Bayangkara
Negara
Jannus TH Siahaan ; Analis Masalah Sosial-Politik
|
KORAN
SINDO, 04 Desember 2014
|
“Prajurit Indonesia bukanlah prajurit sewaan,
bukan prajurit yang menjual tenaganya karena hendak merebut sesuap nasi dan
bukan pula prajurit yang mudah dibelokkan haluannya karena tipu dan nafsu
kebendaan.”
Kalimat
tersebut adalah amanat Panglima Besar Jenderal Sudirman. Jika menyimak
penggalan pesan dan amanat Panglima Besar Jenderal Sudirman di atas, jelaslah
sosok dan postur prajurit seperti apa yang beliau angankan.
Dalam
keyakinan kita, tentu prajurit “macam” Panglima Besar Sudirman-lah sosok yang
paling mendekati “kesempurnaan” seorang bayangkara negara. Sudah begitu
banyak buku dan literatur yang menjelaskan siapa dan bagaimana perjuangan
Jenderal Sudirman. Di ujung penggalan amanat tadi, sangat jelas ke mana
seorang prajurit itu akan berlabuh sebagai sebuah sosok.
Prajurit
yang beliau inginkan adalah prajurit yang tak mudah tertipu oleh nafsu
kebendaan. Tidak tertipu oleh bisikan nafsu materi, tidak terseret oleh
kehidupan hedonisme, serta tipu daya lainnya yang berkaitan dengan kebendaan.
Inilah ciri-ciri paling khas dari sosok prajurit profetik. Laskar prajurit
yang mengemban cita kenabian.
Dalam
dunia di mana batasbatas antarnegara semakin “samar”, masih tersisakah
harapan untuk dapat menemukan prajurit dengan kualifikasi seperti ini? Prajurit
dalam bayangan kita, rakyat Indonesia, adalah mereka yang sudah “selesai”
dengan dirinya sendiri.
Mereka
adalah bayangkara negara, mereka ksatria bangsa ini dan mereka adalah
pelindung, yang jiwa dan raganya, dipersembahkan kepada Ibu Pertiwi. “...Prajurit Indonesia adalah dia yang
masuk ke dalam Tentara karena keinsyafan jiwanya, atas panggilan Ibu Pertiwi
dengan setia membaktikan raga dan jiwanya bagi keluhuran bangsa dan negara“,
kata Panglima Besar Sudirman mengingatkan. Sungguh mulia prajurit “macam”
ini.
Masihkah
kita dapat menemukan sosok-sosok mereka di tengah tumpukan jerami anak bangsa
yang kini jumlahnya mencapai 250 juta lebih ? Tentu saja bisa, sebab kita
sudah pernah memilikinya dan sangat terbuka kemungkinan untuk kembali
memiliki prajurit-prajurit dengan kualifikasi seperti itu. Bukankah
gambarannya sudah diungkap secara jelas oleh pendiri TNI kita, Pak Dirman?
Di tengah harapan akan datangnya prajurit-prajurit berkelas ini,
mendadak kesadaran kita berderak. Berderak ketika dalam beberapa tahun
terakhir, kerap disajikan ke hadapan kita fakta yang menjelaskan terjadinya
ketegangan antara prajurit TNI dengan anggota kepolisian RI. Berbagai kajian
dilakukan, beragam penyebab disodorkan, tetapi selalu saja kasus itu
berulang.
Apa yang disinyalir Pak Dirman, kini telah menjadi kenyataan yang mesti
kita renungkan. Bagaimana caranya mengembalikan sosok tentara, prajurit serta
anggota Polri yang bisa mengemban tugas dan fungsi pokoknya. Kedua institusi
ini memiliki tanggung jawab yang sama besarnya. Yang pertama masalah
pertahanan, dan yang kedua keamanan dan ketertiban.
Mereka yang mendaftarkan diri bergabung menjadi prajurit TNI dan
anggota Polri, adalah mereka yang sepatutnya sedari awal menyadari dan atau
dianugerahi kesadaran tinggi untuk “menyerahkan” hidup dan kehidupannya
kepada negara dan bangsanya.
Demikian lekat tugas dan keberadaan prajurit dengan tegaknya negara dan
bangsa, sampai-sampai muncul adagium begitu seseorang bergabung dengan
institusi militer, saat itu mereka telah melakukan “kontrak mati”. Maka,
mereka yang ingin mencari hidup bergelimang harta dan benda, tempatnya bukan
di sini. Mereka yang ingin menikmati hidup jangan bermimpi menjadi prajurit.
Jika ada yang berangan-angan setelah menjadi tentara akan terbuka semua
pintu menuju gerbang kenikmatan hidup, segeralah balik kanan. Sosok semacam
ini hanya akan mencederai kesucian dunia prajurit sebagai laskar kenabian.
Para prajurit adalah anak kandung Ibu Pertiwi! Prajurit adalah mereka yang
hidup dalam senyap. Jauh dari hiruk-pikuk. Berada di garda terdepan republik.
Bergaul dengan alam. Menyendiri dalam riuhnya kehidupan. Tak berubah
jati dirinya seperti ikan yang menyelam di kedalaman samudra. Begitu mereka
meregang nyawa, surga membuka sendiri gerbangnya dan para bidadari
berderet-deret menyambut kedatangannya. Sungguh tak banyak yang rela berbicara
kematian dalam kehidupannya. Maka itu, institusi TNI dan Polri sangat penting
memperhatikan masalah ini.
Masalah kesiapan lahir-batin prajurit saat pertama bergabung ke dalam
lembaga TNI dan Polri. Penting disampaikan bahwa menjadi bayangkara negara
berarti siap mati dan mengakhiri hidup demi amanah mulia. Kalau cuma
menyatakan siap hidup, tak ada bedanya dengan “manusia” kebanyakan. Mereka
yang siap mati akan selalu berbuat yang terbaik karena maut selalu
mengepakkan sayap di atas kepalanya.
Kehadiran TNI sebagai alat pertahanan Negara Kesatuan Republik
Indonesia bertugas melaksanakan kebijakan pertahanan negara untuk menegakkan
kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah, dan melindungi
keselamatan bangsa, menjalankan operasi militer untuk perang dan operasi
militer selain perang, serta ikut secara aktif dalam tugas pemeliharaan
perdamaian regional dan internasional (poin c bagian menimbang UU TNI).
Menarik mencermati early warning
Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal Gatot Nurmantyo saat berusaha
menggugah kesadaran terdalam para prajuritnya. Peringatan ini menemukan
urgensinya di tengah ketegangan beberapa prajurit TNI dengan anggota Brimob
Polri di Batam belum lama ini yang membuat kita semua tersentak. Kita tidak
habis pikir bagaimana tindakan beberapa prajurit yang melakukan tindakan
insubordinasi sehingga memaksa seorang Pangdam harus keliling kota dengan
pelantang meminta mereka menghentikan tembakan.
Apa yang disinyalir Pak Dirman, kini telah menjadi kenyataan yang mesti
kita renungkan. Bagaimana caranya mengembalikan sosok tentara, prajurit serta
anggota Polri yang bisa mengemban tugas dan fungsi pokoknya. Kedua institusi
ini memiliki tanggung jawab yang sama besarnya. Yang pertama masalah
pertahanan, dan yang kedua keamanan dan ketertiban.
Mereka yang mendaftarkan diri bergabung menjadi prajurit TNI dan
anggota Polri, adalah mereka yang sepatutnya sedari awal menyadari dan atau
dianugerahi kesadaran tinggi untuk “menyerahkan” hidup dan kehidupannya
kepada negara dan bangsanya.
Demikian lekat tugas dan keberadaan prajurit dengan tegaknya negara dan
bangsa, sampai- sampai muncul adagium begitu seseorang bergabung dengan
institusi militer, saat itu mereka telah melakukan “kontrak mati”. Maka,
mereka yang ingin mencari hidup bergelimang harta dan benda, tempatnya bukan
di sini. Mereka yang ingin menikmati hidup jangan bermimpi menjadi prajurit.
Jika ada yang berangan-angan setelah menjadi tentara akan terbuka semua
pintu menuju gerbang kenikmatan hidup, segeralah balik kanan. Sosok semacam
ini hanya akan mencederai kesucian dunia prajurit sebagai laskar kenabian.
Para prajurit adalah anak kandung Ibu Pertiwi! Prajurit adalah mereka yang
hidup dalam senyap. Jauh dari hiruk-pikuk. Berada di garda terdepan republik.
Bergaul dengan alam. Menyendiri dalam riuhnya kehidupan. Tak berubah
jati dirinya seperti ikan yang menyelam di kedalaman samudra. Begitu mereka
meregang nyawa, surga membuka sendiri gerbangnya dan para bidadari
berderet-deret menyambut kedatangannya. Sungguh tak banyak yang rela
berbicara kematian dalam kehidupannya. Maka itu, institusi TNI dan Polri
sangat penting memperhatikan masalah ini.
Masalah kesiapan lahir-batin prajurit saat pertama bergabung ke dalam
lembaga TNI dan Polri. Penting disampaikan bahwa menjadi bayangkara negara
berarti siap mati dan mengakhiri hidup demi amanah mulia. Kalau cuma
menyatakan siap hidup, tak ada bedanya dengan “manusia” kebanyakan. Mereka
yang siap mati akan selalu berbuat yang terbaik karena maut selalu
mengepakkan sayap di atas kepalanya.
Kehadiran TNI sebagai alat pertahanan Negara Kesatuan Republik
Indonesia bertugas melaksanakan kebijakan pertahanan negara untuk menegakkan
kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah, dan melindungi
keselamatan bangsa, menjalankan operasi militer untuk perang dan operasi
militer selain perang, serta ikut secara aktif dalam tugas pemeliharaan
perdamaian regional dan internasional (poin c bagian menimbang UU TNI).
Menarik mencermati early warning
Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal Gatot Nurmantyo saat berusaha
menggugah kesadaran terdalam para prajuritnya. Peringatan ini menemukan
urgensinya di tengah ketegangan beberapa prajurit TNI dengan anggota Brimob
Polri di Batam belum lama ini yang membuat kita semua tersentak. Kita tidak
habis pikir bagaimana tindakan beberapa prajurit yang melakukan tindakan
insubordinasi sehingga memaksa seorang Pangdam harus keliling kota dengan
pelantang meminta mereka menghentikan tembakan.
Jenderal Gatot menulis, “...Indonesia
sebagai salah satu negara ekuator yang memiliki potensi vegetasi sepanjang
tahun akan menjadi arena persaingan kepentingan nasional berbagai negara.
Untuk itu, diperlukan langkah antisipasi agar keutuhan dan kedaulatan Negara
Kesatuan Republik Indonesia terjaga. Konflik- konflik di belahan dunia
terjadi akibat persaingan kepentingan antarnegara untuk menguasai sumber
energi.”
Melalui tulisan itu, Jenderal Gatot ingin mengingatkan semua prajurit
TNI bahwa kini adalah era proxy war
alias perang boneka. Karena itu, “Kenalilah
musuhmu !” kata Gatot berteriak. Kali ini kita berharap para prajurit
mengindahkan teriakan jenderalnya. Kalau tidak, mereka akan digilas oleh
situasi global.
Proxy
war adalah sebuah konfrontasi antara dua kekuatan besar dengan menggunakan
pemain pengganti untuk menghindari konfrontasi secara langsung. Biasanya
pihak ketiga yang bertindak sebagai pemain pengganti adalah negara kecil,
namun kadang juga bisa non-state actors yang dapat berupa LSM, ormas,
kelompok masyarakat, atau perorangan.
Melalui perang proxy ini, tidak dapat dikenali dengan jelas siapa kawan
dan siapa lawan karena musuh mengendalikan non-state actors dari jauh. “Proxy war telah berlangsung di
Indonesia!” tegas Jenderal Gatot. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar