Koalisi
Langganan Menderita
Indra Tranggono ; Pemerhati Kebudayaan dan Sastrawan
|
KOMPAS,
13 Desember 2014
JANGAN dikira rakyat tak bisa
bikin koalisi. Diikat nasib buram yang sama, rakyat pun mampu menciptakan
”Koalisi Langganan Menderita”, disingkat ”Kolam”, yang bersifat permanen,
untuk mengimbangi kinerja koalisi-koalisi bentukan politisi dan
juragan-juragan politik.
Kolam” bukan institusi
legal-formal dan fisikal, melainkan komunitas imajiner atau komunitas
terbayang. Karena itu, ia tak butuh deklarasi dengan pidato penuh basa-basi.
”Kolam” adalah koalisi nilai-nilai esoterik, penuh nuansa kebatinan dan
keprihatinan yang dalam.
Ia digerakkan oleh akal sehat
dan kejernihan hati nurani. Ia bersifat independen, non-partisan,
non-primordial, dan non-profit. Satu-satunya yang menyatukan jiwa dan tekad
hanyalah penderitaan bersama serta cita-cita untuk terbebas dari segala jenis
kegelapan, baik kegelapan struktural maupun kegelapan kultural.
Menu rutin
Sejak negara ini berdiri dan
sejak kata rakyat disematkan pada berbagai suku bangsa yang bertransformasi
menjadi warga negara, penderitaan telah menjadi menu rutin sehari-hari.
Artinya, rakyat selalu
diposisikan menjadi pelanggan penderitaan meskipun setiap waktu ”demi rakyat”
menjadi kata wajib bagi mereka yang mengaku sebagai para penyelenggara
negara, juragan-juragan politik, politisi kontrakan, politisi salon, dan para
petualang politik.
Posisi dan nasib menjadi
pelanggan penderitaan merupakan akibat dari penyanderaan kedaulatan rakyat
oleh komunitas politik-penguasa dan komunitas pemodal kuat.
Mereka tanpa basi-basi dan malu
telah bermetamorfosis menjadi aktor-aktor oligarki yang tangguh dan penuh
gairah dalam mengeruk kekayaan negara.
Mereka tidak hanya mengendalikan
politik, tetapi juga hukum, peraturan, dan sistem pemerintahan dengan
menguasai parlemen yang telah disulap menjadi pabrik legislasi. Akhirnya,
parlemen yang semestinya menjadi rumah rakyat telah berubah menjadi ”ruang
jagal” bagi hak-hak politik rakyat.
Sejatinya rakyat hanya memiliki
sangat sedikit pemimpin. Yang ada selebihnya hanyalah kumpulan panitia yang
”lulus” tes dan seleksi melalui pemilu prabayar (sarat politik uang) atau
mereka yang direkrut jadi penyelenggara pemerintah bukan berdasarkan
profesionalitas, integritas, dan dedikasi, melainkan hanya memiliki watak
tunduk berkadar tinggi.
Mereka tampak sangat sibuk,
seolah-olah bekerja tapi tak pernah menghasilkan nilai dan makna bagi rakyat.
Negara akhirnya menjelma menjadi ”kantor yang sibuk”, penuh hiruk-pikuk,
tetapi yang ”dinikmati” rakyat hanyalah kebisingan atau rintihan pemimpin
melankolis.
Di luar itu, ”prestasi” korupsi
terus meningkat hingga negeri ini sukses berada di peringkat atas dalam ”liga
korupsi dunia”.
Dada rakyat pun sesak.
Kemiskinan terus beranak-pinak tanpa bisa dicegah. Jumlah orang miskin terus
meningkat tanpa bisa dihentikan oleh ”bunyi” statistik formal dan abal-abal
yang bertujuan menerbitkan rasa lega dan tenteram.
Rakyat menjerit, ”Di mana kalian
para pemimpin?” Tak ada jawaban, kecuali dengung pidato yang menyiksa.
Berbagai perasaan rakyat pun campur aduk dan bermuara pada nasib mengenaskan
dan kegelapan masa depan.
Rakyat menunggu babak baru dalam
episode pemerintah baru. Rakyat berharap episode penuh luka dan penderitaan
itu tak perlu tayang ulang.
Rakyat sudah kenyang melodrama
penderitaan karena hidup rakyat sudah sangat melodramatik. Kepahitan hidup
rakyat sudah sangat dahsyat, bahkan tak bisa lagi diwakili oleh kata pahit
itu sendiri.
”Operasi kepala”
Rakyat ingin pemerintahan baru
mampu menegakkan etika kolektif yang selama ini longsor dan menimbulkan
berbagai penyimpangan, termasuk korupsi. Penegakan etika bisa dimulai dengan
penegakan hukum secara tegas dan konsisten.
Prioritasnya adalah tingkat
hulu. Hulu harus dibersihkan agar terjadi kejernihan di tingkat hilir. Hulu
harus diartikan sebagai level penyelenggara negara dan elite politik-penguasa
dan elite pemodal kuat yang selama ini menjadi pelaku oligarki.
Penegakan hukum yang tegas dan
konsisten akan berdampak pada perbaikan pelayanan negara atas warganya dan
terbukanya berbagai akses untuk rakyat. Distribusi kesejahteraan dan keadilan
akan terjadi secara otomatis.
Beranikah pemerintahan yang baru
melakukan ”operasi kepala” sebelum mengoperasi bagian tubuh-jiwa bangsa
melalui ”revolusi mental”?
Revolusi mental harus dilakukan
secara struktural dan sistemik, dan tidak bisa hanya diserahkan pada
pendidikan dalam keluarga dan masyarakat. Keruhnya kehidupan di level
keluarga dan masyarakat sejatinya merupakan akibat dari kotornya para
penyelenggara negara dan lingkaran elite politik-penguasa dan pemodal kuat
yang memengaruhinya.
”Koalisi Langganan Menderita”
yang didukung civil society akan secara permanen mengontrol kinerja pemerintahan
yang baru agar tetap berjalan di atas rel konstitusi dan peka terhadap
buramnya nasib rakyat.
Rezim
baru dan penyelenggara negara diharapkan tidak hanya terampil, punya
komitmen, dan integritas, tetapi juga memiliki kekayaan dan kecerdasan
imajinasi serta visi dalam melakukan perubahan. Jika tidak, rakyat akan
bilang jebul sami mawon (ternyata sama saja dengan rezim yang lama). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar