Rabu, 10 Desember 2014

Diplomasi Negara Besar Tanpa Hukum

Diplomasi Negara Besar Tanpa Hukum

Rene L Pattiradjawane  ;   Wartawan Senior Kompas
KOMPAS,  10 Desember 2014

                                                                                                                       


DI bawah Sekretaris Jenderal Partai Komunis Tiongkok Xi Jinping, yang juga Presiden RRT, muncul kebutuhan baru yang berbeda dengan pemimpin generasi sebelumnya. Secara implisit, Xi menyatakan, Tiongkok adalah sebuah negara adidaya dan memerlukan kebijakan luar negeri diakui internasional.

Sekjen PKT Xi Jinping dalam Konferensi Kerja Sentral Masalah-masalah Luar Negeri (Zhongyang Waishi Gongzuo Huijyi) menekankan ada perubahan dalam tata dunia dan negara-negara tetangga RRT yang bergerak ke arah dunia multipolar. Xi menekankan kebesaran dan kedigdayaan RRT akan tetap berorientasi pada perdamaian dan pembangunan.

Presiden Xi menekankan ada perilaku provokatif membahayakan kepentingan RRT oleh negara-negara sahabat yang membawa risiko munculnya konflik tidak diinginkan. Maka, jelas Xi, RRT memerlukan apa yang disebutnya ziji tese de daguo waijiao (ciri tersendiri diplomasi negara besar).

Bagi kita, pesannya jelas, RRT adalah kekuatan baru menggeser posisi adidaya AS sebagai kekuatan ekonomi, sekaligus pernyataan perubahan orientasi kebijakan luar negeri Tiongkok yang berbeda dengan tiga dekade lalu.

Bersamaan dengan deklarasi ini, kita di Asia Tenggara, khususnya Indonesia, harus bersiap mengantisipasi perubahan kebijakan luar negeri Tiongkok ini. Kita akan berhadapan dengan diplomasi Tiongkok dengan pandangan dan fitur ke-tionghoa- an yang sangat kental, termasuk upaya pengabaian nilai dan norma hukum internasional terkait dengan klaim tumpang tindih kedaulatan di Laut Tiongkok Selatan.

Tanda-tanda ini tecermin ketika Kemlu RRT mengeluarkan nota posisi (position paper) terkait masalah yurisdiksi arbitrase internasional yang diajukan Filipina yang akan menghasilkan keputusannya pada 15 Desember ini. Filipina mempertanyakan pada Pengadilan Internasional untuk Hukum Laut (Itlos) untuk menghadirkan resolusi tentang sembilan garis putus-putus di Laut Tiongkok Selatan, apakah sah sebagai bagian dari klaim kedaulatan yang dilakukan RRT.

Dampak terhadap Indonesia atas kebijakan luar negeri RRT yang baru ini juga akan tecemin pada tanggapan nota protes Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti kepada Kedubes RRT tentang penangkapan 22 kapal ikan RRT berukuran di atas 200 GT yang tertangkap basah mencuri ikan di Laut Arafura. Kita tidak ingin ”politik ikan” yang gencar oleh Presiden Joko Widodo tidak ”tebang pilih” untuk diikuti dengan proses peradilan menyangkut kapal-kapal tersebut.

Kita melihat kebijakan luar negeri baru diplomasi negara besar RRT menjadikan persoalan maritim sebagai faktor penting yang bisa mengarah pada persengketaan pada periode penting yang disebut Presiden Xi Jinping sebagai kesempatan strategis bagi upaya pembangunan nasional Tiongkok dalam memainkan peranan negara besar.

Faktor lain yang juga krusial adalah kehadiran dalam bentuk lain apa yang disebut sebagai Sulian shi Xihua (Baratisasi ala Soviet) ketika Uni Soviet lama tidak mendukung secara substantif nilai dan norma hukum internasional. Tidak ada satu pun keterkaitan atas norma dan hukum internasional yang tecermin dalam kebijakan diplomasi negara besar yang disampaikan Presiden Xi Jinping.

Kenyataan ini menjadi sangat mengkhawatirkan ketika kepentingan nasional kebijakan luar negeri negara besar RRT terdesak dalam proses yang rumit, terutama menyangkut persoalan klaim tumpang tindih kedaulatan ataupun kepentingan kebijakan maritimnya. Keterdesakan akan menyebabkan nilai dan norma hukum internasional terabaikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar