Golkar
Riwayatmu Kini
James Luhulima ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
13 Desember 2014
MENJELANG
akhir tahun 2014 ini, Golongan Karya berada dalam kondisinya yang terburuk. Partai
besar yang berusia 50 tahun ini terpecah menjadi dua. Ada dua kepengurusan
yang masing-masing mengklaim diri sebagai kepengurusan yang sah. Satu
kepengurusan Aburizal Bakrie, dan satu lagi kepengurusan Agung Laksono.
Kedua
kepengurusan, baik kubu Aburizal maupun kubu Agung, mendaftarkan kepengurusan
masing-masing ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Pendaftaran
kepengurusan baru partai politik ke Kementerian Hukum dan HAM itu sesuai
dengan Undang-Undang tentang Partai Politik. Tampaknya, pemerintahan Presiden
Joko Widodo memilih untuk tidak akan campur tangan dan akan menunggu hingga
Golkar menyelesaikan persoalannya sendiri.
Awalnya,
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Tedjo Edhy Purdijatno
sempat melakukan blunder ketika melarang penyelenggaraan Musyawarah Nasional
Golkar kubu Aburizal di Bali. Namun, langkah itu dengan cepat dikoreksi
sehingga Munas Golkar dapat dilangsungkan di Bali. Sebaik apa pun alasan di
balik pelarangan itu, tetap saja dapat dianggap sebagai pemihakan terhadap
kubu Agung.
Tantangan
Golkar ke depan adalah secara cepat mengakhiri dualisme itu. Jika tidak, yang
rugi Golkar sendiri karena tidak dapat mengajukan calon kepala daerah dalam
pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak yang digelar tahun 2015. Selain
itu, dualisme kepengurusan juga menyulitkan Golkar mengendalikan 91 anggota
DPR asal Golkar di DPR. Itu sebabnya, tidak ada pilihan lain bagi elite
Golkar untuk sesegera mungkin berdamai dan menyelesaikan persoalan di antara
mereka.
Sesungguhnya,
kemungkinan terjadinya perpecahan di antara elite Golkar sudah diramalkan
sebelumnya, terutama setelah Golkar di bawah kepemimpinan Aburizal memutuskan
untuk bergabung dengan Koalisi Merah Putih, yang beroposisi melawan
pemerintahan Jokowi. Keputusan Aburizal itu meresahkan sebagian elite partai
berlambang pohon beringin itu. Oleh karena, sejak awal Golkar selalu melekat
dengan kekuasaan. Golkar tidak pernah beroposisi.
Oleh
karena Aburizal berkeras pada putusannya, mulai muncul gerakan untuk
menyingkirkan dirinya. Apalagi, Aburizal dianggap gagal memanfaatkan posisi
nomor dua yang diperoleh dalam Pemilihan Umum Legislatif (Pileg) 2014 untuk
mencalonkan dirinya sebagai presiden. Bukan itu saja, ia bahkan mendukung
Prabowo Subianto, calon presiden dari Partai Gerindra, yang menempati posisi
nomor tiga dalam pileg.
Itu
sebabnya, Munas Golkar kubu Aburizal di Bali ditandingi dengan Munas Golkar
kubu Agung di Ancol. Resmilah Golkar terpecah dua.
Jalan
terbaik untuk mengatasi dualisme kepengurusan Golkar itu adalah kompromi dan
islah. Tampaknya, kubu Aburizal Bakrie menyadari hal itu. Dalam kaitan
itulah, ia mengutus Akbar Tandjung sebagai mediator untuk mengupayakan
perdamaian di antara kedua kubu.
Partai terkuat
Kelahiran
Partai Golkar diawali pada tahun 1964 di masa pemerintahan Presiden Soekarno.
Dengan dilatarbelakangi keinginan menghadapi sepak terjang dari Partai
Komunis Indonesia (PKI) dan organisasi massanya, pada 20 Oktober 1964
beberapa perwira menengah Angkatan Darat menghimpun organisasi-organisasi
pemuda, wanita, sarjana, buruh, tani, dan nelayan dalam Sekretariat Bersama
Golongan Karya
(Sekber
Golkar).
Gagalnya
Gerakan 30 September 1965 yang disebutkan didalangi PKI membuat kedudukan PKI
melemah. Semakin banyak golongan fungsional yang bergabung dalam Sekber
Golkar. Organisasi-organisasi yang terhimpun dalam Sekber Golkar kemudian
dikelompokkan berdasarkan kekaryaannya dalam tujuh Kelompok Induk Organisasi
(Kino), yakni Koperasi Serbaguna Gotong Royong (Kosgoro), Sentral Organisasi
Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI), Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong
(MKGR), Organisasi Profesi, Ormas Pertahanan Keamanan (Hankam), Gerakan Karya
Rakyat Indonesia (Gakari), dan Gerakan Pembangunan untuk menghadapi Pemilu
1971.
Ketujuh
Kino itu, 4 Februari 1970, mengeluarkan keputusan untuk menjadi peserta
pemilu dengan nama Golongan Karya (Golkar) dan dengan gambar pohon beringin
sebagai lambang. Dan, ketika pemilihan umum dilakukan pada tahun 1971, Golkar
meraih suara 62,79 persen dari total perolehan suara. Terlepas dari cara
mencapainya, Golkar terus memimpin dalam pemilu-pemilu selanjutnya, yakni
tahun 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997.
Selama
31 tahun kekuasaan Orde Baru yang dipimpin Presiden Soeharto (1967-1998),
sebagian besar jabatan struktur di eksekutif, legislatif, dan yudikatif
dipegang militer dan kader Golkar. Bisa dikatakan Golkar memiliki tiga jalur
pengaturan informal, yakni Jalur A untuk militer, Jalur B untuk birokrasi,
dan Jalur G untuk lingkungan sipil Golkar di luar birokrasi.
Konstelasi
itu berubah total ketika Orde Baru tumbang dengan mundurnya Soeharto dari
jabatannya, atas desakan para mahasiswa, 21 Mei 1998. Uniknya, dalam Pemilu
1999, Golkar, yang namanya berubah menjadi Partai Golkar, sanggup meraih
posisi urutan kedua di bawah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P).
Namun, Megawati Soekarnoputri yang seharusnya menjadi presiden ditelikung
Poros Tengah di MPR sehingga jabatan presiden dimenangi Abdurrahman Wahid
(1999). Megawati hanya menjadi wakil presiden. Ketika Abdurrahman Wahid
dilengserkan di tengah jalan (2001), Megawati akhirnya menjadi presiden
(2001-2004). Dalam masa pemerintahannya, Presiden Megawati memutuskan untuk
memberlakukan pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat. Sayangnya,
Megawati gagal terpilih dalam pemilihan presiden langsung pertama oleh rakyat
yang diputuskannya.
Dalam
pemilu legislatif tahun 2004, Golkar keluar sebagai pemenang. Namun, calon
presiden yang diajukannya gagal meraih mayoritas suara dalam pemilihan
presiden secara langsung. Susilo Bambang Yudhoyono, capres dari Partai
Demokrat, terpilih sebagai presiden. Ia berkuasa dua periode karena terpilih
kembali dalam Pilpres 2009. Selama itu pula, Golkar berkoalisi dengan partai
pemerintah.
Tahun 2014, Golkar memutuskan tidak lagi berkoalisi dengan partai
pemerintah, dan keputusan itu membuat Golkar pecah menjadi dua. Tampaknya,
Golkar secara alamiah harus begabung dengan pemerintah. Jika tidak, Golkar
akan terpecah dan ditinggalkan…. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar