Selasa, 02 Desember 2014

Pertaruhan Masa Depan Golkar

                               Pertaruhan Masa Depan Golkar

Burhanuddin Muhtadi  ;   Dosen FISIP UIN Jakarta;
Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia
MEDIA INDONESIA,  01 Desember 2014

                                                                                                                       


SEJAK Golkar berdiri, mungkin baru sekarang partai beringin ini menghadapi situasi krisis yang paling parah. Dua pemilu terakhir, Golkar mengalami tren penurunan elektoral yang makin mengkhawatirkan. Secara spasial, Partai Golkar tak lagi mampu menegakkan supremasi elektoral mereka di sebagian Sulawesi dan Papua. Jika dibandingkan dengan PDI Perjuangan sekalipun, volatilitas elektoral yang dialami Golkar jauh lebih mencolok dari pemilu ke pemilu.

Di bawah kepemimpinan Aburizal Bakrie (ARB), Golkar gagal memenuhi catursukses elektoral mereka. Target suara 30% pada Pemilu Legislatif 2014 hanya mampu dipenuhi kurang dari separuhnya. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, perolehan kursi Golkar merosot hingga di bawah 100 kursi. Golkar hanya meraih 91 kursi, turun signifi kan jika dibandingkan dengan Pemilu 2009 yang meraih 106 kursi. Pemilu Presiden 2014 juga menjadi monumen kegagalan ARB. Alih-alih menjadi calon presiden, sekadar menjadi cawapres pun tak ada capres yang sudi meminangnya.

Secara fatsun politik, sebenarnya ARB tak punya legitimasi moral untuk maju kembali dalam Musyawarah Nasional (Munas) IX Partai Golkar di Bali. Di banyak negara demokratis, pemimpin partai yang gagal dalam pemilu akan membayar lunas kegagalannya tersebut dengan mundur dari posisinya. Namun, itu hanya menjadi dongeng sebelum tidur bagi elite politik yang terlalu memaksakan kepentingannya. Toh, mekanisme reward and punishment juga tidak dikenal dalam sistem kepartaian kita. Seorang Akbar Tandjung yang berhasil memenangkan Golkar di Pemilu 2004 pun terpaksa harus gigit jari ketika kalah melawan Jusuf Kalla. Bukan tak mungkin ARB yang gagal total membawa Golkar tetap dipilih sebagai ketua umum kembali. kembali.

Realitas politik yang berubah

Sebagai anak emas Orde Baru, Golkar banyak menikmati keistimewaan jika dibandingkan dengan partai lain. Golkar tumbuh berkembang dalam desain politik Indonesia yang diproyeksikan rezim sebagai beamtenstaat, negara yang dikelola oleh dan untuk kepentingan aparatus rezim (McVey, 1982). Itulah sebentuk bureaucratic polity (Riggs, 1966) yang mengamputasi keterlibatan partisipasi publik dalam politik. Politik menjadi kaveling eksklusif aparatus negara. Tiga poros pengungkit Golkar pada masa dahulu--militer, birokrasi, dan PNS--menjadi tulang punggung kekuatan partai.

Namun, sayangnya realitas politik yang berubah pascajatuhnya Soeharto tidak serta-merta mengubah mindset dan cara kerja Golkar. Benar bahwa Golkar tak memiliki jalur khusus lagi terkait dengan militer dan birokrasi seperti dulu. Namun, struktur elite Golkar di tingkat pusat masih dikuasai tipikal kepemimpin an lama yang bertumpu pada oligarki Orde Baru. Merekalah teknokrat dan pengusaha yang dibesarkan Orde Baru. Tak mengherankan jika regenerasi kepemimpinan elite Golkar pascareformasi seolah berjalan di tempat. Fase transisi yang memberi tempat pemakluman bagi Akbar Tanjung sebagai Ketua Umum Golkar pada Juli 1998 ternyata berlanjut dengan dominasi tokoh-tokoh lama seperti Jusuf Kalla dan Aburizal Bakrie.

Regenerasi kepemimpinan bukan hanya sebuah kepatutan, melainkan juga bagi Golkar sekarang menjadi sebuah keniscayaan. Saat ini 60% pemilih berasal dari usia di bawah 40 tahun. Ketua Umum Golkar yang terlalu tua akan kesulitan menyapa kebutuhan dan aspirasi kaum muda. Itu juga menunjukkan kegagalan Golkar dalam meremajakan diri di saat kepemimpinan nasional Jokowi dan puncak piramida kepengurusan partai-partai seperti PKB dan PKS diisi generasi muda. Sebenarnya Golkar tak mengalami defi sit aktivis muda. Namun, mereka terdesak oleh dominasi elite tua dan keengganan untuk melakukan sirkulasi kepemimpinan.

Terlebih lagi Pemilu 2019 mengandaikan pelaksanaan pemilu legislatif dan presiden secara bersamaan. Itulah lonceng kematian partai politik secara perlahan-lahan. Figur ketua umum yang akan diasosiasikan sebagai bakal calon presiden suatu partai akan menjadi daya tarik pemilih dalam memilih partai.Suara partai akan dikontrol siapa ketua umum dan calon presiden yang diusung.Adalah sulit bagi ARB yang terbukti gagal dalam Pemilu 2014 untuk me-rebranding dirinya sebagai capres 2019 jika dia kembali terpilih sebagai Ketua Umum Golkar. Alih-alih menaikkan suara Golkar, ARB terbukti malah menjadi beban bagi partai.

Namun, ini bukan berarti ada calon ketua umum lain yang lebih prospektif secara elektoral ketimbang ARB. Beberapa nama bakal calon ketua umum yang muncul malah terbukti sebagai caleg gagal seperti Agung Laksono, Priyo Budi Santoso, dan Hajriyanto Thohari. Kompetitor ARB yang lain juga tak memiliki pesona yang luar biasa.

Inilah ‘kutukan’ Partai Golkar pascaSoeharto. Karakteristik Golkar berbeda dengan PDI Perjuangan, Demokrat, Gerindra, Hanura, atau NasDem yang memiliki tokoh dengan karisma kuat yang melampaui kapasitas partai.
Golkar tak punya veto player. Pada titik tertentu, ketiadaan figur kuat itu menjadi sumber demokratisasi dan modernisasi partai. Pengambilan keputusan internal bisa sepenuhnya dikembalikan pada konstitusi partai tanpa dominasi pihak-pihak tertentu. Namun, ketiadaan veto player juga menyulitkan Golkar untuk mencari titik temu ketika dilanda konflik. Faksionalisasi bisa makin menajam. Ketiadaan veto player membuat Golkar kehilangan sumber pemersatu partai. Tak ada solidarity maker karena tiap elite menyumbang `saham' yang kurang lebih sama. 

Biasanya veto player dilihat dari dua kontribusi; pertama, sejarah berdirinya partai dan, kedua, sumbangsih elektoral dalam membesarkan partai.
Golkar bukannya tak menyadari hal itu. Sejak jatuhnya Soeharto pada 1998, Golkar tak punya veto player yang mampu memediasi keragaman faksi di dalam partai. Oleh karena itu, elite Golkar selalu mencari common platform dan konsensus agar perbedaan kepentingan antarfaksi bisa dijembatani. Golkar dalam sejarahnya selalu punya solusi atas konflik dan dinamika internal partai.Pada 2004 ketika Akbar Tandjung sedang tersandung masalah hukum, konvensi menjadi jalan keluar yang disepakati bersama untuk mencari capres yang diusung Golkar pada saat itu.

Islah atau terbelah?

Kelihaian Golkar untuk mencari titik temu itulah yang sekarang absen dalam konflik Golkar yang dipicu soal jadwal munas. Tiap pihak tak mau menurunkan ego dan mencari kompromi yang bersifat win-win solution. To be ot not to be. Itulah posisi yang tak bisa ditawar-tawar lagi.Akibatnya islah menjadi kata yang terlalu mewah bagi mereka yang bertikai.

Dalam kasus jadwal munas, terdapat dua momentum yang membuat posisi kubu ARB dan lawannya silih berganti mengajukan penyelenggaraan. Pertama, sebelum pengumuman kabinet Jokowi-JK, kubu ARB justru paling ngotot menghendaki munas dilakukan pada 2015, sementara kubu lawannya meminta munas dilakukan sesegera mungkin di 2014. Tujuannya jelas agar Golkar tak tergiur oleh akomodasi dalam pemerintahan Jokowi-JK. Kedua, setelah pengumuman kabinet Jokowi dan terbukti tak ada kader Golkar yang diajak dalam pemerintahan, justru kubu ARB yang paling bersikeras agar munas dipercepat pada 30 November ini.

Satu hal yang dikhawatirkan kubu ARB ialah jika munas dilakukan pada Januari 2015, konsolidasi kekuasaan Jokowi-JK akan mempermulus jalan bagi lawan ARB dalam munas. Apalagi Munas Golkar selama ini selalu memunculkan pemenang yang selalu dekat dengan infrastruktur kekuasaan, persis dengan pengalaman ARB sendiri ketika didukung SBY pada munas di 2009 di Pekanbaru. Selain itu, dengan mempercepat munas, lawan-lawan ARB tak punya kemewahan waktu untuk bergerilya mendapatkan dukungan dari arus bawah Golkar.

Terlepas dari itu, Munas Golkar sudah pasti terlaksana pada 30 November ini, tanpa atau dengan keikutsertaan Presidium Penyelamat Partai yang didirikan Agung Laksono dan kawan-kawan. Karena itu, tinggal ada dua pilihan yang tersedia. Kubu lawan ARB memutuskan bertarung habis-habisan dalam munas yang digelar kubu ARB di Bali atau membuat munas tandingan di Januari mendatang. Jika skenario yang kedua yang dipakai, praktis Golkar terbelah menjadi dua. Namun, jika skenario pertama yang dijalankan, risiko politiknya justru memberi legitimasi bagi pelaksanaan munas kubu ARB.

Jika tak terjadi titik temu, masa depan partai jelas dipertaruhkan untuk kepentingan segelintir elite yang menjadikan partai sebagai bargaining chip untuk kepentingan politik dan ekonomi. Munas seharusnya menjadi ajang introspeksi internal sekaligus ajang persiapan partai menyambut momen Pemilu 2019. Jangan sampai Golkar justru disandera kepentingan-kepentingan di luar partai. Jika itu yang terjadi, Golkar sedang menggali lubang kuburnya sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar