Mewujudkan
Pertumbuhan 7 Persen
Anton Hendranata ; Chief Economist PT Bank Danamon Indonesia, Tbk
|
KOMPAS,
13 Desember 2014
PEMERINTAHAN
Joko Widodo-Jusuf Kalla merupakan pemerintahan yang pro pertumbuhan, itu
terlihat dari target pertumbuhan ekonomi 7 persen. Tidak tanggung-tanggung,
targetnya tiga tahun ke depan. Sepintas target ini terlihat sangat optimistis
dan tak masuk akal mengingat masih ada segudang masalah struktural warisan
masa lalu. Di sisi lain, tersirat energi yang sangat positif untuk membawa
Indonesia ke era baru dengan harapan baru.
Pengalaman
14 tahun terakhir (2000-2013), rata-rata pertumbuhan ekonomi hanya 5,4
persen, hanya pada 2011 pertumbuhan mencapai 6,5 persen. Karena itu, wajar
banyak kalangan pesimistis dan menimbulkan tanda tanya besar bagaimana
caranya pemerintahan Kabinet Kerja memenuhi ambisinya?
Memang,
pemerintah harus selalu optimistis, tetapi perlu realistis. Ada segudang
masalah struktural yang harus diselesaikan bangsa ini, seperti buruknya
infrastruktur, distribusi barang yang jauh dari efisien, tinggi, dan tidak
stabilnya inflasi, tingginya suku bunga dan rupiah yang sulit dikendalikan,
serta ketergantungan pada barang impor yang tinggi. Jujur saja, masalah ini
tidak bisa diselesaikan secara instan karena masalah struktural yang sudah
mengakar lama, ibarat sudah lama menghuni ruang gawat darurat (ICU).
Kondisi
semakin berat karena perkembangan politik yang cenderung kurang berpihak kepada
pemerintahan JKW-JK. Dinamika politik ini sulit terukur karena
ketidakpastiannya cukup tinggi dan biasanya biaya ekonominya sangat tinggi.
Politikus jarang berhitung berapa kerugian ekonomi yang terjadi, mereka lebih
mementingkan tujuan dan kepentingan pribadi atau golongan yang tercapai.
Ketika politik tak kondusif dan harmonis, energi dan potensi yang kita miliki
sebagai bangsa tidak akan bermanfaat secara maksimal.
Fokus kebijakan
Selama
ini, ada kecenderungan output aktual bergerak di bawah output potensialnya
karena ketidakmampuan kita memanfaatkan secara baik dan efisien potensi yang
kita miliki. Terlalu banyak distorsi dalam perekonomian, yang menghambat laju
perekonomian.
Karena
itu, sebaiknya kita bedah, kira-kira apa yang menarik dari struktur
perekonomian Indonesia, yang bisa menjadi fokus pemerintahan JKW–JK ke depan.
Dari sisi permintaan, kekuatan ekonomi Indonesia sangat didominasi konsumsi
rumah tangga (55 persen dari total produk domestik bruto/PDB), kemudian
diikuti investasi swasta (20-25 persen), ekspor neto (9-11 persen), dan yang
terakhir adalah pengeluaran pemerintah (7-9 persen).
Sementara
dari sisi produksi, sektor manufaktur memberikan kontribusi terbesar, yaitu
26-28 persen dari total PDB, sektor perdagangan, hotel, dan restoran (16-18
persen), sektor pertanian (12-14 persen), kemudian diikuti sektor
transportasi dan komunikasi, sektor lembaga keuangan, dan sektor jasa yang
masing-masing dengan kontribusi 11 persen, 10 persen, dan 9 persen, terhadap
total PDB.
Menilik
struktur perekonomian tersebut, pemerintah ke depan sebaiknya berfokus pada:
(1) mendorong daya beli masyarakat, (2) menggairahkan investasi, baik
domestik maupun asing, (3) meningkatkan peranan industri manufaktur yang
mampu mendukung permintaan domestik, (4) kembali memperkuat ketahanan pangan,
(5) reformasi alokasi anggaran pemerintah.
Menjaga
dan meningkatkan daya beli masyarakat adalah syarat mutlak jika kita ingin
tumbuh dengan cepat. Jumlah penduduk yang banyak usia mudanya atau disebut
dengan bonus demografi adalah modal yang sangat berharga. Namun, ketika
inflasi masih tinggi dan tidak stabil, bonus demografi bisa jadi bumerang dan
membebani perekonomian.
Oleh
karena itu, perbaikan dan pembangunan infrastruktur yang signifikan menjadi
suatu keharusan dan tidak dapat ditawar lagi. Jika infrastruktur baik, tren
inflasi secara konsisten akan menurun dan stabil. Daya beli masyarakat akan
meningkat dan stabil. Dengan demikian, jika pertumbuhan konsumsi rumah tangga
dapat ditingkatkan ke arah 6 persen, sebelumnya hanya sekitar 5 persen, saya
perkirakan sumbangan pertumbuhan konsumsi rumah tangga akan sangat signifikan
pada perekonomian, yaitu 3-3,5 persen terhadap total pertumbuhan ekonomi
Indonesia.
Selanjutnya,
untuk mengakselerasi pertumbuhan Indonesia, tentunya membutuhkan modal yang
sangat besar. Pemerintah tidak bisa bergerak sendirian, perlu dukungan modal
dari swasta. Presiden Jokowi dalam pertemuan APEC 2014 di Beijing, Tiongkok,
sangat jelas ingin merangkul investor asing untuk mau berinvestasi di Indonesia.
Investasi langsung asing (FDI) tahun 2013 tercatat 29 miliar dollar AS,
memang meningkat cukup signifikan (hampir dua kali lipat) ketimbang empat
tahun lalu yang hanya 16 miliar dollar AS. Namun, ternyata, peranan FDI
Indonesia sangat kecil terhadap PDB, hanya 3,3 persen, jauh di bawah Malaysia
(5,8 persen) dan Vietnam (6,7 persen).
Jika
rasio FDI terhadap PDB ini bisa meningkat ke arah 5 persen, kami perkirakan
FDI yang masuk ke Indonesia berkisar 40-50 miliar dollar AS. Saya kira ini
angka fantastis untuk mendorong pertumbuhan investasi ke arah 10–12 persen.
Karena itu, sumbangan investasi bisa 2,2-2,5 persen terhadap total
pertumbuhan ekonomi.
Dari dua
komponen PDB tersebut, yaitu konsumsi rumah tangga dan investasi, kita sudah
mendapatkan pertumbuhan ekonomi sekitar 5-6 persen, berarti mendekati
pertumbuhan ekonomi 7 persen. Dengan dorongan pengeluaran pemerintah yang
lebih produktif, dengan pengeluaran kapitalnya lebih tinggi daripada
pengeluaran rutin, serta didukung dengan ekspor neto (ekspor-impor) yang
makin membaik, seharusnya tidaklah sulit kita mencapai pertumbuhan ekonomi 7
persen.
Mengatasi kendala
Hitungan
di atas kertas kelihatan mudah, tetapi realisasinya sulit. Kendala yang
dihadapi Indonesia sangat banyak. Ini perlu penanganan yang serius dan
konsisten dari pemerintahan JKW-JK.
Masalah
perizinan dan pembebasan lahan mungkin dapat diperbaiki dengan segera. Akan
tetapi, pembangunan infrastruktur (irigasi, jalan, jembatan, pelabuhan, dan
tol laut) biasanya membutuhkan waktu yang lama. Karena itu, mungkin baru lima
tahun ke depan kita akan merasakan dampak ekonominya.
Belum
lagi dengan masalah produktivitas tenaga kerja yang kurang produktif.
Pendidikan tenaga kerja Indonesia sangat memprihatinkan, sebagian besar
adalah lulusan SMP ke bawah, yaitu 67 persen, sedangkan lulusan diploma dan
perguruan tinggi hanya 9 persen. Pembenahan dunia pendidikan dengan Kartu
Indonesia Pintar tentunya juga tidak dapat diselesaikan secara instan,
apalagi kaitan dengan revolusi mental.
Melihat kondisi ini, agaknya sangat berat meraih pertumbuhan ekonomi 7
persen dalam waktu singkat. Apalagi, situasi global cenderung makin sulit dan
rentan terkena krisis serta pemulihannya cenderung lambat. Kita harus
realistis, tetapi tidak perlu pesimistis dan menyerah. Poin pentingnya adalah
kerja keras dan konsisten untuk mencapai tujuan yang diinginkan, suatu saat
akan tercapai pada waktunya. Semoga pemerintahan baru adalah pemerintahan
yang riil bekerja, tidak hanya memiliki ide selangit, tetapi miskin implementasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar