Korupsi
Sudah Jadi Cita-Cita
Marwan Mas ; Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa 45,
Makassar;
Penulis Buku Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
|
MEDIA
INDONESIA, 09 Desember 2014
JIKA dahulu korupsi sesuatu yang
memalukan, di era reformasi justru menjadi kesempatan yang dicita-citakan.
Tidak ada lagi rasa takut untuk korupsi. Malah itu secara terselubung sudah
dicita-citakan sebelum memangku jabatan publik yang diraih dengan mengeluarkan
banyak uang. Setelah terpilih, uang yang dikeluarkan harus dikembalikan. Baik
yang dipinjam untuk biaya kampanye maupun karena dibantu pengusaha sebagai
donor kampanye. Itu tentu saja tidak gratis karena akan dibayar dengan
proyek.
Bukti tersebut sudah banyak
tersaji di sidang pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor), seperti ada
fakta penyelewengan APBN-APBD untuk kepentingan politik oleh sejumlah kepala
daerah yang jadi terdakwa. Sinyalemen lainnya dapat dikonotasi pada adanya
anggota legislatif dan eksekutif yang berselingkuh dengan pengusaha atau
menjadi broker proyek. Sepak terjang elite politik dan kekuasaan yang dijerat
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) patut dicatat sebagai pembenaran bahwa
secara terselubung ‘korupsi sudah jadi cita-cita’.
Sejak era reformasi, korupsi
bukan hanya menjadi langganan pemegang kekuasaan di pusat. Justru itu ironis
karena fakta menunjukkan kalau pemerintahan di daerah telah menjadi lumbung
korupsi baru. Begitulah imbas negatif dari desentralisasi yang bukan hanya
mendistribusi kekuasaan, melainkan juga distribusi korupsi yang dibalut
implementasi pemerataan dari pusat ke daerah.
Jika mau jujur, itu sebagai
bukti kalau negara sudah terjebak pada pelembagaan korupsi. Negara terlalu
lemah dalam upaya pencegahan, sementara tindakan represif belum menunjukkan
tandatanda keberhasilan. Itulah yang patut menjadi perhatian serius dalam
menyambut Hari Antikorupsi Dunia 9 Desember 2014, bukan hanya diperingati
secara seremonial atau aksi unjuk rasa semata.
Tidak gratis
Banyak yang menilai demokrasi
berbiaya tinggi menjadi pemicu potensial bagi ses eorang melakukan
penyalahgunaan wewenang saat kekuasaan diraih. Uang besar yang dikeluarkan
saat kampanye atau proses meraih kekuasaan, baik di legislatif, eksekutif,
maupun yudikatif, bisa mendorong seseorang melakukan korupsi. Tujuannya,
ingin mengembalikan semua biaya yang dikeluarkan. Bukan hanya modal yang
harus kembali, melainkan juga perlu ada labanya.
Meraih kekuasaan dengan biaya
mahal merupakan indikator yang sulit dibantah kalau ‘korupsi sudah bagian
dari cita-cita’. Apalagi, gaji dan tunjangan yang diperoleh selama lima tahun
menjabat tidak sepadan jumlahnya dengan uang yang dikeluarkan. Begitulah
realitas untuk menduduki kursi kekuasaan, siapa pun boleh ikut asalkan punya
uang. Muncullah anekdot di ruang publik bahwa ‘orang miskin dilarang jadi
calon kepala daerah atau calon anggota legislatif (caleg)’.
Rasanya tidak ada jabatan publik
di negeri ini yang betul-betul gratis, selalu ada ongkosnya. Bergantung pada
tinggi dan besarnya jabatan yang diincar. Semakin besar posisi suatu jabatan,
semakin besar pula biaya yang harus disiapkan. Mungkin saja ada syarat biaya
pendaftaran yang tidak besar jumlahnya, tetapi biasanya perlu biaya tambahan
untuk pelicin. Lantaran banyaknya orang yang mengincar jabatan itu.
Setelah berkuasa, tentu harus
setara dengan usaha keras dan biaya yang dikeluarkan. Muncullah tuntutan
fasilitas yang melebihi anggaran yang telah diinvestasikan. Banyak fakta
hukum yang terungkap dalam sidang pengadilan korupsi. Anggota legislatif atau
pejabat publik yang jadi terdakwa yang berasal dari partai politik karena
pengaruh pembiayaan politik yang tinggi.
Demokrasi memang tidak gratis
karena butuh biaya, begitu kata para praktisi demokrasi. Tetapi, ada juga
yang bisa duduk di kursi kekuasaan tanpa mengeluarkan biaya tinggi. Kalaupun
ada biaya, itu tidak akan mendorongnya untuk mengembalikan dana yang
dikeluarkan dengan korupsi. Sosok seperti itulah yang mestinya dicari dan
dipilih, meski susah ditemukan. Banyak caleg yang tidak mau melaporkan buku
rekening kampanye mereka kepada Komisi Pemilihan Umum.
Merasa malu
Besarnya kerugian keuangan negara
yang ditimbulkan, tentu saja menyakiti hati rakyat yang masih banyak hidup di
bawah garis kemiskinan. Yang patut dikedepankan pada semakin masifnya
perilaku korupsi ialah ‘upaya pencegahan’
secara maksimal. Misalnya, menanamkan nilai-nilai agama secara progresif oleh
para mubalig atau menyentil hati nurani para pejabat negara untuk ‘merasa
malu’ jika dalam hati mereka tebersit menjadikan korupsi sebagai cita-cita.
Tetapi, kita tidak boleh
pesimistis. Para pemburu jabatan dan caleg yang begitu banyak mengeluarkan
dana untuk biaya kampanye, perlu disadarkan bahwa gaji atau penghasilan di
parlemen itu tidak besar. Jangan sampai ‘besar pasak daripada tiang’, uang
kampanye yang dikeluarkan tidak sebanding dengan gaji selama lima tahun. Jika
mereka tidak sadar juga dan betul-betul melakukan korupsi, biar KPK, kepolisian,
dan kejaksaan yang bertindak.
Menumbuhkan rasa malu kalau
korupsi sudah dicita-citakan, setidaknya bisa dilakukan dengan mematangkan
institusionalisasi demokrasi. Itu akan menjadi alat pencegahan korupsi dengan
menanamkan pemahaman bahwa jabatan yang akan diraih ialah amanah, bukan ajang
cari uang secara tidak halal. Merasa malu kalau terlibat korupsi harus terus
digelorakan seluruh pilar demokrasi.
Kalaupun KPK selaku institusi
antikorupsi begitu hebat memberantas korupsi, tidak berarti upaya pencegahan
diabaikan. Gerakan sosial membudayakan rasa malu melakukan korupsi harus
dilembagakan. Segarang apa pun KPK, negeri ini akan tetap kedodoran memerangi
korupsi yang sudah menggurita. Artinya, pencegahan jauh lebih penting
ketimbang penindakan yang tidak berefek penjeraan.
Oleh
karena itu, bila gagal melembagakan demokrasi dan pencegahan, apalagi korupsi
sudah dicita-citakan, perilaku korupsi yang akan melembaga di tengah
masyarakat. Kita mengapresiasi Operasi Tangkap Tangan KPK pada Selasa (2/12)
terhadap Ketua DPRD Bangkalan, Jawa Timur, Fuad Amin Imron yang diduga
menerima suap dari dua orang pengusaha terkait pasokan gas alam untuk
pembangkit listrik di Gresik dan Bangkalan. Penangkapan itu, seperti
menayangkan kisah dinasti kekuasaan yang korup.Apalagi, Fuad dikenal sebagai
`orang kuat' dan berkuasa selama 10 tahun lebih di Bangkalan yang konon
dijuluki `Dinasti sang Kanjeng' lantaran kuatnya cengkeraman kekuasaannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar