PDRI
danTonggak Revolusi
Ahmad Syafii Maarif ; Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah
|
KOMPAS,
13 Desember 2014
SEKIRANYA
Belanda mau memahami gerak sejarah setelah Perang Dunia II bulan Agustus
1945, ambisi kolonialnya untuk kembali menjajah Indonesia tidak akan terjadi.
Namun, bersamaan dengan itu, meledaknya revolusi nasional Indonesia berupa
perang merebut kemerdekaan justru sebagai jawaban heroik terhadap kenekatan
Belanda yang gagal membaca perubahan mendasar yang sedang berlaku pada saat
itu dalam konstelasi politik global.
Akibat
Perang Dunia II, era kolonialisme menemui titik ujungnya yang dramatis dan
hina. Belanda yang dibantu Inggris masih saja berpikir dalam bingkai
kolonialisme: Indonesia tidak boleh merdeka, sebuah angan-angan yang basi dan
busuk. ”Bahwa bangunan kolonial,”
Bung Hatta mengutip majalah Indonesia Merdeka (No 4-5, Tahun 1925, hlm 61), ”pada suatu waktu akan roboh, bagi kami
hal itu sudah pasti. Persoalannya hanyalah waktu, cepat atau lambat, dan
bukan ya atau tidak. Pasang yang menaik tidak dapat ditolak; masa depan
adalah ibarat laut yang tidak mengenal pasang surut.”
Tonggak-tonggak revolusi
Revolusi
Indonesia telah melahirkan banyak peristiwa yang menjadi tonggak-tonggak
penting dan menentukan dalam upaya merebut dan mempertahankan kemerdekaan
Tanah Air dalam tenggang waktu 1945 hingga 1949. Ada perjuangan heroik di
Surabaya pada 10 November 1945, ada diplomasi politik St Sjahrir, Amir
Sjarifuddin, dan Hatta, ada perlawanan Jenderal Soedirman yang tidak bisa
menerima kapitulasi Soekarno-Hatta pada 19 Desember 1948 kepada pasukan
Belanda di Yogyakarta. Dan jangan lupa, salah satu tonggak yang menyatu
dengan roh dan napas revolusi Indonesia adalah lahirnya Pemerintah Darurat
Republik Indonesia (PDRI) pimpinan Sjafruddin Prawiranegara di sebuah desa
kecil Halaban dalam wilayah Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat, pada 22
Desember 1948.
Sebelum
Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta diangkut pasukan Belanda
pada 19 Desember 1948, kawat masih sempat dikirimkan kepada Menteri
Kemakmuran Sjafruddin Prawiranegara dalam Kabinet Hatta yang sedang berada di
Bukittinggi dan kepada Dr Sudarsono, LN Palar, dan AA Maramis di India. Isi
kawat agar dibentuk segera pemerintah darurat di Sumatera atau pemerintah
dalam pengasingan di India, sekiranya perjuangan dalam negeri gagal.
Karena
Bukittinggi sudah tak aman, Sjafruddin dan banyak tokoh pejuang lain harus
menyingkir ke kawasan yang lebih aman. Sekalipun kawat tak sampai karena
komunikasi telah dirusak, Sjafruddin dan para pejuang yang lain dengan
cekatan dan penuh rasa tanggung jawab membentuk PDRI dalam kesunyian
lingkungan desa, tiga hari setelah Soekarno-Hatta tidak bisa berfungsi lagi
sebagai presiden dan wakil presiden. Pemerintah pusat lumpuh. Terjadi
kekosongan kekuasaan pada tingkat tertinggi selama tiga hari itu (19-22
Desember). Dengan lahirnya PDRI yang mendapat dukungan sepenuhnya dari
Jenderal Soedirman, kekosongan itu cepat terisi dengan mandat sah: ”…kami (Presiden” menguasakan kepada Mr Sjafruddin Prawiranegara,
Menteri Kemakmuran Republik Indonesia, untuk membentuk Pemerintah Darurat di
Sumatera.” Indonesia tidak runtuh, sebagaimana kicauan pongah Belanda dan
pendukungnya dari kubu kolonialisme global.
Sehari
setelah PDRI dibentuk, Sjafruddin Prawiranegara sebagai ketuanya menyampaikan
pidato radio yang isinya antara lain ”Negara
Republik Indonesia tidak tergantung kepada Soekarno-Hatta sekalipun kedua
pemimpin itu adalah sangat berharga bagi bangsa kita. Patah tumbuh hilang
berganti. Hilang pemerintah Soekarno-Hatta, sementara atau untuk
selama-lamanya, rakyat Indonesia akan mendirikan pemerintahan yang baru,
hilang pemerintah ini akan timbul yang baru lagi.” Pidato yang penuh
optimisme dari seorang patriot-nasionalis yang tidak pernah percaya bahwa
Belanda akan berkuasa kembali di Indonesia. Tekad ini adalah tekad para
pejuang yang mendapat dukungan dari seluruh rakyat yang tidak mau dijajah
lagi.
Karena
Belanda selalu mengincar pimpinan PDRI, watak perlawanan yang dikembangkan
adalah bergerilya dari satu kawasan ke kawasan yang lain dengan segala suka
duka yang menyertainya, termasuk harus berjalan kaki sepanjang ratusan kilometer.
Hutan dan desa-desa di Sumatera Barat telah melindungi pimpinan PDRI selama
tujuh bulan (22 Desember 1948-13 Juli 1949). Tak seorang pun yang dapat
ditangkap pasukan kolonial. Desa-desa yang pernah menjadi pusat pemerintahan
PDRI adalah Bidar Alam (Solok Selatan), Koto Tinggi (Limapuluh Kota), dan
Sumpur Kudus (sekarang dalam Kabupaten Sijunjung).
Rakyat
di semua desa ini demikian menyatu dengan PDRI. Apa pun mereka korbankan demi
ongkos kemerdekaan yang ingin dihancurkan lagi oleh Belanda. Pada hari-hari
itu, patriotisme dan nasionalisme Indonesia sedang berada di puncak-puncaknya
yang tertinggi. Pilihannya: merdeka atau mati! Semangat ini telah menjalar
sampai ke pelosok-pelosok tersuruk yang jauh dari Jakarta atau Yogyakarta.
Belanda tidak mau mengerti tentang semangat perlawanan rakyat ini. Nafsu
kolonialnya yang tak terbendung telah membutakan hati dan melumpuhkan akal
sehat Belanda. Terlalu amat berat bagi penjajah untuk melepaskan Indonesia
yang telah dieksploitasinya dalam rentang waktu yang lama.
PDRI dalam ketatanegaraan
Indonesia
Sekarang,
bagaimana status ketatanegaraan PDRI setelah mengeram dalam ingatan kolektif
kita selama 65 tahun tahun (1949-2014)? Memang Sjafruddin Prawiranegara tahun
1998 telah menerima ”Bintang RI Adipradana” dari Presiden BJ Habibie dengan
Keppres No 110/TK/1998 tertanggal 6 November 1998. Juga Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono dengan Keppres No 28 Tahun 2006 telah menetapkan tanggal 19
Desember sebagai Hari Bela Negara. Bagi saya, semuanya itu belum cukup. Seolah-olah
PDRI itu bukan merupakan salah satu tonggak utama revolusi Indonesia di saat
yang sangat-sangat genting. Jenderal Soedirman memahami benar peran kritikal
PDRI ini.
Dapatkan tuan dan puan membayangkan nasib RI. Tanpa PDRI di tengah hantaman propaganda Belanda
yang sangat gencar bahwa negara Indonesia telah lenyap dengan tertangkapnya
Soekarno-Hatta? Sjafruddin Prawiranegara telah menjawab
kebohongan itu dalam perbuatan nyata sebagaimana tecermin dalam pidato di
atas. Maka ada baiknya para ahli hukum tata
negara membaca kembali dengan kepala dingin dan melalui pertimbangan yang
jernih, demi pelurusan sejarah bangsa, tentang peran PDRI ini untuk kemudian
mengusulkan kepada presiden dan MPR agar Sjafruddin Prawiranegara ditetapkan
sebagai presiden kedua Republik Indonesia. Para sejarawan dapat
membantu ahli hukum tata negara kita dalam kerja besar ini. Arsip sejarah
cukup tersedia untuk keperluan itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar