Sejak jatuhnya Soeharto pada 1998, Golkar tak
punya veto player yang mampu
memediasi keragaman faksi di dalam partai. Oleh karena itu, elite Golkar
selalu mencari common platform dan
konsensus agar perbedaan kepentingan antarfaksi bisa dijembatani. Golkar
dalam sejarahnya selalu punya solusi atas konflik dan dinamika internal
partai.Pada 2004 ketika Akbar Tandjung sedang tersandung masalah hukum,
konvensi menjadi jalan keluar yang disepakati bersama untuk mencari capres
yang diusung Golkar pada saat itu.
Islah atau terbelah?
Kelihaian
Golkar untuk mencari titik temu itulah yang sekarang absen dalam konflik
Golkar yang dipicu soal jadwal munas. Tiap pihak tak mau menurunkan ego dan
mencari kompromi yang bersifat win-win
solution. To be ot not to be. Itulah posisi yang tak bisa ditawar-tawar
lagi.Akibatnya islah menjadi kata yang terlalu mewah bagi mereka yang
bertikai.
Dalam
kasus jadwal munas, terdapat dua momentum yang membuat posisi kubu ARB dan
lawannya silih berganti mengajukan penyelenggaraan. Pertama, sebelum
pengumuman kabinet Jokowi-JK, kubu ARB justru paling ngotot menghendaki munas
dilakukan pada 2015, sementara kubu lawannya meminta munas dilakukan sesegera
mungkin di 2014. Tujuannya jelas agar Golkar tak tergiur oleh akomodasi dalam
pemerintahan Jokowi-JK. Kedua, setelah pengumuman kabinet Jokowi dan terbukti
tak ada kader Golkar yang diajak dalam pemerintahan, justru kubu ARB yang
paling bersikeras agar munas dipercepat pada 30 November ini.
Satu hal
yang dikhawatirkan kubu ARB ialah jika munas dilakukan pada Januari 2015,
konsolidasi kekuasaan Jokowi-JK akan mempermulus jalan bagi lawan ARB dalam
munas. Apalagi Munas Golkar selama ini selalu memunculkan pemenang yang
selalu dekat dengan infrastruktur kekuasaan, persis dengan pengalaman ARB
sendiri ketika didukung SBY pada munas di 2009 di Pekanbaru. Selain itu,
dengan mempercepat munas, lawan-lawan ARB tak punya kemewahan waktu untuk
bergerilya mendapatkan dukungan dari arus bawah Golkar.
Terlepas
dari itu, Munas Golkar sudah pasti terlaksana pada 30 November ini, tanpa
atau dengan keikutsertaan Presidium Penyelamat Partai yang didirikan Agung
Laksono dan kawan-kawan. Karena itu, tinggal ada dua pilihan yang tersedia.
Kubu lawan ARB memutuskan bertarung habis-habisan dalam munas yang digelar
kubu ARB di Bali atau membuat munas tandingan di Januari mendatang. Jika
skenario yang kedua yang dipakai, praktis Golkar terbelah menjadi dua. Namun,
jika skenario pertama yang dijalankan, risiko politiknya justru memberi
legitimasi bagi pelaksanaan munas kubu ARB.
Jika tak
terjadi titik temu, masa depan partai jelas dipertaruhkan untuk kepentingan
segelintir elite yang menjadikan partai sebagai bargaining chip untuk kepentingan politik dan ekonomi. Munas
seharusnya menjadi ajang introspeksi internal sekaligus ajang persiapan
partai menyambut momen Pemilu 2019. Jangan sampai Golkar justru disandera
kepentingan-kepentingan di luar partai. Jika itu yang terjadi, Golkar sedang
menggali lubang kuburnya sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar