Bangsa
Tukang Keplok
Indra Tranggono ; Pemerhati Kebudayaan
|
KOMPAS,
09 Desember 2014
INDUSTRI hiburan di televisi sangat membutuhkan tukang keplok
”profesional”. Para suporter ini dibayar dan diwajibkan untuk tepuk tangan
dan tertawa sehingga acara bincang-bincang atau lawak tampak meriah meskipun
sebenarnya tidak lucu, apalagi cerdas.
Hampir tak ada yang otentik dalam industri hiburan di televisi.
Semua serba direkayasa demi lakunya komoditas. Para juru keplok yang
dikoordinasi agen ini benar-benar jadi alat untuk menyemangati para penampil
dan memancing tawa penonton lain. Namun, penonton bukan tertawa dan terhibur,
tetapi justru ”terharu” melihat juru keplok dan para penampil yang bersusah
payah untuk lucu.
Sama terharunya merasakan nasib bangsa ini yang juga tak lebih
dari juru keplok dan tawa dalam pementasan industri politik, baik di level
nasional maupun internasional. Bedanya, juru keplok di sini tak dibayar,
malah diwajibkan membayar, baik dengan uang maupun dengan berbagai kesusahan
hidup.
Pada masa pemilihan presiden lalu, bangsa ini ramai-ramai
digiring menjadi juru keplok bagi politisi-politisi yang berkontestasi.
Favoritisme dan dukungan atas capres pun merebak, bahkan nyaris menimbulkan
benturan besar antarsuporter. Tidak hanya masyarakat akar rumput yang
terlibat, tetapi juga intelektual lintas bidang dan profesi.
Setiap pihak larut dalam kegandrungan pada tokoh idola. Pihak
yang satu menganggap idolanya tak beda dengan ”penyelamat bangsa” dari
hegemoni kekuatan asing. Adapun pihak yang lain menganggap tokoh idolanya
adalah sosok ”pembawa perubahan dan harapan baru”, nyaris seperti ”ratu
adil”.
Namun, semua berakhir antiklimaks. Kemunculan presiden terpilih
dan kabinetnya cenderung ”anyep” alias
dingin. Rakyat pun menunggu pembuktian janji menciptakan perubahan dan
menghadirkan harapan baru. Mendadak rakyat disuguhi kebijakan klasik:
pencabutan subsidi dan kenaikan harga bahan bakar minyak.
Kelas menengah yang tetap bisa survive dalam kondisi apa pun
kontan mendukung kebijakan itu. Bahkan, mereka memberikan keplok hangat. Bagi
mereka, pilihan presiden baru menaikkan harga bahan bakar minyak merupakan
keberanian khas ksatria konstitusi atau keberanian seorang negarawan yang
tanggap terhadap dinamika ekonomi dunia. Tak peduli harga-harga kebutuhan
pokok ikut melambung.
Bangsa juru keplok adalah bangsa yang rapuh dan gampang
direkayasa mesin pencipta kekaguman. Mesin yang dikendalikan teknokrat,
birokrat, kaum pemodal, akademisi partisan atau profesional pengarah mindset
massa dan kaum pemasar ini bekerja untuk melahirkan ikon-ikon kekaguman yang
mampu mengguncang kognisi dan afeksi publik. Agendanya jelas: raihan dukungan
besar dan masih demi mendapatkan kekuasaan ekonomi, politik, sosial, dan
budaya.
Harus diakhiri
Banyak orang lupa politik adalah dunia kemungkinan, bukan dunia
kepastian. Dunia kemungkinan meniscayakan politik tak lebih perjudian nasib
seseorang atau kelompok, bahkan bangsa, dalam berbagai tarikan kepentingan
yang berujung pada kemenangan atau kekalahan. Keberuntungan sering ”tidak
berlaku” akibat sistem permainan yang sudah diatur dan ditentukan oleh
kekuatan modal dan kepentingan ideologis, baik skala nasional maupun
internasional.
Dalam dunia yang sudah terpecah-pecah dan mengalami detotalisasi
nilai-nilai akibat menguatnya materialisme dan pragmatisme, mitos-mitos
tentang ”ratu adil”, pemimpin pro rakyat, pro konstitusi, dan pro kemanfaatan
publik cenderung kurang berlaku. Ini terjadi karena dunia memang didesain
hanya untuk melayani kepentingan para pemodal kuat melalui penerapan
prinsip-prinsip kapitalisme dan ekonomi neoliberal.
Bisakah dalam kepungan kekuatan ekonomi neoliberal ini kita
memperjuangkan semangat hidup komunal, kepentingan khalayak dan nasib ”kaum
marhaen”, serta konsep Trisakti (kedaulatan politik, kemandirian ekonomi, dan
kepribadian kebudayaan)? Jargon-jargon mulia itu cenderung hanya berhenti
sebagai jagat kata dan sulit tertransformasi menjadi realitas. Ini
menunjukkan, siapa pun yang menjadi presiden kita sulit berbuat banyak dalam
tekanan ekonomi neoliberal yang ganas itu.
Di tengah ketidakberdayaan ekonomi, politik, sosial, dan budaya,
rakyat tergiring ke dalam kubangan konsumerisme dan dipaksa bangga jadi
bangsa konsumen plus juru keplok pasar bebas.
Mengubah paradigma bangsa konsumtif menjadi bangsa produktif
bisa dimulai dari kesadaran atas harkat dan martabat kita sebagai bangsa yang
bangga dan mau membela nilai-nilai kebudayaan kita, sekaligus mengaktualisasikannya
dalam realitas. Problem besar kita adalah tidak percaya diri dan tak bangga
pada kebudayaan sendiri. Akibatnya, kita hanya jadi juru keplok dan konsumen
dalam gegap gempita pasar bebas. Tragisnya, kita tak lebih dari tukang keplok
yang tombok: tombok kebudayaan, tombok Tanah Air. Menjadi bangsa tukang
keplok memang harus diakhiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar