KB
Kunci Indonesia Sejahtera
Suharti ; Doktor Alumnus Australian National University
Bekerja di Bappenas
|
MEDIA
INDONESIA, 02 Desember 2014
SELAMA 40
tahun, jumlah penduduk Indonesia meningkat dua kali lipat dari 119.2 juta
(1971) menjadi 237,6 juta (2010). Jika tidak ada program keluarga berencana
(KB), jumlah penduduk Indonesia tentu jauh lebih besar lagi. Itu hanya salah
satu manfaat program KB. Sejatinya, manfaat tersebut jauh lebih besar lagi. Peningkatan
kesejahteraan rakyat, seperti menurunkan angka kematian dan meningkatkan
perekonomian rakyat tidak akan mungkin terjadi jika program KB tidak
dilaksanakan dengan baik. Sayangnya, hal itu kurang disadari para pengambil
keputusan yang menyebabkan komitmen terhadap program KB menjadi kurang.
KB dan kematian ibu
Penurunan
angka kelahiran di negara berkembang selama kurun waktu 1990 sampai 2008
berhasil mencegah 1,7 juta kematian ibu atau setara dengan penurunan 54%
angka kematian ibu (Ross & Blanc,
2011). Sekitar 40% penurunan angka kematian ibu selama kurun waktu
tersebut merupakan kontribusi dari meningkatnya penggunaan kontrasepsi.
Program
KB tidak hanya diperlukan untuk mengurangi jumlah kelahiran, tetapi juga
untuk menjaga jarak kelahiran. Anak yang lahir dengan jarak persalinan kurang
dari dua tahun dari persalinan sebelumnya, ia memiliki 60% lebih tinggi
risiko kematian saat bayi jika dibandingkan dengan mereka yang lahir dengan
jarak kelahiran 3-5 tahun (Rutstein, 2008).
Selain
itu, kemungkinan bayi untuk lahir prematur dengan berat badan lahir rendah
akan menjadi dua kali lipat jika ibunya mulai hamil ketika anak sebelumnya
belum berusia enam bulan. Meningkatnya jarak kelahiran juga sangat penting.
Artinya, seorang ibu harus memberikan perawatan yang baik bagi bayinya,
terutama pemberian ASI lebih lama sehingga status gizi bayinya menjadi lebih
baik. Sebagaimana diketahui, seribu hari pertama kehidupan yang mencakup masa
kehamilan dan dua tahun usia anak merupakan penentu tumbuh kembang anak dan
status kesehatan mereka selanjutnya.
Betapa
kuatnya kaitan antara KB dan kematian ibu serta bayi tersebut, kita patut
menduga bahwa kenaikan angka kematian ibu di Indonesia selama periode 2007
sampai 2012, dari 228 menjadi 359 per 100.000 kelahiran dan stagnasinya
penurunan angka kematian bayi di kisaran 32 per 1.000 kelahiran hidup juga
disebabkan melemahnya pelaksanaan program KB.
KB dan peningkatan perekonomian
Peran KB
dalam peningkatan perekonomian sangat nyata baik di tingkat keluarga ataupun
negara. Program KB menciptakan situasi bagi perempuan mempunyai peluang lebih
besar untuk bekerja dan akan lebih mudah memenuhi kebutuhan sumber daya yang
baik bagi keluarga yang lebih kecil, seperti untuk pendidikan dan peningkatan
standar hidup mereka. Sementara itu, bagi negara, yakni penurunan laju
pertumbuhan penduduk akan mengurangi biaya yang harus disediakan untuk
pelayanan sosial dasar, seperti pendidikan dan kesehatan. Bahkan, sampai
biaya yang harus dikeluarkan negara karena menurunnya kematian ibu dan bayi.
Bonus
demografi, merupakan hasil dari rasio ketergantungan yang rendah, yaitu
diukur dari rasio penduduk usia produktif terhadap nonproduktif juga sangat
ditentukan keberhasilan program KB. Berdasarkan proyeksi penduduk yang
dikeluarkan Bappenas, BPS, dan UNFPA, yakni rasio ketergantungan di Indonesia
diperkirakan menjadi kurang dari 50% setelah 2011 dan mencapai titik terendah
pada 2028-2031 dengan angka sekitar 46,9%.
Perlu
diketahui bahwa proyeksi tersebut dihitung menggunakan asumsi terjadi
penurunan angka fertilitas total dari 2,6 per perempuan usia produktif (15-49
tahun) menjadi 2,1 pada 2025 untuk mencapai rata-rata laju pertumbuhan
penduduk 1,0 selama periode 2020-2025. Sementara itu, selama periode
2002-2012 angka fertilitas total mengalami stagnasi di angka 2,6. Saat ini
sekitar 4,6-4,7 juta bayi lahir setiap tahun.Jika asumsi penurunan angka
kelahiran tidak tercapai, jumlah kelahiran akan lebih banyak dan proporsi
penduduk usia nonproduktif akan lebih tinggi dari yang diproyeksikan dan
tidak akan ada bonus demografi, seperti yang kita harapkan.
Tanggung jawab semua
Melihat
pentingnya program KB tersebut, layak jika kita menuntut komitmen semua pihak
untuk menyukseskan program itu. Benar bahwa BKKBN dan Kementerian Kesehatan
merupakan lembaga utama pelaksana program KB, tetapi kesuksesan program
tersebut terlalu berat jika diembankan pada pundak kedua lembaga itu.
Pemerintah daerah merupakan salah satu aktor terpenting. Terlebih karena
kependudukan dan KB merupakan kewenangan wajib pemerintah kabupaten atau
kota.
Beberapa
analisis mengungkapkan bahwa salah satu penyebab utama tidak optimalnya
program KB, antara lain ditunjukkan stagnasinya angka penggunaan kontrasepsi
di kisaran 60,3% (2002) dan 61,9% (2012) ialah lemahnya kelembagaan di
daerah. Dari 34 provinsi dan 511 kabupaten atau kota yang ada pada awal 2014,
hanya 25 kabupaten atau kota yang memiliki lembaga secara penuh menangani
masalah kependudukan dan KB, atau bergabung dengan pemberdayaan perempuan dan
perlindungan anak. Di daerah lain, kependudukan dan KB hanya ditangani
unit-unit kecil di berbagai satuan kerja pemerintah daerah, seperti disatukan
dengan pencatatan sipil, pemberdayaan masyarakat, bahkan dengan dinas
pemakaman.Jumlah penyuluh lapangan KB juga terus menurun. Dari 40 ribu orang
sebelum era desentralisasi menjadi hanya sekitar 22 ribu. Pembiayaan di
kabupaten atau kota yang minimalis, diperkirakan hanya sekitar 0,04% dari
APBD. Itu tentu tidak memadai untuk mendukung operasional program KB.
Sangat
jelas, para pengambil keputusan terutama di daerah perlu memberikan komitmen
besar untuk menyukseskan program KB. Sekali lagi, bukan hanya untuk
mengendalikan jumlah penduduk, melainkan juga untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat. Mengutip apa yang dikatakan Kofi Annan, Sekretaris
Jenderal PBB periode 1997-2006, hanya para penjual popok, kereta bayi, dan
sejenisnya yang boleh percaya mitos bahwa pertumbuhan penduduk (yang tinggi)
memberi jaminan kehidupan lebih baik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar