Senin, 01 Desember 2014

Menjaring Pelancong di Era Digital

                           Menjaring Pelancong di Era Digital

Ayos Purwoaji  ;   Penulis Perjalanan dan Pemerhati Budaya Wisata
JAWA POS,  29 November 2014

                                                                                                                       


MESKI dapat dikatakan mengalami peningkatan kunjungan setiap tahun, sebetulnya di tingkat regional Indonesia belum bisa dikategorikan sebagai raksasa pariwisata. Walaupun, secara sosial dan geografis Indonesia memiliki lebih banyak destinasi dan budaya yang bisa ditawarkan kepada pelancong dunia daripada negara lain di kawasan.

Pada kunjungannya ke Banyuwangi minggu lalu (21/11), Menteri Pariwisata Arief Yahya mengungkap bahwa saat ini tingkat kunjungan wisatawan asing ke Indonesia per tahun sekitar 9 juta orang. Jumlah tersebut hanya sepertiga jika dibandingkan dengan industri pariwisata Thailand dan Malaysia yang mampu menyedot lebih dari 25 juta kunjungan wisatawan asing setiap tahun.

Jika dipetakan lebih jauh, pola kunjungan wisatawan asing di Indonesia pun masih terkonsentrasi di beberapa destinasi saja, antara lain Bali sebagai tujuan utama yang menyedot 40 persen wisatawan mancanegara. Disusul Jakarta (30 persen) dan Batam (25 persen).

Dari data tersebut, dapat dilihat penyebaran wisatawan asing di Indonesia masih belum merata. Kita pun menduga bahwa wisata belanja seperti yang ditawarkan Jakarta dan Batam masih menjadi pilihan utama para pelancong asing. Dengan begitu, destinasi alam populer seperti Danau Toba, Gunung Bromo, Pulau Komodo, Wakatobi, hingga Raja Ampat hanya menyumbang tidak lebih dari 5 persen wisatawan asing sisanya. Padahal, beberapa destinasi alam tersebut memiliki reputasi internasional dan tidak ada duanya di dunia.

Perkiraan tersebut memunculkan sebuah pertanyaan yang menggantung: Adakah yang salah dari promosi wisata yang dilakukan selama ini?

Target Lima Tahun dan Siasat Digital

Melalui Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Kementerian Pariwisata, Presiden Joko Widodo memberikan target untuk menggenjot kunjungan wisatawan asing hingga 20 juta pada 2019. Artinya, pertumbuhan sektor pariwisata harus mencapai rata-rata 16 persen per tahun, dua kali lipat dari pertumbuhan saat ini.

Indroyono Soesilo, menteri koordinator bidang kemaritiman, pun bergerak cepat. Dia segera menyiapkan dua strategi untuk mengejar target tersebut. Yaitu, memberikan akses bebas visa kepada berbagai negara dan memudahkan akses masuk kepada kapal wisata yang memuat para pelancong. Sebagai langkah awal, pemerintah berencana memberikan akses bebas visa masuk Indonesia kepada lima negara, yaitu Tiongkok, Australia, Jepang, Rusia, dan Korea. Kemudahan tersebut diharapkan dapat menjadi tawaran menarik bagi wisatawan asing yang bakal berkunjung ke Indonesia.

Selain kemudahan birokrasi, cara yang akan ditempuh oleh pemerintah adalah mendongkrak promosi melalui televisi maupun media sosial. Arief Yahya, menteri pariwisata yang sebelumnya menjabat CEO PT Telekomunikasi Indonesia, tentu memiliki pengalaman dan pengetahuan yang mendalam mengenai taktik promosi dengan menggunakan medium digital.

Bahkan, seperti yang diberitakan Jawa Pos (28/11), Arief mendukung Dinas Pariwisata Jawa Timur yang akan mengembangkan metode digital marketing melalui sebuah aplikasi ponsel pintar yang didesain bekerja sama dengan Telkom. Aplikasi tersebut akan berisi detail informasi tentang tempat-tempat menarik di Jawa Timur sehingga memudahkan para pelancong untuk menentukan rencana perjalanan.

Gagasan tersebut sangat menarik. Terutama karena merespons kebutuhan lanskap baru para pelancong digital yang tak bisa lepas dari berbagai peranti cerdas selama bepergian. Teknologi menjadi jembatan yang mempercepat proses untuk menyelesaikan sebuah masalah, mulai membeli tiket pesawat, memesan kamar hotel, hingga mencari rekomendasi tujuan kuliner terdekat.

Pada era menteri sebelumnya, sebetulnya usaha membangun perangkat promosi digital sudah mulai dikerjakan. Pemerintah pun mengembangkan sebuah aplikasi bernama Indotravel Mobile –sebelumnya MyIndoTravel– yang terhubung dengan indonesia.travel, sebuah situs promosi resmi pariwisata Indonesia. Aplikasi itu berisi informasi yang cukup komplet tentang berbagai hal yang terkait dengan wisata. Sayang, aplikasi itu sepi peminat. Gaungnya tidak cukup kuat sebagai representasi siasat paling mutakhir yang dilakukan pemerintah dalam menjaring wisatawan asing.

Di luar tampilannya yang penuh kekurangan, aplikasi Indotravel Mobile sebetulnya tidak menawarkan sesuatu yang baru, selain informasi yang kaku. Dalam aplikasi tersebut, sebuah destinasi hanya ditulis dalam deskripsi singkat yang kurang menggugah dan tidak mengkini. Buku panduan sekelas Lonely Planet atau Rough Guides melakukannya dengan jauh lebih baik.

Deskripsi menjadi penting bagi seorang pelancong karena memberikan sebuah bingkai sebelum mengunjungi sebuah destinasi. Deskripsi yang cair tentang sebuah destinasi akan membawa pelancong pada sebuah petualangan yang menarik. Begitu pun sebaliknya, deskripsi yang kaku akan memenjara persepsi seorang pelancong terhadap sebuah tempat, meski belum pernah berkunjung ke sana sebelumnya.

Di sisi lain, aplikasi itu tidak menawarkan sebuah interaksi. Karena itu, jenis informasinya hanya bersifat linier. Satu arah khas pemerintah.
Padahal, interaksi adalah roh dari generasi yang tinggal di tengah kecepatan arus media sosial. Dengan interaksi, teknologi berkembang lebih organik dan manusiawi. Sehingga muncul istilah viral atau getok tular. Dengan begitu, memberikan aspek interaksi pada sebuah rancangan aplikasi yang ditujukan untuk pelancong adalah mutlak. Sebab, para pelancong adalah jenis manusia yang bersosialisasi dan terhubung dengan lingkungan di sekitarnya. Di jalan, sesama pelancong akan berbagi informasi, berbagi ransum, hingga berbagi biaya perjalanan. 

Pada 2003, Barry Brown dan Matthew Chalmers, dua peneliti dari University of Glasgow, menerbitkan sebuah makalah ilmiah yang kelak menjadi penting. Makalah tersebut berisi tentang penemuan teknologi bergerak (mobile technology) dan hubungannya dengan budaya perjalanan.

Melalui serangkaian penelitian etnografis, Brown dan Chalmers menghasilkan beberapa temuan yang berhubungan dengan teknologi digital dengan rekayasa perilaku pejalan. Mereka meramalkan, jejaring internet akan mengubah kebiasaan para pejalan untuk berbagi pengalaman perjalanan dengan orang-orang dekat seperti teman atau keluarga secara seketika (real-time). Di mana pun, kapan pun. Ramalan itu terjawab beberapa tahun kemudian, setelah kita mengenal Instagram dan Path.

Di akhir makalah tersebut, Brown dan Chalmers menulis bahwa teknologi terbaik yang akan diciptakan bagi para pelancong digital bukan hanya menawarkan efisiensi dalam perjalanan saja, melainkan juga harus mampu memberikan pengalaman baru bagi para pelancong dalam menikmati sebuah destinasi. Sebuah sudut pandang yang selalu segar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar