Jangan
Lagi Ada Perikanan Ilegal
Arif Satria ; Dekan Fakultas Ekologi Manusia IPB
|
KOMPAS,
13 Desember 2014
SAAT
berlangsung kampanye Ayo Kita Makan
Ikan, 30 November 2014, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti
mengajak peserta meneriakkan yel-yel No
More Illegal Fishing. Terobosan Susi selama ini memang sangat memberi
harapan, sejalan dengan salah satu janji kampanye Joko Widodo untuk
memberantas perikanan ilegal. Mengapa isu ini begitu penting diangkat?
Bagaimana peta perikanan ilegal di dunia dan prospek pemberantasannya di
Indonesia?
Perikanan ilegal telah menjadi perhatian dunia karena dampaknya
luar biasa terhadap kelestarian sumber daya. Bayangkan saat ini 80 persen
stok perikanan dunia makin terancam. Apabila laju kerusakan sumber daya
selama ini tak terbendung, perikanan dunia akan kolaps pada tahun 2048
(Petrossian dkk, 2012). Wilayah perairan yang kerusakan sumber dayanya
tinggi, umumnya tinggi pula praktik perikanan ilegalnya.
Studi
Agnew dan kawan-kawan (2009) mencatat kerugian dari praktik perikanan ilegal
di 54 negara mencapai 26 juta ton dengan nilai tertinggi 23,5 miliar dollar
AS setiap tahun. Sementara Daniel Pauly memprediksi kerugian mencapai 25
miliar dollar AS, tentu masih lebih tinggi dari kerugian praktik perdagangan
kayu ilegal yang 15 miliar dollar AS. Di wilayah Afrika Barat, hasil
tangkapan praktik ilegal 40 persen lebih tinggi daripada yang dilaporkan.
Umumnya kapal-kapal Tiongkok, Taiwan, Rusia, dan Korea yang dominan di sana.
Adapun di wilayah Western Central Pacific, dengan Indonesia termasuk di
dalamnya, mencapai 46 persen dari total tangkapan yang dilaporkan dengan
nilai kerugian sekitar 1,5 miliar dollar AS.
Lebih
jauh studi Agnew dkk (2009) juga menunjukkan adanya korelasi antara praktik
perikanan ilegal dan indeks tata kelola negara yang dikeluarkan Bank Dunia.
Hasilnya, perikanan ilegal terjadi pada negara yang memiliki indeks tata
kelola yang rendah, yang umumnya adalah Dunia Ketiga. Juga bisa dipahami
apabila akhirnya tingkat kontrol 30 dari 53 negara produsen perikanan
terhadap praktik perikanan ilegal dianggap gagal.
Perspektif Indonesia
Di
Indonesia, kapal asing saat ini dilarang, tetapi masih ditemukan kapal
berbendera Indonesia yang ternyata secara de facto masih milik asing. Jadi
ada yang benar-benar kapal berbendera asing dan menangkap ikan di Indonesia,
ada pula berbendera Indonesia tetapi sebenarnya masih milik asing. Modus
perikanan ilegal beragam: manipulasi dokumen, berbendera ganda, penggunaan
anak buah kapal asing, dan tanpa izin. Tentu hasil penangkapan tak dilaporkan
dan lalu dilarikan ke negara asal kapal. Jadi, perikanan tangkap jadi ajang
perburuan rente yang merugikan kepentingan ekonomi, ekologi, dan geopolitik
bangsa.
Untuk
mengatasi ini, ada dua agenda pokok, yakni agenda langsung dan tak langsung.
Pertama, agenda langsung yang bersifat jangka pendek. Pemerintah telah
melakukan moratorium perpanjangan izin dan izin baru untuk kapal eks impor,
yang kini berjumlah 1.224 unit. Langkah ini sudah tepat, tetapi mesti
diiringi pembenahan sistem perizinan terpadu satu atap yang efisien dan
efektif. Untuk menghindari kapal berbendera ganda, kapal eks impor harus
diwajibkan menunjukkan bukti asli penghapusan kepemilikan kapal (deletion certificate) dari negara
asal. Selama ini bukti tersebut dicurigai sering dimanipulasi dan ini adalah
titik kritis masuknya kapal asing berbendera ganda.
Selain
itu, di hilir perlu penguatan kapasitas dan integritas pengawasan serta
penegakan hukum. Instrumen hukum sebenarnya sudah memadai. UU No 45/2009
Pasal 69 membolehkan petugas menenggelamkan atau membakar kapal asing ilegal
dengan bukti permulaan cukup. Penguatan kapasitas bisa dengan mengonsolidasi
semua kapal patroli yang dimiliki TNI AL, Polri, KKP, dan Bakorkamla/Bakamla,
dan diarahkan pada wilayah rentan seperti Arafura dan Laut Tiongkok Selatan
sehingga lebih efisien. Sementara kapasitas dan integritas juga berlaku untuk
hakim dan jaksa yang berperan di pengadilan perikanan.
Kedua,
agenda tak langsung, yakni desain baru pengelolaan perikanan Indonesia, yang
juga tak lagi rentan terhadap praktik perikanan ilegal. Namun, agenda ini
butuh basis saintifik memadai. Salah satunya, perlu ketersediaan data stok sumber
daya ikan secara akurat sehingga bisa ditentukan dengan cermat jumlah ikan
yang boleh ditangkap (total allowable
catch). Ketidakakuratan data stok ikan akan berdampak pada kesalahan pengelolaan yang
bisa membuat sumber daya makin rusak.
Untuk
alokasi penangkapan, pilihan akan menggunakan pendekatan kontrol input
(pembatasan jumlah kapal, alat tangkap, dan hari melaut) atau pendekatan
kontrol output (pembatasan kuota hasil tangkapan ikan) harus dikaji secara
ilmiah. Jepang menggunakan kontrol input, dan negara Barat (Australia,
Belanda, Selandia Baru) banyak menggunakan kontrol output melalui individual transferable quota (ITQ).
Terlepas dari pilihan pendekatan, perlu dibuat rencana pengelolaan perikanan
(RPP) di setiap ekosistem atau Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) yang
jumlahnya 11 secara efektif. Karena itu, perlu dibentuk lembaga pengelola di
setiap WPP yang akan mengimplementasikan RPP ini. Saat ini di dunia juga
berkembang pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan, yang perlu
dipertimbangkan.
Agenda
tak langsung lain adalah bagaimana kita mendorong nelayan dan pelaku usaha
untuk memperkuat armada nasional. Masih banyak pelaku usaha yang baik dan
jujur yang semestinya harus diberdayakan untuk meramaikan penangkapan di
wilayah-wilayah rentan kapal asing.
Sebenarnya masalah perikanan ilegal di atas sudah menjadi rahasia umum.
Persoalannya tinggal mau atau tidak untuk memberantas. Melihat kehormatan
bangsa ini terus tergerus oleh praktik perikanan ilegal, mari terus suarakan no more illegal fishing dan segera
wujudkan kedaulatan maritim. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar