Beringin
Tidak Akan Tumbang
Bambang Soesatyo ; Wakil Bendahara Umum DPP Partai Golkar;
Sekretaris Fraksi
Golkar DPR RI
|
KORAN
SINDO, 02 Desember 2014
Eksistensi Partai Golkar akan selalu terjaga. Partai berlambang pohon
beringin ini tak akan pernah terbelah, apalagi tumbang. Ibarat beringin yang
usianya mencapai ratusan tahun, Partai Golkar pun akan selalu mengawal
perjalanan sejarah NKRI, kini hingga dekade-dekade mendatang. Apa yang tengah
dihadapi Partai Golkar (PG) saat ini tak lebih dari sebuah ujian zaman.
Karena di tubuh partai politik (parpol) selalu sarat kepentingan kelompok,
parpol lain pun akan mengalami ujian yang sama.
Ketika pada saatnya nanti Megawati Soekarnoputri memutuskan mundur dari
panggung politik dan mengakhiri era kepemimpinannya di Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan (PDIP), proses regenerasi kepemimpinan PDIP pun belum
tentu mulus. Gesekan faksi-faksi tak akan terhindarkan.
Begitulah sejatinya dinamika parpol. Sepanjang pekan terakhir November
2014 pemberitaan pers dalam negeri marak dengan tema “Golkar Terbelah”. Tema
itu mengacu pada fakta perbedaan tajam tentang jadwal Musyawarah Nasional
(Munas) IX PG, antara Ketua Umum PG Aburizal Bakrie dan sejumlah figur calon
ketua umum. Beragam komentar dan prediksi pun bermunculan.
Kekuatan PG diprediksi meredup, sehingga tak mampu berbuat banyak pada
Pemilihan Umum 2019. Memuncaknya persoalan internal PG yang ditandai dengan
tampilnya Presidium Penyelamat PG sebenarnya merupakan ujian kedua di era
reformasi, setelah yang pertama pada 1999. Sampai di sini, bisa disimpulkan
bahwa Golkar menghadapi ujian berat setiap kali bangsa dan negara menyongsong
perubahan-perubahan strategis.
Pada 1999, awal reformasi, Golkar pun harus berjuang ekstrakeras untuk
menjaga eksistensi. Tahun ini, ketika rakyat mulai proaktif mencari figur
pemimpin, PG kembali menghadapi ujian itu. Dibandingkan tahun ini, ujian
Golkar pada 1999 jauh lebih berat karena yang dihadapi adalah sikap tidak
suka publik. Berakhirnya era Orde Baru (Orba) saat itu melahirkan dampak
teramat buruk bagi Golkar.
Tekanan terhadap Golkar datang dari masyarakat. Tak hanya mencaci maki,
publik bahkan menuntut Golkar dibubarkan karena posisinya sebagai penopang
Orba. Di masa transisi reformasi itu, terjadi juga polarisasi di tubuh
Golkar. Ada kelompok yang masih mendukung sisa-sisa kekuatan Orba, berhadapan
dengan kekuatan-kekuatan reformis.
Polarisasi itu berakhir di forum musyawarah nasional luar biasa Golkar,
yang melahirkan figur Akbar Tanjung sebagai ketua umum (1998-2004) yang
kemudian mendeklarasikan evolusi Golkar menjadi Partai Golkar. Saat itu PG
diperkirakan hanya bisa bertahan sebagai partai kecil. Perkiraan itu salah total.
Pada pemilihan umum 1999, Partai Golkar meraih dukungan 22,44% dari total
pemilih, dan berstatus sebagai partai pemenang kedua setelah PDIP.
Perolehan ini menggambarkan bahwa infrastruktur PG tetap solid di
tengah empasan badai. Apakah badai yang mengguncang PG tahun 1999 sama
dahsyatnya dengan badai tahun ini? Jelas tidak, bahkan sangat berbeda.
Guncangan sekarang muncul dari internal karena tarikan faktor eksternal.
Pengertian faktor eksternal pun bukan tekanan publik, melainkan kejahilan
unsur-unsur kekuasaan.
Karena guncangan itu berdaya rusak kecil, PG tidak akan terbelah,
apalagi tumbang. Semua kekuatan politik di negara ini mengakui bahwa PG
adalah parpol besar yang kuat dan sarat pengalaman. Konstruksi organisasinya
kokoh dan mampu merespons tantangan zaman dengan sigap tepat. Pengakuan itu
benar adanya.
Karena itu, PG akan mampu menyelesaikan persoalan internalnya, termasuk
guncangan yang sedang dihadapi PG saat ini. Semua unsur kekuatan utama di
tubuh PG, pada akhirnya nanti, akan duduk satu meja, mencari dan merumuskan
format penyelesaian masalah yang dilandasi semangat musyawarah dan mufakat.
Sentimen tentang potensi terbelahnya PG yang begitu membahana akhirakhir ini
harus dilihat sebagai ancaman yang justru ingin dihindari oleh semua faksi di
tubuh PG. Dengan begitu, jelas bahwa Golkar sejatinya tidak pernah terbelah.
Provokatif
Posisi pemerintah dalam menyikapi persoalan internal PG sangat
memalukan. Terlihat betapa pemerintah tidak bisa menahan diri untuk melakukan
intervensi. Juga tidak cerdas. Sebab, intervensi Menko Polhukam terhadap
masalah internal PG begitu nyata. Sikap dan posisi Menko Polhukam patut
dikatakan sangat tercela.
Sebab, tampak jelas bahwa dia cenderung memihak pada faksi-faksi
tertentu di dalam tubuh PG. Ketika mendesak Polri untuk tidak menerbitkan
izin bagi PG melaksanakan Munas IX di Bali, Menko Pulhukam secara tidak
langsung telah memprovokasi Presidium Penyelamat PG untuk mengeskalasi
perlawanan mereka terhadap DPP PG yang dipimpin Aburizal Bakrie. Presidium
penyelamat memang menghendaki Munas dilaksanakan pada 2015.
Dengan begitu, makna dari pernyataan Menko Polhukam adalah dukungan
kuat pemerintah kepada Presidium Penyelamat PG yang dipimpin Agung Laksono.
Akibat dukungan itu, suasana internal PG makin keruh. Sebagai Menko Polhukam,
sikap dan pernyataan itu jelas tidak etis.
Bagaimanapun, itu mencerminkan
sikap pemerintah. Karena itu, Presiden Jokowi Widodo patut memberi teguran
keras kepada Menko Polhukam yang jelas-jelas telah melakukan intervensi. PG
masih menunggu seperti apa sikap dan reaksi Presiden Jokowi atas perilaku
tidak etis Menko Polhukam itu. Kini, bagi sejumlah kader PG, persoalannya
bukan lagi sekadar intervensi itu.
Mereka melihat ada target besar yang sedang dirancang kekuatan-kekuatan
politik besar untuk memarginalkan eksistensi PG dalam percaturan politik di
masa depan. Cara yang dipilih adalah mencoba menghancurkan PG hingga
berkeping-keping pada era kepemimpinan Aburizal Bakrie. Menyadari potensi
ancaman itu, banyak kader yang bukan hanya fokus melawan intervensi
pemerintah itu, melainkan juga melakukan perlawanan terhadap siapa saja yang
coba menghancurkan PG.
Kalau Presiden Jokowi mendiamkan perilaku tercela Menko Polhukam itu,
mungkin saja Presiden menjadi bagian dari kekuatan politik yang ingin
menghancurkan PG. Idealnya, pemerintah tidak buru-buru menyikapi persoalan
internal PG. Apalagi, penyikapan pemerintah pada dasarnya memang tidak
dibutuhkan. Dalam rentang waktu yang pendek, pemerintah sudah melakukan dua
blunder yang memalukan.
Selain intervensi terhadap PG, Menkumham juga sempat memperuncing
persoalan internal di tubuh Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Pemerintah
seharusnya memberi ruang seluas-luasnya bagi parpol untuk melaksanakan
agenda-agenda kepartaian. Bagaimanapun, peran strategis parpol tak boleh
dianggap remeh. Dalam kaitan rencana PG melaksanakan munas di Bali misalnya,
pemerintah seharusnya justru membantu agar agenda munas itu bisa berjalan
lancar dan aman.
Kalau benar ada “lubang” atau ancaman sebagaimana disinyalir oleh Menko
Polhukam, sudah barang tentu menjadi kewajiban pemerintah, termasuk
pemerintah daerah dan aparat keamanan daerah, untuk mengeliminasi ancaman
itu. Kalau sekadar membuat pernyataan tanpa berupaya mengeliminasi ancaman
itu, sama artinya Menko Polhukam membiarkan ancaman itu untuk mengganggu
munas PG di Bali.
Cara berpikirnya jangan dibalik-balik. Akhirnya, pemerintah sebaiknya
membiarkan PG dan kader-kadernya menyelesaikan persoalan internal partai.
Yakinlah, intervensi siapa pun tak akan pernah bisa menumbangkan beringin
Golongan Karya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar