Menjaring
Pelancong di Era Digital
Ayos Purwoaji ; Penulis Perjalanan dan Pemerhati Budaya Wisata
|
JAWA
POS, 29 November 2014
MESKI
dapat dikatakan mengalami peningkatan kunjungan setiap tahun, sebetulnya di
tingkat regional Indonesia belum bisa dikategorikan sebagai raksasa
pariwisata. Walaupun, secara sosial dan geografis Indonesia memiliki lebih
banyak destinasi dan budaya yang bisa ditawarkan kepada pelancong dunia daripada
negara lain di kawasan.
Pada
kunjungannya ke Banyuwangi minggu lalu (21/11), Menteri Pariwisata Arief
Yahya mengungkap bahwa saat ini tingkat kunjungan wisatawan asing ke
Indonesia per tahun sekitar 9 juta orang. Jumlah tersebut hanya sepertiga
jika dibandingkan dengan industri pariwisata Thailand dan Malaysia yang mampu
menyedot lebih dari 25 juta kunjungan wisatawan asing setiap tahun.
Jika
dipetakan lebih jauh, pola kunjungan wisatawan asing di Indonesia pun masih
terkonsentrasi di beberapa destinasi saja, antara lain Bali sebagai tujuan
utama yang menyedot 40 persen wisatawan mancanegara. Disusul Jakarta (30
persen) dan Batam (25 persen).
Dari
data tersebut, dapat dilihat penyebaran wisatawan asing di Indonesia masih
belum merata. Kita pun menduga bahwa wisata belanja seperti yang ditawarkan
Jakarta dan Batam masih menjadi pilihan utama para pelancong asing. Dengan
begitu, destinasi alam populer seperti Danau Toba, Gunung Bromo, Pulau
Komodo, Wakatobi, hingga Raja Ampat hanya menyumbang tidak lebih dari 5
persen wisatawan asing sisanya. Padahal, beberapa destinasi alam tersebut
memiliki reputasi internasional dan tidak ada duanya di dunia.
Perkiraan
tersebut memunculkan sebuah pertanyaan yang menggantung: Adakah yang salah
dari promosi wisata yang dilakukan selama ini?
Target Lima Tahun dan Siasat
Digital
Melalui
Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Kementerian Pariwisata,
Presiden Joko Widodo memberikan target untuk menggenjot kunjungan wisatawan
asing hingga 20 juta pada 2019. Artinya, pertumbuhan sektor pariwisata harus
mencapai rata-rata 16 persen per tahun, dua kali lipat dari pertumbuhan saat
ini.
Indroyono
Soesilo, menteri koordinator bidang kemaritiman, pun bergerak cepat. Dia
segera menyiapkan dua strategi untuk mengejar target tersebut. Yaitu,
memberikan akses bebas visa kepada berbagai negara dan memudahkan akses masuk
kepada kapal wisata yang memuat para pelancong. Sebagai langkah awal,
pemerintah berencana memberikan akses bebas visa masuk Indonesia kepada lima
negara, yaitu Tiongkok, Australia, Jepang, Rusia, dan Korea. Kemudahan
tersebut diharapkan dapat menjadi tawaran menarik bagi wisatawan asing yang
bakal berkunjung ke Indonesia.
Selain
kemudahan birokrasi, cara yang akan ditempuh oleh pemerintah adalah
mendongkrak promosi melalui televisi maupun media sosial. Arief Yahya,
menteri pariwisata yang sebelumnya menjabat CEO PT Telekomunikasi Indonesia,
tentu memiliki pengalaman dan pengetahuan yang mendalam mengenai taktik
promosi dengan menggunakan medium digital.
Bahkan,
seperti yang diberitakan Jawa Pos (28/11), Arief mendukung Dinas Pariwisata
Jawa Timur yang akan mengembangkan metode digital marketing melalui sebuah
aplikasi ponsel pintar yang didesain bekerja sama dengan Telkom. Aplikasi
tersebut akan berisi detail informasi tentang tempat-tempat menarik di Jawa
Timur sehingga memudahkan para pelancong untuk menentukan rencana perjalanan.
Gagasan
tersebut sangat menarik. Terutama karena merespons kebutuhan lanskap baru
para pelancong digital yang tak bisa lepas dari berbagai peranti cerdas
selama bepergian. Teknologi menjadi jembatan yang mempercepat proses untuk
menyelesaikan sebuah masalah, mulai membeli tiket pesawat, memesan kamar
hotel, hingga mencari rekomendasi tujuan kuliner terdekat.
Pada era
menteri sebelumnya, sebetulnya usaha membangun perangkat promosi digital
sudah mulai dikerjakan. Pemerintah pun mengembangkan sebuah aplikasi bernama
Indotravel Mobile –sebelumnya MyIndoTravel– yang terhubung dengan
indonesia.travel, sebuah situs promosi resmi pariwisata Indonesia. Aplikasi
itu berisi informasi yang cukup komplet tentang berbagai hal yang terkait
dengan wisata. Sayang, aplikasi itu sepi peminat. Gaungnya tidak cukup kuat
sebagai representasi siasat paling mutakhir yang dilakukan pemerintah dalam
menjaring wisatawan asing.
Di luar
tampilannya yang penuh kekurangan, aplikasi Indotravel Mobile sebetulnya
tidak menawarkan sesuatu yang baru, selain informasi yang kaku. Dalam
aplikasi tersebut, sebuah destinasi hanya ditulis dalam deskripsi singkat
yang kurang menggugah dan tidak mengkini. Buku panduan sekelas Lonely Planet
atau Rough Guides melakukannya dengan jauh lebih baik.
Deskripsi
menjadi penting bagi seorang pelancong karena memberikan sebuah bingkai
sebelum mengunjungi sebuah destinasi. Deskripsi yang cair tentang sebuah
destinasi akan membawa pelancong pada sebuah petualangan yang menarik. Begitu
pun sebaliknya, deskripsi yang kaku akan memenjara persepsi seorang pelancong
terhadap sebuah tempat, meski belum pernah berkunjung ke sana sebelumnya.
Di sisi
lain, aplikasi itu tidak menawarkan sebuah interaksi. Karena itu, jenis
informasinya hanya bersifat linier. Satu arah khas pemerintah.
Padahal,
interaksi adalah roh dari generasi yang tinggal di tengah kecepatan arus
media sosial. Dengan interaksi, teknologi berkembang lebih organik dan
manusiawi. Sehingga muncul istilah viral atau getok tular. Dengan begitu,
memberikan aspek interaksi pada sebuah rancangan aplikasi yang ditujukan
untuk pelancong adalah mutlak. Sebab, para pelancong adalah jenis manusia
yang bersosialisasi dan terhubung dengan lingkungan di sekitarnya. Di jalan,
sesama pelancong akan berbagi informasi, berbagi ransum, hingga berbagi biaya
perjalanan.
Pada
2003, Barry Brown dan Matthew Chalmers, dua peneliti dari University of
Glasgow, menerbitkan sebuah makalah ilmiah yang kelak menjadi penting.
Makalah tersebut berisi tentang penemuan teknologi bergerak (mobile
technology) dan hubungannya dengan budaya perjalanan.
Melalui
serangkaian penelitian etnografis, Brown dan Chalmers menghasilkan beberapa temuan
yang berhubungan dengan teknologi digital dengan rekayasa perilaku pejalan.
Mereka meramalkan, jejaring internet akan mengubah kebiasaan para pejalan
untuk berbagi pengalaman perjalanan dengan orang-orang dekat seperti teman
atau keluarga secara seketika (real-time). Di mana pun, kapan pun. Ramalan
itu terjawab beberapa tahun kemudian, setelah kita mengenal Instagram dan
Path.
Di akhir
makalah tersebut, Brown dan Chalmers menulis bahwa teknologi terbaik yang
akan diciptakan bagi para pelancong digital bukan hanya menawarkan efisiensi
dalam perjalanan saja, melainkan juga harus mampu memberikan pengalaman baru
bagi para pelancong dalam menikmati sebuah destinasi. Sebuah sudut pandang
yang selalu segar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar