Menyediakan Guru Bermutu

Rosalia Wiwiek Wahyuning Ratri  ;   Guru SMP Negeri 1 Patuk,
Gunung Kidul, DI Yogyakarta
KOMPAS,  09 Desember 2014

                                                                                                                       


Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan memiliki perhatian serius soal ketersediaan guru bermutu. Dengan program Indonesia Mengajar, Anies merekrut para sarjana unggul untuk menjadi guru di daerah tertinggal, terpencil, dan terluar.

Dari cara merekrut guru dan daerah penempatannya, tampaklah tekanannya pada mutu guru dan nasionalisme. Dengan sedikit retorika heroisme, berdatanganlah para sarjana mumpuni dan idealis mendaftarkan diri. Apakah Anies bisa mewujudkan ketersediaan guru bermutu seperti program Indonesia Mengajar?

Dalam perekrutan guru Indonesia Mengajar, kesempatan terbuka bagi semua sarjana sehingga leluasa memilih calon yang bermutu. Ini berbeda dengan perekrutan guru di bawah kementerian di mana regulasi menentukan bahwa pelamar harus sarjana bersertifikat guru. Padahal, tidak semua sarjana hebat memiliki sertifikat keguruan.

Tanpa mengubah peraturan, Anies akan kembali terjebak pada sistem perekrutan lama yang terbukti kurang melahirkan guru-guru bermutu tinggi. Apalagi, perekrutan guru di pendidikan dasar dan menengah sekarang menjadi hak pemerintah daerah, bukan pemerintah pusat, sehingga keinginan mendapatkan guru bermutu semakin jauh.

Setelah perekrutan calon guru tertutup untuk para sarjana bukan keluaran lembaga pendidikan tenaga keguruan (LPTK), hingga kini pelajar bermutu tamatan SMA belum juga berminat melamar kuliah ke LPTK. Ini membuat LPTK masih mendapat calon mahasiswa dari pelajar lapisan bawah. Maka, harapan tinggal pada mutu LPTK.

Sebagai guru yang sudah 23 tahun mengajar, hampir setiap tahun saya dan teman-teman guru mendapat mahasiswa calon guru yang praktik kerja lapangan (PKL) dari sejumlah LPTK. Tugas mereka belajar dari kami tentang bagaimana mengajar dan menulis laporan/skripsi. Hasil penilaian kami menjadi bahan pertimbangan LPTK menentukan kelulusan mahasiswanya.

Pola belajar seperti ini menunjukkan LPTK-LPTK yang ada tidak yakin akan proses yang berlangsung di kampus sehingga masih membutuhkan pengajaran, peniruan, dan penilaian kami. Jika selama ini kita mengakui bahwa mutu pendidikan kita buruk, mutu lulusan buruk, dan mutu guru buruk, pola PKL itu bisa dikatakan gagal karena hanya menduplikasi dan mereproduksi guru-guru yang bermutu rendah juga.

Persoalan baru yang dihadapi sekarang adalah realitas terpisahnya pendidikan tinggi dan riset sehingga pembenahan LPTK agar link-match dengan kondisi mutu guru menjadi persoalan tersendiri.

Meningkatkan mutu

Bagaimana sebaiknya meningkatkan mutu? Selain memperbaiki pola perekrutan dan meningkatkan mutu LPTK, realitas guru yang berkualitas rendah pun perlu dibenahi. Jangan lagi terjebak pada pola-pola lama yang mewajibkan guru kuliah lagi untuk mengambil S-1 dan mengikuti penataran/workshop/diklat.

Pola kuliah S-1 tidak efektif karena orang dengan status guru merasa sudah nyaman dapat pekerjaan dan gaji. Kalaupun mau kuliah lagi, etos belajar biasanya sudah menyimpang dari semula berupaya meningkatkan kualitas diri menjadi sekadar meningkatkan jumlah ijazah dan gelar. Akibatnya, guru akan memilih kuliah di LPTK kelas rendah yang mudah meluluskan.

Sekarang, jumlah guru berijazah sarjana lebih banyak dibandingkan dengan sebelumnya, tetapi mutu pendidikan tetap saja buruk. Ini berarti peningkatan jumlah guru yang sarjana tidak otomatis menambah mutu guru.

Mendikbud sebaiknya juga tidak terjebak pada pengadaan penataran, diklat, dan workshop bagi para guru seperti yang selama ini dilakukan. Kenyataannya, efektivitas intervensi ini masih kurang. Maka, pilihan maksimal adalah bermain di wilayah pembenahan mutu penataran, diklat, workshop, metode, narasumber, kurikulum, dan kriteria pesertanya.

Untuk itu, ada beberapa hal yang bisa dilakukan. Pertama, menciptakan kondisi kesejahteraan dan suasana kerja guru yang menyenangkan sehingga bisa menarik perhatian lulusan terbaik SMA untuk mau masuk ke LPTK dan kemudian menjadi guru. Ini membutuhkan riset khusus ke arah persepsi siswa SMA terhadap profesi guru. Kebijakan yang harus diambil adalah menciptakan imaji positif tentang guru di mata para pelajar SMA.

Kedua, bekerja sama dengan LPTK agar bisa memperbaiki mutu mereka, termasuk mereka harus percaya diri dengan tidak lagi mengirim mahasiswa PKL belajar dari kami. Mahasiswa LPTK harus tampil percaya diri dengan membawa metode-metode pedagogi paling mutakhir. Ini berarti mahasiswa LPTK itu datang bukan belajar dari kami, tapi kamilah yang harus mengadopsi metode terbaru dari mereka untuk merevisi metode lama yang gagal memperbaiki mutu lulusan.

Ketiga, perekrutan calon guru harus terbuka untuk semua sarjana. Sarjana nonsertifikasi keguruan yang lulus seleksi diwajibkan mengikuti program Akta IV ke LPTK yang tertunjuk. Selama masih kuliah di LPTK pun mereka tidak otomatis menjadi guru! Jika prestasinya tidak memadai, mereka tidak jadi diangkat menjadi guru. Sarjana yang lulus dan memiliki sertifikat keguruan boleh langsung mengajar.

Keempat, reformasi sistem penataran, diklat, dan workshop setelah melakukan kajian kritis atas penataran, diklat, dan workshop selama ini.

Kelima, bagi guru yang sudah tidak mungkin bisa berkembang lewat penataran, diklat, dan workshop perlu dilakukan pensiun dini.

Keenam, perekrutan guru tidak lagi di tangan pemerintah daerah, tetapi di tangan Kemdikbud supaya tidak bias kepentingan politik pilkada.