Rabu, 10 Desember 2014

Payung Hukum Masyarakat Adat

                              Payung Hukum Masyarakat Adat

Manuel Kaisiepo  ;   Anggota Pansus RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat, DPR Periode 2009-2014
KOMPAS,  09 Desember 2014

                                                                                                                       


ADANYA peta wilayah merupakan unsur penting dalam mekanisme penyelesaian konflik agraris. Karena itu, agak melegakan bahwa baru-baru ini Badan Pengelola REDD+ menawarkan diri menjadi wali data dalam pembuatan peta wilayah masyarakat hukum adat (MHA) agar konflik antara MHA dan pemegang konsesi lahan perkebunan besar , yang wilayahnya tak jarang menggusur tanah adat, dapat dihindari (Kompas, 13 November 2014).

Pengalaman selama ini menunjukkan, dalam konflik agraris, MHA selalu dalam posisi lemah. Padahal, MHA memiliki kedudukan kuat karena telah ditegaskan dalam konstitusi. Pasal 18B Ayat (2) UUD 1945 menyebutkan, ”Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang”.

Eksistensi dan hak MHA itu bukanlah sesuatu yang diberikan oleh negara karena hal itu sudah ada bahkan sebelum negara terbentuk. Jadi, ketika keberadaan MHA dan hak-haknya diakui dalam konstitusi serta berbagai peraturan hukum lainnya, hal itu bersifat declaratoir. Bahkan, tidak hanya di Indonesia, di dunia pun eksistensi dan hak-hak MHA diakui.

Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) September 2007 menyatakan bahwa MHA memiliki hak atas akses untuk memperoleh keputusan secara cepat melalui prosedur-prosedur yang adil dan disetujui secara bersama dalam menyelesaikan sengketa dengan negara dan pihak-pihak lain, serta bagi pemulihan yang efektif atas pelanggaran hak-hak individual dan kolektif mereka. Keputusan itu harus mempertimbangkan adat, tradisi, peraturan, dan sistem hukum masyarakat adat tersebut (Pasal 40 United Nations Declaration on the Rights of Indigenous People).

Namun, jaminan dalam konstitusi belum diikuti peraturan perundang-undangan  yang secara nyata memberikan perlindungan kepada MHA. Kedudukan MHA untuk pertama kali dicantumkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria (UUPA). Lama sesudah itu barulah muncul sejumlah UU lain, khususnya UU di bidang sumber daya alam yang ikut mengatur kedudukan MHA. Namun, pengaturan hak MHA dalam berbagai UU itu dilakukan secara sektoral, dengan mengatur MHA menurut kepentingan sektoralnya sendiri, tanpa sungguh-sungguh berpihak, bahkan cenderung meredusirnya. Sebagian UU itu juga  mengabaikan aspek konservasi, sebaliknya berkarakter eksploitatif dan pro kapital.

Ketiadaan payung hukum yang memberikan jaminan kepada MHA mengakibatkan kedudukannya lemah ketika terjadi sengketa klaim atas tanah, hutan, atau sumber daya alam lainnya, bahkan sering mengalami diskriminasi disertai kriminalisasi dan kekerasan.

Meminjam rumusan Gibbs dan Bromley (1989) tentang rezim property rights di bidang sumber daya alam, dapat ditunjukkan bahwa sumber daya alam di Indonesia yang dahulu dikuasai masyarakat adat (traditional common property) telah bergeser ke penguasaan oleh negara (state property), dan kini (terutama) penguasaan oleh korporasi swasta (private property).

Salah satu hak penting MHA adalah hak ulayat. Di beberapa daerah, hak ulayat itu tidak saja mencakup tanah, tetapi juga hak atas laut dan hak atas perairan, yang memang merupakan hak properti umum (common property rights). Sebagai catatan, UU No 31/2004 tentang Perikanan dan UU No 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil memang telah mencantumkan eksistensi MHA, tetapi belum disertai pengaturan tegas mengenai hak-hak mereka.

Hak ulayat juga berkaitan dengan hubungan hukum antara MHA dan tanah dalam lingkungan wilayahnya. Pengertian ”tanah dan lingkungan wilayahnya”—dengan memakai konsepsi Ter Haar tentang ”tanah plus”—mencakup kewenangan MHA atas tanah, termasuk isinya, yakni perairan, hutan, dan satwa liar dalam wilayahnya yang menjadi sumber mata pencariannya. Namun, pengertian ”tanah plus” ini hanya mencakup sumber daya alam yang terdapat di atas tanah dan tidak termasuk hak atas sumber daya alam yang berada di bawah tanah. Sebab, sesuai ketentuan hukum, kekayaan alam yang terkandung dalam bumi tidak termasuk dalam kewenangan pemegang hak atas tanah di atasnya.

Namun, sesuai asas pengakuan terhadap MHA, jika sumber daya alam di dalam bumi berada dalam wilayahnya, MHA harus diberi hak untuk memperoleh informasi, persetujuan tanpa paksaan,  dan hak untuk memperoleh manfaat serta pembagian keuntungan dari alokasi dan pemanfaatan pengelolaan sumber daya alam tersebut. Hal ini sesuai dengan prinsip yang sudah diterapkan secara global, yakni prinsip FPIC (Free, Prior, and Informed Consent). Sayangnya prinsip ini belum sepenuhnya tercantum dalam UU terkait.

Pengakuan atas hak-hak MHA memang telah diatur dalam UUPA No 5/1960. Namun, pengakuan itu dinilai setengah hati karena disertai syarat. Pengakuan dengan syarat ini menunjukkan bahwa negara secara sepihak menetapkan syarat pengakuan hak ulayat tanpa melalui penelitian menyeluruh terhadap berbagai MHA di Indonesia. Dalam Pasal 3 UUPA, pengakuan hak ulayat dibatasi pada dua hal, yakni eksistensi dan pelaksanaannya.

Namun, UUPA tidak memberikan kriteria mengenai keberadaan hak ulayat. Alasan para perancang dan pembentuk UUPA untuk tak mengatur tentang hak ulayat adalah karena pengaturan hak ulayat, baik dalam penentuan kriteria eksistensinya maupun pendaftarannya, akan melestarikan keberadaan hak ulayat, sedangkan secara alamiah terdapat kecenderungan melemahnya hak ulayat (Boedi Harsono, 1999).

Penyelesaian masalah hak ulayat

Menurut pakar hukum agraria Maria SW Sumardjono, ketiadaan kriteria persyaratan hak ulayat dalam kenyataannya justru merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap marjinalisasi MHA. Tanpa ada kriteria obyektif, pihak (pemerintah atau swasta) yang berhadapan dengan MHA dapat secara sepihak menafikan keberadaan MHA. Secara obyektif, posisi tawar MHA berhadapan dengan pihak yang posisinya lebih kuat dari segi politik ataupun modal jelas tak seimbang.

Lebih dari 30 tahun setelah UUPA Tahun 1960, barulah terbit Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Peraturan tersebut menetapkan kriteria keberadaan dan hak ulayat berkenaan dengan subyek, obyek, dan kewenangannya.

Berbeda dengan UUPA yang mengatur bahwa hak ulayat mencakup tanah dan isinya (termasuk hutan), UU Kehutanan No 41/1999 (UUK) hanya mengakui hutan negara dan hutan hak, sementara hutan adat dimasukkan dalam kategori hutan negara. Pasal 1 Angka 6 UUK menyatakan, ”Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”. Baru setelah uji materi atas UUK tersebut melalui Keputusan Mahkamah Konstitusi  No 35/PUU-X/2012, pasal yang menafikan hak MHA direvisi dan dipulihkan. Oleh MK, pasal itu diubah menjadi: ”Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”.

Sesuai pengertian tanah ”plus” dan asas pemisahan horizontal, hak ulayat MHA meliputi segala sesuatu yang berada di atasnya. Putusan MK terkait hutan adat juga merefleksikan asas pemisahan horizontal, dalam wilayah adat jika di atasnya terdapat hutan, maka hutan tersebut merupakan hutan adat.

Selama ini hutan adat yang diakui pemerintah adalah hutan desa atau hutan tanaman rakyat, yang luasannya dibatasi, padahal luasan hutan masyarakat adat jauh lebih luas dari itu. Data dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara sampai November 2012 mengidentifikasikan adanya 2,4 juta hektar wilayah adat yang telah dimasukkan ke dalam 265 Peta Wilayah Adat.      

Sementara dari hasil kerja Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif yang telah memetakan wilayah seluas 5.263.058,28 hektar, diketahui yang termasuk wilayah adat seluas 4.973.711,79 hektar. Namun, dari jumlah itu tinggal 19 persen yang dikelola masyarakat adat, sisanya 81 persen di bawah Kementerian Kehutanan (Kompas, 1 Februari 2014).

Pergeseran penguasaan ke swasta

Proses pengambilalihan hak-hak MHA untuk kepentingan swasta melalui penerbitan izin negara semakin menguatkan kecenderungan pergeseran penguasaan sumber daya dari masyarakat adat ke penguasaan oleh swasta. Sebagai contoh dalam penguasaan lahan untuk perkebunan sawit, data yang dihimpun Sawit Watch menunjukkan sampai Juni 2010 pemerintah telah memberikan izin 9,4 juta hektar hutan kepada perkebunan sawit dan diperkirakan akan mencapai 26,7 juta hektar pada 2020 (Kompas, 14/1/2012).

Dari data Konsorsium Pembaruan Agraria, pada tahun 2013 telah terjadi 369 konflik agraria, tiga kali lipat dibandingkan dengan tahun 2009 (Kompas, 30/1/2014). Sepanjang tahun 2013 telah terjadi konflik sosial melibatkan 150 masyarakat adat dengan pihak perkebunan kelapa sawit di Sumatera. Konflik serupa melibatkan 96 komunitas lokal di Kaltim, 94 komunitas di Kalbar, dan 56 komunitas di Kalteng (Kompas, 23/12/2013). Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menemukan indikasi pelanggaran HAM terhadap MHA dalam proses penetapan kawasan hutan dan realitas pengurusan kehutanan di Indonesia. Menurut Komnas HAM, pemberian izin konsesi bagi kelompok usaha besar bidang tanaman industri dan perkebunan berdampak konflik dengan masyarakat. Akibatnya, terjadi pelanggaran hak hidup, hak atas rasa aman, dan hak atas kesejahteraan masyarakat adat (Kompas, 3/2/2014).

Salah satu penyebab yang juga ikut menimbulkan konflik adalah tidak adanya peta wilayah yang mengatur batas-batas tanah ulayat yang diatur dengan peraturan perundang-undangan. Pentingnya peta wilayah adat antara lain untuk menghindari konflik terkait batas wilayah. Sebagai contoh, sengketa wilayah adat antara Desa Muara Tae dan warga Desa Muara Ponaq, Kabupaten Kutai Barat, terkait pembelian tanah warga untuk usaha perkebunan oleh PT MJP (Kompas, 25 Juni 2012). Pemetaan wilayah adat akan sangat membantu pekerjaan besar pemerintah untuk menuntaskan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Indonesia, baik yang berstatus tanah negara, tanah perseorangan/badan hukum, maupun tanah ulayat dari MHA, sekaligus mencegah terjadinya konflik-konflik agraris baru. Pemetaan wilayah adat merupakan konsekuensi atas pengakuan negara atas keberadaan MHA setelah putusan MK.

Keputusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 Mei 2013 telah memulihkan kembali hak-hak MHA atas hutan adat. Keputusan ini tonggak penting yang akan mengawali perjuangan  untuk memulihkan status MHA sebagai subyek hukum tersendiri dan sebagai pemilik dari wilayah adatnya. Namun, keputusan itu belum mencukupi sebab hingga saat ini belum ada UU yang secara khusus mengatur mekanisme pengidentifikasian dan pengukuhan status MHA, serta jaminan atas hak-hak mereka. Sebelum UU itu lahir, MK menegaskan pengukuhan MHA beserta hak-haknya dapat dilakukan melalui peraturan daerah (perda) dan peraturan pemerintah (PP). Namun, masih disangsikan, seberapa jauh kepedulian pemerintah pusat dan daerah untuk mengatur eksistensi MHA dan hak ulayat melalui PP dan perda. 

Setelah keputusan MK ini, muncul berbagai isu hukum yang belum dapat terjawab dengan konstruksi hukum yang ada saat ini. Di antaranya menyangkut mekanisme identifikasi MHA; mekanisme pengalihan dan penyewaan hak atas hutan adat kepada pihak lain; dan bagaimana bentuk kompensasi yang adil bagi MHA yang tanah ulayatnya telah diambil pihak lain. Berbagai isu hukum di atas perlu dicari jawabannya untuk mendapat jaminan keadilan dan kepastian hukum, juga karena semua itu berpotensi menimbulkan konflik agraris baru. DPR periode 2009-2014 telah berinisiatif  menyusun RUU tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat, tetapi hingga kini belum terselesaikan.

Mengingat eksistensi MHA masih diatur secara parsial, diharapkan RUU ini dapat menjadi lex generalis bagi peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait, sekaligus payung hukum yang memberikan perlindungan kepada MHA. Ini merupakan amanat konstitusi Pasal 18B Ayat (2) yang mengharuskan adanya UU tentang MHA.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar