Menyoal
Interpelasi DPR
Agust Riewanto ; Dosen Program Pascasarjana Ilmu Hukum
Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 02 Desember 2014
HARI-HARI
ini sejumlah politikus di DPRRI tengah menggulirkan wacana penggunaan hak
interpelasi, yakni hak DPR untuk meminta keterangan kepada pemerintah
mengenai kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas
pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Presiden Jokowi telah menaikkan
harga BBM tanpa persetujuan DPR. Itu diduga merupakan pelanggaran hukum yang
berpotensi melanggar UUD 1945 dan dapat menjadi pintu masuk menuju
pemberhentian atau pemakzulan (impeachment)
Jokowi dari kursi presiden ke-7.
Apakah
penaikan harga BBM subsidi yang dilakukan Jokowi melanggar UUD 1945 dan
dapatkah dijadikan DPR sebagai pintu masuk ke arah pemakzulan (impeachment)?.
Tradisi pemakzulan
BBM
Sebenarnya, wacana impeachment
terhadap Presiden RI ketika menaikkan harga BBM subsidi bukan hal baru dalam
tradisi politik di Indonesia. Bahkan, kerap terjadi pada 2004 dan 2005, SBY
pernah mengalami hal serupa saat menaikkan harga BBM yang dianggap melanggar
ketentuan UU No 36/ 2004 tentang APBN 2004. Penaikan harga BBM subsidi 2005
yang diduga melanggar ketentuan UU No 46 tentang APBN 2005 bahkan diperkuat
surat teguran MK karena pengaturan penaikan harga BBM subsidi salah dalam
membuat konsiderans pada Perpres 55/ 2005 tentang Kenaikan Harga BBM. Namun,
nyatanya impeachment terhadap SBY
tidak terjadi.
Jokowi tak langgar UU
Jika
dilacak secara cermat dan pada batas-batas penalaran hukum ekstensif, sesung
guhnya tidak ada ketentuan hukum yang dilanggar Presiden Jokowi dalam membuat
kebijakan menaikkan harga BBM subsidi pada 18 November.Bahkan, penaikan harga
BBM subsidi tidak perlu persetujuan DPR. Sebab, berdasarkan ketentuan UU No
12/2014 tentang APBN Perubahan 2014 secara eksplisit dinyatakan bahwa
pemerintah diberi otoritas kebijakan menaikkan harga BBM subsidi tanpa harus
meminta persetujuan DPR.
Lebih
dari itu, kebijakan Jokowi menaikkan harga BBM subsidi itu sesungguhnya
merupakan langkah strategis pemerintah dalam melakukan realokasi subsidi dari
konsumtif ke sektor produktif.
Jika
sejumlah politikus dari Koalisi Merah Putih (KMP) berkeyakinan kebijakan
Jokowi menaikkan harga BBM subsidi melanggar ketentuan Pasal 14 ayat (13) UU
No 12/ 2014 tentang APBN yang menyatakan bahwa anggaran untuk subsidi energi
merupakan bagian dari program pengelolaan subsidi dapat disesuaikan dengan
kebutuhan realisasi harga minyak mentah (ICP) dan nilai tukar rupiah. Praduga
yang tidak tepat sebab realitasnya kendati harga minyak mentah dunia turun,
tetapi nilai tukar rupiah kita terhadap dolar mengalami kenaikan yang
signifikan. Itu artinya, kedua parameter tersebut tidak dapat dijadikan
patokan turun dan tidaknya harga BBM. Dengan kata lain, pemerintah dapat
memilih salah satu parameternya, yakni harga minyak mentah (ICP) atau nilai
tukar rupiah.
Jangan politisasi
Jika DPR
bertekad untuk melakukan interpelasi kepada Presiden Jokowi agar bersedia
menjelaskan sejumlah argumentasi penaikan harga BBM, masih dapat diterima
dalam batas yang wajar sesuai dengan ketentuan UU 17/ 2014 tentang MPR, DPD,
DPR, dan DPRD. Tetapi, dengan syarat tidak dilakukan secara politikus
disertai rencana terselubung dan membelokkan ke arah pemakzulan (impeachment) Presiden Jokowi. Di
situlah relevansinya agar Presiden Jokowi untuk mempersiapkan jawaban secara
solid, tegas, dan sejumlah argumentasi yang kuat dan cermat. Rakyatlah yang
akan menilai siapa yang lebih negarawan DPR atau Jokowi?
Berdasarkan
paham konstitusionalisme Indonesia, baru pascaamendemen UUD 1945 yang selesai
dalam empat kali amendemen pada 2002.Seorang presiden hanya dapat diproses
untuk di-impeachment, manakala terbukti melakukan pelanggaran hukum murni
bukan pelanggaran dilihat dari aspek politik.
Tengoklah
Pasal 7 A UUD 1945 tentang Syarat Pemberhentian atau impeachment presiden
atau wakil presiden yang berbunyi, yakni presiden dan atau wakil presiden
dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR, baik
terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap
negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan
tercela, maupun apabila tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan atau
wakil presiden.
Adapun
institusi yang dapat memberhentikan presiden berdasarkan ketentuan Pasal 7 B
dan 24 C ayat (2) UUD 1945 ialah MPR. Sebelumnya MPR harus mendengarkan
pendapat DPR dalam rapat paripurna yang dihadiri minimal dua per tiga dari
jumlah anggota DPR atas dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan presiden dan
penilaian MK.
Bukan pelanggaran hukum
Lebih
dari itu, penaikan harga BBM bersubsidi yang dilakukan Presiden Jokowi
merupakan produk kebijakan pemerintah dalam Hukum Tata Usaha Negara dapat
dibenarkan dan tidak boleh dipidanakan yang berpotensi melanggar UUD 1945.
Secara
teori kebijakan penaikan harga BBM bersubsidi oleh Presiden Jokowi dapat
dibaca melalui dua cara, yaitu pertama, sebagai bagian dari penyelenggaraan
kepentingan umum yang terkait bestuur
naar good oordelen atau kepemerintahan berdasarkan pertimbangan yang
baik. Menurut Crince Le Roy (1952) ada beberapa prinsip dasar suatu
pemerintahan dapat dikatakan baik. Di antaranya, seperti bertindak cermat
atau saksama; penaikan harga BBM itu telah dilakukan kajian secara teliti dan
cermat oleh Jokowi sebagai cara paling rasional.
Kedua,
sebagai bagian dari penerapan freies
Ermessen atau pouvoir
discretionnaire, yakni kebebasan mengambil kebijakan atas dasar
kepentingan umum yang bersifat memaksa dan demi perwujudan kesejahteraan
rakyat. Menurut Geraint Parry dalam Welfare
and State Welfare Society (1983) membeberkan teori kesejahteraan antara
lain, yakni upaya mewujudkan kebutuhan rakyat utama dengan mudah dan murah;
kenaikan subsidi BBM dimaksudkan sebagai cara jitu untuk mewujudkan kebutuhan
esensial rakyat menengah ke bawah, yaitu subsidi kesehatan murah, beasiswa,
infrastruktur jalan, irigasi, bibit tanaman, dan pupuk murah kredit usaha
mikro melalui pengalihan subsidi BBM.
Penaikan
harga subsidi BBM itu ialah cermin dari hadirnya negara untuk mengatur
distribusi subsidi melalui APBN secara tepat sasaran dan tujuan. Dari
golongan menengah ke atas, berupa subsidi BBM konsumtif ke orientasi
distribusi subsidi. Fokus pada kelompok menengah ke bawah, berupa subsidi
ekonomi produktif. Itu ialah cara pemerintah untuk menciptakan pola relasi
yang nondiskriminasi dalam mendistribusikan subsidi negara kepada kelompok
masyarakat yang tepat dan lebih membutuhkan, yakni kelompok menengah ke bawah
daripada kelompok menengah ke atas.
Pendeknya,
kebijakan penaikan harga BBM bersubsidi oleh Presiden Jokowi itu dapat
dibenarkan secara teori kebijakan, baik dari aspek hukum tata negara maupun
dari aspek hukum administrasi negara. Sebab itu, tidak ada satu alasan
yuridis pun yang dapat dibenarkan untuk membelokkan hak interpelasi DPR ke
arah pemakzulan Presiden Jokowi karena diduga melanggar haluan negara dan UUD
1945 pascaamendemen. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar