Penelitian
dan Peneliti
Dinna Wisnu ; Co-Founder & Direktur Program Pascasarjana
Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina @dinnawisnu
|
KORAN
SINDO, 17 Desember 2014
Saya menghadiri
seminar pemaparan hasil penelitian ilmu sosial sebuah lembaga penelitian
milik pemerintah beberapa waktu yang lalu. Lembaga itu meneliti tema-tema
tertentu sebagai bagian dari program kerja.
Hasil-hasil
tersebut yang kemudian disampaikan kepada masyarakat sebagai rekomendasi
untuk kementerian dan lembaga terkait. Saya menghargai hasil penelitian
tersebut, namun tampaknya hasil yang disampaikan masih tertinggal jauh dengan
hasil penelitian yang dimuat di jurnal ilmiah, baik di dalam maupun luar negeri.
Tidak
ada kebaruan dari sisi pertanyaan penelitian dan juga tidak ada yang baru
dari sisi rekomendasi. Kenyataan ini sungguh memprihatinkan mengingat lembaga
penelitian adalah salah satu ujung tombak kemajuan peradaban bangsa. Situasi
ini sebetulnya sudah menjadi perhatian banyak pihak sejak lama. Namun
sayangnya, rasa prihatin itu tidak ditindaklanjuti dengan tindakan.
Penelitian
dan inovasi teknologi Indonesia tidak berkembang. Data Indikator Iptek
Indonesia 2014 menyatakan bahwa di periode ke-2 masa pemerintahan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), penelitian mengalami stagnasi selama lima
tahun. Ironisnya, dari sisi anggaran belanja, alokasi dana untuk penelitian
dan pengembangan di lembaga pemerintah memang mengalami kenaikan setiap tahun.
Tahun
2013, lembaga penelitian pemerintah memperoleh dana sekitar Rp5 triliun.
Lebih tinggi dibandingkan pada tahun 2009 yang hanya menerima Rp1,9 triliun.
Namun demikian, apabilakita lihat rasio gelontoran dana untuk penelitian
terhadap PDB, kenaikan itu tidak berarti apa-apa karena hanya 0,06%.
Rasio
itu bahkan lebih buruk dibandingkan saat pemerintahan otoriter Presiden
Soeharto yang pernah mencapai 0,4% di tahun 1977. Secara umum, belanja
penelitian dan pengembangan kita juga tidak lebih baik dibandingkan dengan
negara pesaing kita di ASEAN. Pada 2012, rasio belanja litbang Singapura
adalah 2,1%, Malaysia 1%, Thailand 0,25% sementara Indonesia hanya 0,09%.
Walaupun
perlu diuji lebih dalam lagi hubungan antara rasio tersebut dengan
produktivitas hasil penelitian, kita dapat melihat bahwa dalam beberapa tema
penelitian seperti ilmu sosial, ekonometri, ekonomi dan keuangan, posisi
tersebut cenderung konsisten (SCImago
Journal & Country Rank).
Singapura cenderung lebih produktif dalam mengembangkan hasil
penelitian dan gagasan diikuti oleh Malaysia dan Thailand. Indonesia akan
lebih kedodoran posisinya apabila dibandingkan dengan Amerika Serikat,
negara-negara Eropa, dan China. Angka-angka itu menjelaskan kepada kita bahwa
pemerintahan yang lalu belum menunjukkan keberpihakan yang cukup serius dalam
meningkatkan kapasitas penelitian dan peneliti.
Kita tidak dapat menyalahkan sepenuhnya hasil penelitian yang
relevansinya sudah ketinggalan zaman itu kepada para peneliti, karena akses
mereka terhadap sumber-sumber dana, alat dan literatur sangat terbatas. Para
peneliti di lembaga penelitian pemerintah bahkan saat ini menjadi lebih
sengsara dalam menjalankan penelitian, karena dana operasional dipotong
hingga 50% sebagai akibat kebijakan pengencangan ikat pinggang pegawai yang
dilakukan Presiden Joko Widodo.
Penelitian-penelitian sosial dan budaya yang memang membutuhkan waktu
turun lapangan lebih panjang karena berhubungan dengan faktor manusia dan
masyarakat yang sulit ditebak menjadi yang paling dirugikan. Hasil penelitian
yang belum memuaskan juga dapat disebabkan karena insentif yang minim untuk
para peneliti.
Para akademisi atau peneliti yang memiliki motivasi untuk mengerjakan
penelitian tidak dapat menggantungkan hidupnya hanya dari penelitian itu
saja, tetapi juga harus melakukan pekerjaan lain yang sifatnya manajerial atau
administratif. Contoh adalah posisi saya sendiri di dalam universitas yang
memiliki banyak peran selain sebagai pengajar, peneliti, penulis, tetapi juga
menjalankan peran manajerial, administrasi, pemasaran, dan bahkan menjembatani
hubungan industrial para staf.
Beban itu mungkin juga bertambah berat untuk para peneliti perempuan
yang memiliki peran gender di dalam rumah tangga. Peran itu mungkin
menyulitkan peneliti perempuan untuk berkembang dan maju jika tidak ada perhatian
khusus. Saya yakin banyak peneliti di Indonesia yang juga berada di dalam
posisi dan memiliki pengalaman serupa.
UNESCO memiliki dua metode, Headcounts
dan Full-Time-Equivalent (FTE),
untuk mengukur kapasitas peneliti di sebuah negara. Headcounts adalah jumlah tenaga yang baik penuh maupun paruh
waktu bekerja di departemen litbang, sementara FTE adalah jumlah waktu kerja
yang dihabiskan seorang peneliti penuh waktu di litbang dalam satu tahun.
Secara nasional, Indonesia di tahun 2009, peneliti yang bekerja untuk litbang
perguruan tinggi, indeks FTE-nya adalah 35.
Artinya seorang peneliti di perguruan tinggi hanya bisa meluangkan
waktu 35% dari total waktu penelitian, sisanya dipergunakan untuk hal lain.
Singapura 40,7% (2009) dan 44% (2013), Malaysia 80% (2009) dan 82% (2011),
dan Thailand 54,5% (2009). Kita dapat lihat betapa rendahnya komitmen
dorongan pemerintah selama ini terhadap peneliti. Temuan tersebut menjadi
relevan dalam konteks daya saing Indonesia hari ini dan dalam tahun-tahun
mendatang.
Negara yang maju adalah negara yang menjadi ”otak” dalam relasi
antarnegara dan bukannya sekadar menjadi pengikut atau pelaksana. Negara yang
maju pasti punya ”pasukan” peneliti yang terlatih dan jeli. Kita belum sampai
sana, tetapi semoga bertahap pemerintah kita membantu mengarahkan perhatian
dan sumber daya kita ke arah itu.
Sampai hari ini, Indonesia masih terus menjadi sasaran kegiatan ”capacity building” dan pemberian
bantuan teknis ”technical assistance”
dari negara-negara lain ataupun lembaga donor. Alasan mereka adalah karena
produk dari Indonesia (baik itu barang maupun kebijakan) masih lebih sering
berada jauh mutunya di bawah harapan para penggunanya.
Di satu sisi, kegiatan lembaga donor tersebut dianggap menguntungkan
oleh sebagian kalangan karena mereka memperoleh proyek yang berarti pula
tambahan penghasilan. Namun, yang patut dicermati adalah karena proyek-proyek
tersebut mulai dilihat oleh negara dan lembaga donor sebagai kurang efektif
dan sebagian donor mulai melakukan evaluasi.
Dari sudut pandang suatu konsorsium pemberi donor program-program
sosial, yang dalam hal ini tentu tidak patut bagi saya untuk menyebutkan
namanya, ada indikasi bahwa hasil penelitian dari lembaga penerima proyek
justru belum tentu dipakai atau dipertimbangkan oleh pembuat kebijakan (baik
di pemerintahan maupun parlemen).
Masih banyak indikasi bahwa para pembuat kebijakan cenderung
mengandalkan timtim litbang internal yang sering kali sudah kerepotan dengan
urusan administrasi atau memang terdiri atas unsur-unsur peneliti yang belum
punya keahlian di bidang yang dimaksud.
Kalau pemerintah bersikukuh dengan pola lama ini, artinya untuk terus
mengandalkan tim internal dalam menyusun naskah akademik yang mendasari suatu
kebijakan, maka kita perlu khawatir akan efek beban keuangan yang harus
ditanggung oleh APBN untuk hasil yang kurang jitu dalam menjawab kebutuhan
masyarakat.
Secara umum, saya merasa perlu menyampaikan bahwa kegiatan pemerintah
mustahil berjalan optimal tanpa didukung oleh penelitian yang mendalam dan
terarah pada kebutuhan masyarakat, baik itu untuk kebutuhan hari ini maupun
20-30 tahun mendatang. Rata-rata penelitian di lembaga-lembaga pembuat
kebijakan masih berorientasi pada pencarian sumber masalah, deskripsi
kebutuhan, serta pemetaan kepentingan.
Tetapi apa saja pilihan kebijakan yang kemudian patut ditimbang, justru
belum ditelaah. Dan memang, jenis penelitian seperti itu membutuhkan keahlian
dan keterampilan ekstra. Sulit tetapi wajib kita miliki dalam waktu singkat.
Semoga Kabinet Kerja Jokowi-JK membaca kebutuhan dukungan dalam bidang
penelitian. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar