Senin, 08 Desember 2014

Bayangkara Negara

                                                  Bayangkara Negara

Jannus TH Siahaan  ;   Analis Masalah Sosial-Politik
KORAN SINDO, 04 Desember 2014

                                                                                                                       


“Prajurit Indonesia bukanlah prajurit sewaan, bukan prajurit yang menjual tenaganya karena hendak merebut sesuap nasi dan bukan pula prajurit yang mudah dibelokkan haluannya karena tipu dan nafsu kebendaan.”

Kalimat tersebut adalah amanat Panglima Besar Jenderal Sudirman. Jika menyimak penggalan pesan dan amanat Panglima Besar Jenderal Sudirman di atas, jelaslah sosok dan postur prajurit seperti apa yang beliau angankan.

Dalam keyakinan kita, tentu prajurit “macam” Panglima Besar Sudirman-lah sosok yang paling mendekati “kesempurnaan” seorang bayangkara negara. Sudah begitu banyak buku dan literatur yang menjelaskan siapa dan bagaimana perjuangan Jenderal Sudirman. Di ujung penggalan amanat tadi, sangat jelas ke mana seorang prajurit itu akan berlabuh sebagai sebuah sosok.

Prajurit yang beliau inginkan adalah prajurit yang tak mudah tertipu oleh nafsu kebendaan. Tidak tertipu oleh bisikan nafsu materi, tidak terseret oleh kehidupan hedonisme, serta tipu daya lainnya yang berkaitan dengan kebendaan. Inilah ciri-ciri paling khas dari sosok prajurit profetik. Laskar prajurit yang mengemban cita kenabian.

Dalam dunia di mana batasbatas antarnegara semakin “samar”, masih tersisakah harapan untuk dapat menemukan prajurit dengan kualifikasi seperti ini? Prajurit dalam bayangan kita, rakyat Indonesia, adalah mereka yang sudah “selesai” dengan dirinya sendiri.
Mereka adalah bayangkara negara, mereka ksatria bangsa ini dan mereka adalah pelindung, yang jiwa dan raganya, dipersembahkan kepada Ibu Pertiwi. “...Prajurit Indonesia adalah dia yang masuk ke dalam Tentara karena keinsyafan jiwanya, atas panggilan Ibu Pertiwi dengan setia membaktikan raga dan jiwanya bagi keluhuran bangsa dan negara“, kata Panglima Besar Sudirman mengingatkan. Sungguh mulia prajurit “macam” ini.

Masihkah kita dapat menemukan sosok-sosok mereka di tengah tumpukan jerami anak bangsa yang kini jumlahnya mencapai 250 juta lebih ? Tentu saja bisa, sebab kita sudah pernah memilikinya dan sangat terbuka kemungkinan untuk kembali memiliki prajurit-prajurit dengan kualifikasi seperti itu. Bukankah gambarannya sudah diungkap secara jelas oleh pendiri TNI kita, Pak Dirman?

Di tengah harapan akan datangnya prajurit-prajurit berkelas ini, mendadak kesadaran kita berderak. Berderak ketika dalam beberapa tahun terakhir, kerap disajikan ke hadapan kita fakta yang menjelaskan terjadinya ketegangan antara prajurit TNI dengan anggota kepolisian RI. Berbagai kajian dilakukan, beragam penyebab disodorkan, tetapi selalu saja kasus itu berulang.

Apa yang disinyalir Pak Dirman, kini telah menjadi kenyataan yang mesti kita renungkan. Bagaimana caranya mengembalikan sosok tentara, prajurit serta anggota Polri yang bisa mengemban tugas dan fungsi pokoknya. Kedua institusi ini memiliki tanggung jawab yang sama besarnya. Yang pertama masalah pertahanan, dan yang kedua keamanan dan ketertiban.

Mereka yang mendaftarkan diri bergabung menjadi prajurit TNI dan anggota Polri, adalah mereka yang sepatutnya sedari awal menyadari dan atau dianugerahi kesadaran tinggi untuk “menyerahkan” hidup dan kehidupannya kepada negara dan bangsanya.

Demikian lekat tugas dan keberadaan prajurit dengan tegaknya negara dan bangsa, sampai-sampai muncul adagium begitu seseorang bergabung dengan institusi militer, saat itu mereka telah melakukan “kontrak mati”. Maka, mereka yang ingin mencari hidup bergelimang harta dan benda, tempatnya bukan di sini. Mereka yang ingin menikmati hidup jangan bermimpi menjadi prajurit.

Jika ada yang berangan-angan setelah menjadi tentara akan terbuka semua pintu menuju gerbang kenikmatan hidup, segeralah balik kanan. Sosok semacam ini hanya akan mencederai kesucian dunia prajurit sebagai laskar kenabian. Para prajurit adalah anak kandung Ibu Pertiwi! Prajurit adalah mereka yang hidup dalam senyap. Jauh dari hiruk-pikuk. Berada di garda terdepan republik.

Bergaul dengan alam. Menyendiri dalam riuhnya kehidupan. Tak berubah jati dirinya seperti ikan yang menyelam di kedalaman samudra. Begitu mereka meregang nyawa, surga membuka sendiri gerbangnya dan para bidadari berderet-deret menyambut kedatangannya. Sungguh tak banyak yang rela berbicara kematian dalam kehidupannya. Maka itu, institusi TNI dan Polri sangat penting memperhatikan masalah ini.

Masalah kesiapan lahir-batin prajurit saat pertama bergabung ke dalam lembaga TNI dan Polri. Penting disampaikan bahwa menjadi bayangkara negara berarti siap mati dan mengakhiri hidup demi amanah mulia. Kalau cuma menyatakan siap hidup, tak ada bedanya dengan “manusia” kebanyakan. Mereka yang siap mati akan selalu berbuat yang terbaik karena maut selalu mengepakkan sayap di atas kepalanya.

Kehadiran TNI sebagai alat pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia bertugas melaksanakan kebijakan pertahanan negara untuk menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah, dan melindungi keselamatan bangsa, menjalankan operasi militer untuk perang dan operasi militer selain perang, serta ikut secara aktif dalam tugas pemeliharaan perdamaian regional dan internasional (poin c bagian menimbang UU TNI).

Menarik mencermati early warning Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal Gatot Nurmantyo saat berusaha menggugah kesadaran terdalam para prajuritnya. Peringatan ini menemukan urgensinya di tengah ketegangan beberapa prajurit TNI dengan anggota Brimob Polri di Batam belum lama ini yang membuat kita semua tersentak. Kita tidak habis pikir bagaimana tindakan beberapa prajurit yang melakukan tindakan insubordinasi sehingga memaksa seorang Pangdam harus keliling kota dengan pelantang meminta mereka menghentikan tembakan.

Apa yang disinyalir Pak Dirman, kini telah menjadi kenyataan yang mesti kita renungkan. Bagaimana caranya mengembalikan sosok tentara, prajurit serta anggota Polri yang bisa mengemban tugas dan fungsi pokoknya. Kedua institusi ini memiliki tanggung jawab yang sama besarnya. Yang pertama masalah pertahanan, dan yang kedua keamanan dan ketertiban.

Mereka yang mendaftarkan diri bergabung menjadi prajurit TNI dan anggota Polri, adalah mereka yang sepatutnya sedari awal menyadari dan atau dianugerahi kesadaran tinggi untuk “menyerahkan” hidup dan kehidupannya kepada negara dan bangsanya.

Demikian lekat tugas dan keberadaan prajurit dengan tegaknya negara dan bangsa, sampai- sampai muncul adagium begitu seseorang bergabung dengan institusi militer, saat itu mereka telah melakukan “kontrak mati”. Maka, mereka yang ingin mencari hidup bergelimang harta dan benda, tempatnya bukan di sini. Mereka yang ingin menikmati hidup jangan bermimpi menjadi prajurit.

Jika ada yang berangan-angan setelah menjadi tentara akan terbuka semua pintu menuju gerbang kenikmatan hidup, segeralah balik kanan. Sosok semacam ini hanya akan mencederai kesucian dunia prajurit sebagai laskar kenabian. Para prajurit adalah anak kandung Ibu Pertiwi! Prajurit adalah mereka yang hidup dalam senyap. Jauh dari hiruk-pikuk. Berada di garda terdepan republik.

Bergaul dengan alam. Menyendiri dalam riuhnya kehidupan. Tak berubah jati dirinya seperti ikan yang menyelam di kedalaman samudra. Begitu mereka meregang nyawa, surga membuka sendiri gerbangnya dan para bidadari berderet-deret menyambut kedatangannya. Sungguh tak banyak yang rela berbicara kematian dalam kehidupannya. Maka itu, institusi TNI dan Polri sangat penting memperhatikan masalah ini.

Masalah kesiapan lahir-batin prajurit saat pertama bergabung ke dalam lembaga TNI dan Polri. Penting disampaikan bahwa menjadi bayangkara negara berarti siap mati dan mengakhiri hidup demi amanah mulia. Kalau cuma menyatakan siap hidup, tak ada bedanya dengan “manusia” kebanyakan. Mereka yang siap mati akan selalu berbuat yang terbaik karena maut selalu mengepakkan sayap di atas kepalanya.

Kehadiran TNI sebagai alat pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia bertugas melaksanakan kebijakan pertahanan negara untuk menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah, dan melindungi keselamatan bangsa, menjalankan operasi militer untuk perang dan operasi militer selain perang, serta ikut secara aktif dalam tugas pemeliharaan perdamaian regional dan internasional (poin c bagian menimbang UU TNI).

Menarik mencermati early warning Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal Gatot Nurmantyo saat berusaha menggugah kesadaran terdalam para prajuritnya. Peringatan ini menemukan urgensinya di tengah ketegangan beberapa prajurit TNI dengan anggota Brimob Polri di Batam belum lama ini yang membuat kita semua tersentak. Kita tidak habis pikir bagaimana tindakan beberapa prajurit yang melakukan tindakan insubordinasi sehingga memaksa seorang Pangdam harus keliling kota dengan pelantang meminta mereka menghentikan tembakan.

Jenderal Gatot menulis, “...Indonesia sebagai salah satu negara ekuator yang memiliki potensi vegetasi sepanjang tahun akan menjadi arena persaingan kepentingan nasional berbagai negara. Untuk itu, diperlukan langkah antisipasi agar keutuhan dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia terjaga. Konflik- konflik di belahan dunia terjadi akibat persaingan kepentingan antarnegara untuk menguasai sumber energi.”

Melalui tulisan itu, Jenderal Gatot ingin mengingatkan semua prajurit TNI bahwa kini adalah era proxy war alias perang boneka. Karena itu, “Kenalilah musuhmu !” kata Gatot berteriak. Kali ini kita berharap para prajurit mengindahkan teriakan jenderalnya. Kalau tidak, mereka akan digilas oleh situasi global.

Proxy war adalah sebuah konfrontasi antara dua kekuatan besar dengan menggunakan pemain pengganti untuk menghindari konfrontasi secara langsung. Biasanya pihak ketiga yang bertindak sebagai pemain pengganti adalah negara kecil, namun kadang juga bisa non-state actors yang dapat berupa LSM, ormas, kelompok masyarakat, atau perorangan.

Melalui perang proxy ini, tidak dapat dikenali dengan jelas siapa kawan dan siapa lawan karena musuh mengendalikan non-state actors dari jauh. “Proxy war telah berlangsung di Indonesia!” tegas Jenderal Gatot.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar