Dilema
“E-Voting”
Didik Supriyanto ; Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi
|
KOMPAS,
09 Desember 2014
BERBICARA
peran perangkat elektronik dalam proses pemilu dikenal dua istilah: e-voting
dan e-counting. E-voting adalah pemberian suara melalui perangkat elektronik
sehingga pilihan pemilih otentik serta mudah dan cepat dihitung. Sementara
e-counting adalah penghitungan suara melalui perangkat elektronik sehingga
proses penghitungan suara berlangsung cepat dan hasilnya akurat. Ketika
bicara e-voting, aspek e-counting sudah tercakup; sedangkan e-counting tak
meliputi teknis pemberian suara.
Dipicu
oleh Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2014
tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, pembahasan e-voting
kembali bergairah.
Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) menyatakan sudah menyiapkan
perangkat yang bisa digunakan dalam pemilihan kepala daerah (pilkada)
mendatang. Perangkat tersebut sudah berhasil dipraktikkan dalam pemilihan
kepala desa di Musi Rawas (Sumatera Selatan), Boyolali (Jawa Tengah), dan
Jembrana (Bali). Karena itu, bupati di tiga daerah itu menyatakan siap
menggelar pilkada dengan e-voting (Kompas,
14/11).
Hilangnya kegembiraan politik
Saya
tidak meragukan kemampuan BPPT atau pihak lain dalam menyiapkan perangkat
e-voting yang akurat, ramah, sekaligus praktis. Saya juga tidak ragu atas
komitmen mereka untuk membangun demokrasi sehat melalui pemilu murah. Namun, semua
pihak harus tetap berhati-hati merealisasikan gagasan ini.
Masalahnya
tidak hanya pada kesiapan teknis peralatan, keterampilan penyelenggara,
pengetahuan pemilih, serta mental elite partai dan calon, tetapi juga
kesiapan masyarakat untuk move on
dari pemilu yang ”ramai” ke pemilu yang ”sepi” di tempat pemungutan suara
(TPS).
Pertama,
pada hari-H pemilu, TPS sesungguhnya bukan sekadar tempat pemilih memberikan
suara. TPS juga bukan sekadar arena kontestasi terakhir yang harus dilalui
partai politik dan calon untuk memenangi pemilihan. TPS adalah tempat
interaksi sosial karena tidak setiap hari warga bisa bertatap muka, bertegur
sapa, dan mengobrol. Ini tidak hanya terjadi di perkotaan, tetapi juga di
desa-desa, di pantai, daratan, ataupun di pegunungan. Mereka yang hadir
menyadari tengah melakukan ”ritual politik” lima tahunan meski dalam
interaksi itu tidak melulu bicara politik.
Interaksi
sosial itu akan menghilang, atau setidaknya berkurang, ketika e-voting
diterapkan. Tidak ada lagi orang saling bertanya dan menjelaskan tentang
ada-tidaknya nama dalam daftar pemilih, bagaimana mendaftar dan masuk
antrean, juga bagaimana memberikan suara karena semua pertanyaan itu
jawabannya cuma satu: e-KTP. Karena proses pemungutan suara berlangsung
cepat, tidak perlu antre dan minta penjelasan macam-macam, warga juga
bergerak cepat di TPS. Selesai memilih, mereka bisa langsung pulang. Tidak
ada perbincangan, tidak ada senda gurau soal pilihan, juga hilang kesadaran
bahwa mereka baru saja melakukan ”ritual politik” lima tahunan.
Kedua,
TPS telah menjadi arena politik tempat warga mengembangkan toleransi dan
memaknai perbedaan pilihan politik. Hal ini terjadi terutama ketika
berlangsung penghitungan suara. Ketika satu per satu surat suara dipampangkan
petugas, lalu disaksikan dan dihitung bersama, ketegangan politik selama masa
kampanye lumer.
Selama
mengikuti penghitungan suara, warga bersenda gurau tentang nasib partai atau
calon jagoannya. Saksi-saksi boleh saja bersitegang, tetapi ketegangan itu
tak berujung keributan karena melalui celetukan dan sindiran, warga
mengembangkan nilai-nilai kejujuran dan toleransi. Setelah semua suara
direkap, warga memiliki peta politik hasil pemilu, yang diikuti kesadaran
untuk menerima siapa pun yang menang.
Kejujuran dan toleransi
Jika
e-voting diterapkan, jangan harap kegembiraan politik yang disokong
nila-nilai kejujuran dan toleransi itu bertahan. Di TPS, e-voting menjadikan
pemilu senyap. Tidak ada lagi proses penghitungan suara yang diikuti warga,
tidak ada lagi senda gurau, dan tentu saja tidak ada lagi pengembangan
nilai-nilai kejujuran dan toleransi.
Sebab,
setelah pemungutan suara ditutup, petugas akan mengoperasikan perangkat, yang
dalam hitungan detik, hasil penghitungan suara langsung diketahui. Dalam
situasi seperti ini, e-voting tidak hanya menghilangkan kegembiraan politik,
tetapi juga justru menimbulkan ketegangan. Sebab, warga ataupun saksi yang
merasa partai atau calonnya akan menang secara tiba-tiba harus menghadapi
kenyataan pahit: kalah.
Saya
menghargai sikap Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang tidak terburu-buru
menerapkan e-voting. Namun, sejauh ini sikap KPU lebih didasari pada
pertimbangan kesiapan perangkat, petugas, pemilih, partai politik dan calon.
Lembaga ini belum mengeksplorasi lebih jauh tentang kemungkinan hilangnya
kegembiraan politik yang bernilai kejujuran dan toleransi saat pemungutan dan
penghitungan suara di TPS. Padahal, kedewasaan politik warga itulah yang
menjadikan politik kita tetap beradab, berkebalikan dengan perilaku
wakil-wakil mereka di DPR.
Belajar
dari kekisruhan pemilu-pemilu sebelumnya, masalah pokok pemilu sesungguhnya
terjadi dalam proses rekapitulasi hasil penghitungan suara di Panitia
Pemungutan Suara (PPS) dan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK). Di sanalah
sering terjadi kasus pengubahan hasil penghitungan suara karena suara yang
diperoleh partai atau calon tertentu dikurangi atau dialihkan ke partai atau
calon lain. Selama ini nyaris tidak ada komplain perubahan hasil penghitungan
suara di TPS. Jika pun terjadi komplain, hal itu lebih karena salah hitung
atau salah tulis akibat kelelahan petugas.
Jika demikian, yang kita butuhkan sesungguhnya e-counting, yaitu
perangkat yang bisa merekam dengan akurat, cepat, dan bisa diverifikasi atas
hasil penghitungan suara di TPS. Jika kita konsentrasi mengembangkan
perangkat ini, kita tidak hanya menyelesaikan masalah pokok pemilu selama
ini, tetapi juga tidak mengancam kekayaan politik yang kita miliki:
kegembiraan politik yang bernilai kejujuran dan toleransi di TPS. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar