Payung
Hukum Masyarakat Adat
Manuel Kaisiepo ; Anggota Pansus RUU Pengakuan dan Perlindungan
Hak Masyarakat Hukum Adat, DPR Periode 2009-2014
|
KOMPAS,
09 Desember 2014
ADANYA peta
wilayah merupakan unsur penting dalam mekanisme penyelesaian konflik agraris.
Karena itu, agak melegakan bahwa baru-baru ini Badan Pengelola REDD+
menawarkan diri menjadi wali data dalam pembuatan peta wilayah masyarakat
hukum adat (MHA) agar konflik antara MHA dan pemegang konsesi lahan
perkebunan besar , yang wilayahnya tak jarang menggusur tanah adat, dapat
dihindari (Kompas, 13 November 2014).
Pengalaman
selama ini menunjukkan, dalam konflik agraris, MHA selalu dalam posisi lemah.
Padahal, MHA memiliki kedudukan kuat karena telah ditegaskan dalam
konstitusi. Pasal 18B Ayat (2) UUD 1945 menyebutkan, ”Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum
adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang
diatur dalam Undang-Undang”.
Eksistensi
dan hak MHA itu bukanlah sesuatu yang diberikan oleh negara karena hal itu
sudah ada bahkan sebelum negara terbentuk. Jadi, ketika keberadaan MHA dan
hak-haknya diakui dalam konstitusi serta berbagai peraturan hukum lainnya,
hal itu bersifat declaratoir. Bahkan, tidak hanya di Indonesia, di dunia pun
eksistensi dan hak-hak MHA diakui.
Deklarasi
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) September 2007 menyatakan bahwa MHA memiliki
hak atas akses untuk memperoleh keputusan secara cepat melalui
prosedur-prosedur yang adil dan disetujui secara bersama dalam menyelesaikan
sengketa dengan negara dan pihak-pihak lain, serta bagi pemulihan yang
efektif atas pelanggaran hak-hak individual dan kolektif mereka. Keputusan
itu harus mempertimbangkan adat, tradisi, peraturan, dan sistem hukum
masyarakat adat tersebut (Pasal 40
United Nations Declaration on the Rights of Indigenous People).
Namun,
jaminan dalam konstitusi belum diikuti peraturan perundang-undangan yang secara nyata memberikan perlindungan
kepada MHA. Kedudukan MHA untuk pertama kali dicantumkan dalam Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria (UUPA). Lama sesudah itu
barulah muncul sejumlah UU lain, khususnya UU di bidang sumber daya alam yang
ikut mengatur kedudukan MHA. Namun, pengaturan hak MHA dalam berbagai UU itu
dilakukan secara sektoral, dengan mengatur MHA menurut kepentingan
sektoralnya sendiri, tanpa sungguh-sungguh berpihak, bahkan cenderung
meredusirnya. Sebagian UU itu juga
mengabaikan aspek konservasi, sebaliknya berkarakter eksploitatif dan
pro kapital.
Ketiadaan
payung hukum yang memberikan jaminan kepada MHA mengakibatkan kedudukannya
lemah ketika terjadi sengketa klaim atas tanah, hutan, atau sumber daya alam
lainnya, bahkan sering mengalami diskriminasi disertai kriminalisasi dan
kekerasan.
Meminjam
rumusan Gibbs dan Bromley (1989) tentang rezim property rights di bidang sumber daya alam, dapat ditunjukkan
bahwa sumber daya alam di Indonesia yang dahulu dikuasai masyarakat adat (traditional common property) telah
bergeser ke penguasaan oleh negara (state
property), dan kini (terutama) penguasaan oleh korporasi swasta (private property).
Salah
satu hak penting MHA adalah hak ulayat. Di beberapa daerah, hak ulayat itu
tidak saja mencakup tanah, tetapi juga hak atas laut dan hak atas perairan,
yang memang merupakan hak properti umum (common
property rights). Sebagai catatan, UU No 31/2004 tentang Perikanan dan UU
No 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil memang
telah mencantumkan eksistensi MHA, tetapi belum disertai pengaturan tegas
mengenai hak-hak mereka.
Hak
ulayat juga berkaitan dengan hubungan hukum antara MHA dan tanah dalam
lingkungan wilayahnya. Pengertian ”tanah dan lingkungan wilayahnya”—dengan
memakai konsepsi Ter Haar tentang ”tanah plus”—mencakup kewenangan MHA atas
tanah, termasuk isinya, yakni perairan, hutan, dan satwa liar dalam
wilayahnya yang menjadi sumber mata pencariannya. Namun, pengertian ”tanah
plus” ini hanya mencakup sumber daya alam yang terdapat di atas tanah dan
tidak termasuk hak atas sumber daya alam yang berada di bawah tanah. Sebab,
sesuai ketentuan hukum, kekayaan alam yang terkandung dalam bumi tidak
termasuk dalam kewenangan pemegang hak atas tanah di atasnya.
Namun,
sesuai asas pengakuan terhadap MHA, jika sumber daya alam di dalam bumi
berada dalam wilayahnya, MHA harus diberi hak untuk memperoleh informasi,
persetujuan tanpa paksaan, dan hak
untuk memperoleh manfaat serta pembagian keuntungan dari alokasi dan
pemanfaatan pengelolaan sumber daya alam tersebut. Hal ini sesuai dengan
prinsip yang sudah diterapkan secara global, yakni prinsip FPIC (Free, Prior, and Informed Consent).
Sayangnya prinsip ini belum sepenuhnya tercantum dalam UU terkait.
Pengakuan
atas hak-hak MHA memang telah diatur dalam UUPA No 5/1960. Namun, pengakuan
itu dinilai setengah hati karena disertai syarat. Pengakuan dengan syarat ini
menunjukkan bahwa negara secara sepihak menetapkan syarat pengakuan hak
ulayat tanpa melalui penelitian menyeluruh terhadap berbagai MHA di
Indonesia. Dalam Pasal 3 UUPA, pengakuan hak ulayat dibatasi pada dua hal,
yakni eksistensi dan pelaksanaannya.
Namun,
UUPA tidak memberikan kriteria mengenai keberadaan hak ulayat. Alasan para
perancang dan pembentuk UUPA untuk tak mengatur tentang hak ulayat adalah
karena pengaturan hak ulayat, baik dalam penentuan kriteria eksistensinya
maupun pendaftarannya, akan melestarikan keberadaan hak ulayat, sedangkan
secara alamiah terdapat kecenderungan melemahnya hak ulayat (Boedi Harsono, 1999).
Penyelesaian masalah hak ulayat
Menurut
pakar hukum agraria Maria SW Sumardjono, ketiadaan kriteria persyaratan hak
ulayat dalam kenyataannya justru merupakan salah satu faktor yang berpengaruh
terhadap marjinalisasi MHA. Tanpa ada kriteria obyektif, pihak (pemerintah
atau swasta) yang berhadapan dengan MHA dapat secara sepihak menafikan
keberadaan MHA. Secara obyektif, posisi tawar MHA berhadapan dengan pihak
yang posisinya lebih kuat dari segi politik ataupun modal jelas tak seimbang.
Lebih
dari 30 tahun setelah UUPA Tahun 1960, barulah terbit Peraturan Menteri
Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang
Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Peraturan
tersebut menetapkan kriteria keberadaan dan hak ulayat berkenaan dengan
subyek, obyek, dan kewenangannya.
Berbeda
dengan UUPA yang mengatur bahwa hak ulayat mencakup tanah dan isinya
(termasuk hutan), UU Kehutanan No 41/1999 (UUK) hanya mengakui hutan negara
dan hutan hak, sementara hutan adat dimasukkan dalam kategori hutan negara.
Pasal 1 Angka 6 UUK menyatakan, ”Hutan adat adalah hutan negara yang berada
dalam wilayah masyarakat hukum adat”. Baru setelah uji materi atas UUK
tersebut melalui Keputusan Mahkamah Konstitusi No 35/PUU-X/2012, pasal yang menafikan hak
MHA direvisi dan dipulihkan. Oleh MK, pasal itu diubah menjadi: ”Hutan adat
adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”.
Sesuai
pengertian tanah ”plus” dan asas pemisahan horizontal, hak ulayat MHA
meliputi segala sesuatu yang berada di atasnya. Putusan MK terkait hutan adat
juga merefleksikan asas pemisahan horizontal, dalam wilayah adat jika di
atasnya terdapat hutan, maka hutan tersebut merupakan hutan adat.
Selama
ini hutan adat yang diakui pemerintah adalah hutan desa atau hutan tanaman
rakyat, yang luasannya dibatasi, padahal luasan hutan masyarakat adat jauh
lebih luas dari itu. Data dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara sampai
November 2012 mengidentifikasikan adanya 2,4 juta hektar wilayah adat yang
telah dimasukkan ke dalam 265 Peta Wilayah Adat.
Sementara
dari hasil kerja Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif yang telah memetakan
wilayah seluas 5.263.058,28 hektar, diketahui yang termasuk wilayah adat
seluas 4.973.711,79 hektar. Namun, dari jumlah itu tinggal 19 persen yang
dikelola masyarakat adat, sisanya 81 persen di bawah Kementerian Kehutanan (Kompas, 1 Februari 2014).
Pergeseran penguasaan ke swasta
Proses
pengambilalihan hak-hak MHA untuk kepentingan swasta melalui penerbitan izin
negara semakin menguatkan kecenderungan pergeseran penguasaan sumber daya
dari masyarakat adat ke penguasaan oleh swasta. Sebagai contoh dalam
penguasaan lahan untuk perkebunan sawit, data yang dihimpun Sawit Watch
menunjukkan sampai Juni 2010 pemerintah telah memberikan izin 9,4 juta hektar
hutan kepada perkebunan sawit dan diperkirakan akan mencapai 26,7 juta hektar
pada 2020 (Kompas, 14/1/2012).
Dari
data Konsorsium Pembaruan Agraria, pada tahun 2013 telah terjadi 369 konflik
agraria, tiga kali lipat dibandingkan dengan tahun 2009 (Kompas, 30/1/2014). Sepanjang tahun 2013 telah terjadi konflik
sosial melibatkan 150 masyarakat adat dengan pihak perkebunan kelapa sawit di
Sumatera. Konflik serupa melibatkan 96 komunitas lokal di Kaltim, 94
komunitas di Kalbar, dan 56 komunitas di Kalteng (Kompas, 23/12/2013). Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas
HAM) menemukan indikasi pelanggaran HAM terhadap MHA dalam proses penetapan
kawasan hutan dan realitas pengurusan kehutanan di Indonesia. Menurut Komnas
HAM, pemberian izin konsesi bagi kelompok usaha besar bidang tanaman industri
dan perkebunan berdampak konflik dengan masyarakat. Akibatnya, terjadi
pelanggaran hak hidup, hak atas rasa aman, dan hak atas kesejahteraan
masyarakat adat (Kompas, 3/2/2014).
Salah
satu penyebab yang juga ikut menimbulkan konflik adalah tidak adanya peta
wilayah yang mengatur batas-batas tanah ulayat yang diatur dengan peraturan
perundang-undangan. Pentingnya peta wilayah adat antara lain untuk
menghindari konflik terkait batas wilayah. Sebagai contoh, sengketa wilayah
adat antara Desa Muara Tae dan warga Desa Muara Ponaq, Kabupaten Kutai Barat,
terkait pembelian tanah warga untuk usaha perkebunan oleh PT MJP (Kompas, 25 Juni 2012). Pemetaan
wilayah adat akan sangat membantu pekerjaan besar pemerintah untuk
menuntaskan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Indonesia, baik yang
berstatus tanah negara, tanah perseorangan/badan hukum, maupun tanah ulayat dari
MHA, sekaligus mencegah terjadinya konflik-konflik agraris baru. Pemetaan
wilayah adat merupakan konsekuensi atas pengakuan negara atas keberadaan MHA
setelah putusan MK.
Keputusan
MK Nomor 35/PUU-X/2012 Mei 2013 telah memulihkan kembali hak-hak MHA atas
hutan adat. Keputusan ini tonggak penting yang akan mengawali perjuangan untuk memulihkan status MHA sebagai subyek
hukum tersendiri dan sebagai pemilik dari wilayah adatnya. Namun, keputusan
itu belum mencukupi sebab hingga saat ini belum ada UU yang secara khusus
mengatur mekanisme pengidentifikasian dan pengukuhan status MHA, serta
jaminan atas hak-hak mereka. Sebelum UU itu lahir, MK menegaskan pengukuhan
MHA beserta hak-haknya dapat dilakukan melalui peraturan daerah (perda) dan
peraturan pemerintah (PP). Namun, masih disangsikan, seberapa jauh kepedulian
pemerintah pusat dan daerah untuk mengatur eksistensi MHA dan hak ulayat
melalui PP dan perda.
Setelah
keputusan MK ini, muncul berbagai isu hukum yang belum dapat terjawab dengan
konstruksi hukum yang ada saat ini. Di antaranya menyangkut mekanisme
identifikasi MHA; mekanisme pengalihan dan penyewaan hak atas hutan adat
kepada pihak lain; dan bagaimana bentuk kompensasi yang adil bagi MHA yang
tanah ulayatnya telah diambil pihak lain. Berbagai isu hukum di atas perlu
dicari jawabannya untuk mendapat jaminan keadilan dan kepastian hukum, juga
karena semua itu berpotensi menimbulkan konflik agraris baru. DPR periode
2009-2014 telah berinisiatif menyusun
RUU tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat, tetapi
hingga kini belum terselesaikan.
Mengingat eksistensi MHA masih diatur secara parsial, diharapkan RUU
ini dapat menjadi lex generalis bagi peraturan perundang-undangan lainnya
yang terkait, sekaligus payung hukum yang memberikan perlindungan kepada MHA.
Ini merupakan amanat konstitusi Pasal 18B Ayat (2) yang mengharuskan adanya
UU tentang MHA. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar