Rabu, 10 Desember 2014

Bangsa Tukang Keplok

                                             Bangsa Tukang Keplok

 Indra Tranggono  ;   Pemerhati Kebudayaan
KOMPAS,  09 Desember 2014

                                                                                                                       


INDUSTRI hiburan di televisi sangat membutuhkan tukang keplok ”profesional”. Para suporter ini dibayar dan diwajibkan untuk tepuk tangan dan tertawa sehingga acara bincang-bincang atau lawak tampak meriah meskipun sebenarnya tidak lucu, apalagi cerdas.

Hampir tak ada yang otentik dalam industri hiburan di televisi. Semua serba direkayasa demi lakunya komoditas. Para juru keplok yang dikoordinasi agen ini benar-benar jadi alat untuk menyemangati para penampil dan memancing tawa penonton lain. Namun, penonton bukan tertawa dan terhibur, tetapi justru ”terharu” melihat juru keplok dan para penampil yang bersusah payah untuk lucu.

Sama terharunya merasakan nasib bangsa ini yang juga tak lebih dari juru keplok dan tawa dalam pementasan industri politik, baik di level nasional maupun internasional. Bedanya, juru keplok di sini tak dibayar, malah diwajibkan membayar, baik dengan uang maupun dengan berbagai kesusahan hidup.

Pada masa pemilihan presiden lalu, bangsa ini ramai-ramai digiring menjadi juru keplok bagi politisi-politisi yang berkontestasi. Favoritisme dan dukungan atas capres pun merebak, bahkan nyaris menimbulkan benturan besar antarsuporter. Tidak hanya masyarakat akar rumput yang terlibat, tetapi juga intelektual lintas bidang dan profesi.

Setiap pihak larut dalam kegandrungan pada tokoh idola. Pihak yang satu menganggap idolanya tak beda dengan ”penyelamat bangsa” dari hegemoni kekuatan asing. Adapun pihak yang lain menganggap tokoh idolanya adalah sosok ”pembawa perubahan dan harapan baru”, nyaris seperti ”ratu adil”.

Namun, semua berakhir antiklimaks. Kemunculan presiden terpilih dan  kabinetnya cenderung ”anyep” alias dingin. Rakyat pun menunggu pembuktian janji menciptakan perubahan dan menghadirkan harapan baru. Mendadak rakyat disuguhi kebijakan klasik: pencabutan subsidi dan kenaikan harga bahan bakar minyak.

Kelas menengah yang tetap bisa survive dalam kondisi apa pun kontan mendukung kebijakan itu. Bahkan, mereka memberikan keplok hangat. Bagi mereka, pilihan presiden baru menaikkan harga bahan bakar minyak merupakan keberanian khas ksatria konstitusi atau keberanian seorang negarawan yang tanggap terhadap dinamika ekonomi dunia. Tak peduli harga-harga kebutuhan pokok ikut melambung.

Bangsa juru keplok adalah bangsa yang rapuh dan gampang direkayasa mesin pencipta kekaguman. Mesin yang dikendalikan teknokrat, birokrat, kaum pemodal, akademisi partisan atau profesional pengarah mindset massa dan kaum pemasar ini bekerja untuk melahirkan ikon-ikon kekaguman yang mampu mengguncang kognisi dan afeksi publik. Agendanya jelas: raihan dukungan besar dan masih demi mendapatkan kekuasaan ekonomi, politik, sosial, dan budaya.

Harus diakhiri

Banyak orang lupa politik adalah dunia kemungkinan, bukan dunia kepastian. Dunia kemungkinan meniscayakan politik tak lebih perjudian nasib seseorang atau kelompok, bahkan bangsa, dalam berbagai tarikan kepentingan yang berujung pada kemenangan atau kekalahan. Keberuntungan sering ”tidak berlaku” akibat sistem permainan yang sudah diatur dan ditentukan oleh kekuatan modal dan kepentingan ideologis, baik skala nasional maupun internasional.

Dalam dunia yang sudah terpecah-pecah dan mengalami detotalisasi nilai-nilai akibat menguatnya materialisme dan pragmatisme, mitos-mitos tentang ”ratu adil”, pemimpin pro rakyat, pro konstitusi, dan pro kemanfaatan publik cenderung kurang berlaku. Ini terjadi karena dunia memang didesain hanya untuk melayani kepentingan para pemodal kuat melalui penerapan prinsip-prinsip kapitalisme dan ekonomi neoliberal.

Bisakah dalam kepungan kekuatan ekonomi neoliberal ini kita memperjuangkan semangat hidup komunal, kepentingan khalayak dan nasib ”kaum marhaen”, serta konsep Trisakti (kedaulatan politik, kemandirian ekonomi, dan kepribadian kebudayaan)? Jargon-jargon mulia itu cenderung hanya berhenti sebagai jagat kata dan sulit tertransformasi menjadi realitas. Ini menunjukkan, siapa pun yang menjadi presiden kita sulit berbuat banyak dalam tekanan ekonomi neoliberal yang ganas itu.

Di tengah ketidakberdayaan ekonomi, politik, sosial, dan budaya, rakyat tergiring ke dalam kubangan konsumerisme dan dipaksa bangga jadi bangsa konsumen plus juru keplok pasar bebas.

Mengubah paradigma bangsa konsumtif menjadi bangsa produktif bisa dimulai dari kesadaran atas harkat dan martabat kita sebagai bangsa yang bangga dan mau membela nilai-nilai kebudayaan kita, sekaligus mengaktualisasikannya dalam realitas. Problem besar kita adalah tidak percaya diri dan tak bangga pada kebudayaan sendiri. Akibatnya, kita hanya jadi juru keplok dan konsumen dalam gegap gempita pasar bebas. Tragisnya, kita tak lebih dari tukang keplok yang tombok: tombok kebudayaan, tombok Tanah Air. Menjadi bangsa tukang keplok memang harus diakhiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar