Senin, 15 Desember 2014

Koalisi Langganan Menderita

                                   Koalisi Langganan Menderita

Indra Tranggono  ;   Pemerhati Kebudayaan dan Sastrawan
KOMPAS,  13 Desember 2014

                                                                                                                       


JANGAN dikira rakyat tak bisa bikin koalisi. Diikat nasib buram yang sama, rakyat pun mampu menciptakan ”Koalisi Langganan Menderita”, disingkat ”Kolam”, yang bersifat permanen, untuk mengimbangi kinerja koalisi-koalisi bentukan politisi dan juragan-juragan politik.

Kolam” bukan institusi legal-formal dan fisikal, melainkan komunitas imajiner atau komunitas terbayang. Karena itu, ia tak butuh deklarasi dengan pidato penuh basa-basi. ”Kolam” adalah koalisi nilai-nilai esoterik, penuh nuansa kebatinan dan keprihatinan yang dalam.

Ia digerakkan oleh akal sehat dan kejernihan hati nurani. Ia bersifat independen, non-partisan, non-primordial, dan non-profit. Satu-satunya yang menyatukan jiwa dan tekad hanyalah penderitaan bersama serta cita-cita untuk terbebas dari segala jenis kegelapan, baik kegelapan struktural maupun kegelapan kultural.

Menu rutin

Sejak negara ini berdiri dan sejak kata rakyat disematkan pada berbagai suku bangsa yang bertransformasi menjadi warga negara, penderitaan telah menjadi menu rutin sehari-hari.

Artinya, rakyat selalu diposisikan menjadi pelanggan penderitaan meskipun setiap waktu ”demi rakyat” menjadi kata wajib bagi mereka yang mengaku sebagai para penyelenggara negara, juragan-juragan politik, politisi kontrakan, politisi salon, dan para petualang politik.

Posisi dan nasib menjadi pelanggan penderitaan merupakan akibat dari penyanderaan kedaulatan rakyat oleh komunitas politik-penguasa dan komunitas pemodal kuat.

Mereka tanpa basi-basi dan malu telah bermetamorfosis menjadi aktor-aktor oligarki yang tangguh dan penuh gairah dalam mengeruk kekayaan negara.
Mereka tidak hanya mengendalikan politik, tetapi juga hukum, peraturan, dan sistem pemerintahan dengan menguasai parlemen yang telah disulap menjadi pabrik legislasi. Akhirnya, parlemen yang semestinya menjadi rumah rakyat telah berubah menjadi ”ruang jagal” bagi hak-hak politik rakyat.

Sejatinya rakyat hanya memiliki sangat sedikit pemimpin. Yang ada selebihnya hanyalah kumpulan panitia yang ”lulus” tes dan seleksi melalui pemilu prabayar (sarat politik uang) atau mereka yang direkrut jadi penyelenggara pemerintah bukan berdasarkan profesionalitas, integritas, dan dedikasi, melainkan hanya memiliki watak tunduk berkadar tinggi.

Mereka tampak sangat sibuk, seolah-olah bekerja tapi tak pernah menghasilkan nilai dan makna bagi rakyat. Negara akhirnya menjelma menjadi ”kantor yang sibuk”, penuh hiruk-pikuk, tetapi yang ”dinikmati” rakyat hanyalah kebisingan atau rintihan pemimpin melankolis.

Di luar itu, ”prestasi” korupsi terus meningkat hingga negeri ini sukses berada di peringkat atas dalam ”liga korupsi dunia”.

Dada rakyat pun sesak. Kemiskinan terus beranak-pinak tanpa bisa dicegah. Jumlah orang miskin terus meningkat tanpa bisa dihentikan oleh ”bunyi” statistik formal dan abal-abal yang bertujuan menerbitkan rasa lega dan tenteram.
Rakyat menjerit, ”Di mana kalian para pemimpin?” Tak ada jawaban, kecuali dengung pidato yang menyiksa. Berbagai perasaan rakyat pun campur aduk dan bermuara pada nasib mengenaskan dan kegelapan masa depan.

Rakyat menunggu babak baru dalam episode pemerintah baru. Rakyat berharap episode penuh luka dan penderitaan itu tak perlu tayang ulang.
Rakyat sudah kenyang melodrama penderitaan karena hidup rakyat sudah sangat melodramatik. Kepahitan hidup rakyat sudah sangat dahsyat, bahkan tak bisa lagi diwakili oleh kata pahit itu sendiri.

”Operasi kepala”

Rakyat ingin pemerintahan baru mampu menegakkan etika kolektif yang selama ini longsor dan menimbulkan berbagai penyimpangan, termasuk korupsi. Penegakan etika bisa dimulai dengan penegakan hukum secara tegas dan konsisten.

Prioritasnya adalah tingkat hulu. Hulu harus dibersihkan agar terjadi kejernihan di tingkat hilir. Hulu harus diartikan sebagai level penyelenggara negara dan elite politik-penguasa dan elite pemodal kuat yang selama ini menjadi pelaku oligarki.
Penegakan hukum yang tegas dan konsisten akan berdampak pada perbaikan pelayanan negara atas warganya dan terbukanya berbagai akses untuk rakyat. Distribusi kesejahteraan dan keadilan akan terjadi secara otomatis.

Beranikah pemerintahan yang baru melakukan ”operasi kepala” sebelum mengoperasi bagian tubuh-jiwa bangsa melalui ”revolusi mental”?

Revolusi mental harus dilakukan secara struktural dan sistemik, dan tidak bisa hanya diserahkan pada pendidikan dalam keluarga dan masyarakat. Keruhnya kehidupan di level keluarga dan masyarakat sejatinya merupakan akibat dari kotornya para penyelenggara negara dan lingkaran elite politik-penguasa dan pemodal kuat yang memengaruhinya.

”Koalisi Langganan Menderita” yang didukung civil society akan secara permanen mengontrol kinerja pemerintahan yang baru agar tetap berjalan di atas rel konstitusi dan peka terhadap buramnya nasib rakyat.

Rezim baru dan penyelenggara negara diharapkan tidak hanya terampil, punya komitmen, dan integritas, tetapi juga memiliki kekayaan dan kecerdasan imajinasi serta visi dalam melakukan perubahan. Jika tidak, rakyat akan bilang jebul sami mawon (ternyata sama saja dengan rezim yang lama).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar