Bilingual
Politis
Nikolas Kristiyanto ; Mahasiswa Universitas Gregoriana, Roma, Italia
|
KOMPAS,
29 November 2014
Meski
sudah terlihat rujuk, apa yang terjadi di DPR sungguh memalukan, mulai dari
kisruh rebutan kursi pimpinan DPR dan komisi hingga puncaknya pembentukan DPR
tandingan. Tampaklah bahwa para politikus kita tak memiliki kemampuan
”bilingual politis”.
Bilingual
politis” adalah kemampuan para politisi—khususnya di DPR—untuk berbicara
dalam dua level pendekatan. Yang pertama, pendekatan wacana-logis.
Hal ini
tak bisa dipisahkan dari tiga fungsi utama DPR itu sendiri, yaitu legislasi,
anggaran, dan pengawasan. Dalam hal ini, setiap anggota DPR diharapkan
memiliki kemampuan membicarakan hal-hal serius secara logis dan terstruktur
dengan melahirkan berbagai wacana bermutu. DPR menjadi tempat yang tepat buat
rakyat menyaksikan debat-debat dan wacana-wacana yang bermutu mengenai bangsa
ini.
Yang
kedua, pendekatan wacana-keseharian. Pendekatan ini mengikuti pemikiran
Wittgenstein (1953), yaitu wacana logis dapat dibawa dalam bahasa dan konteks
sehari-hari yang mudah terpahami.
Ketika
kita bicara mengenai wacana, perlu dipahami bahwa hal ini tidak sekadar
pengungkapan gagasan semata, tetapi juga berbicara mengenai tindak-tanduk
konkret dari setiap politisi.
Misalnya,
ketika kita berwacana mengenai kerukunan, kesatuan, perdamaian, dan kemajuan,
hal itu tak dapat dipisahkan dari tindak-tanduk sehari-hari di gedung DPR
yang terhormat itu.
Semua
wacana itu harus dimulai di sana. Dihadirkan secara nyata. Dapat dilihat oleh
rakyat secara nyata pula. Akhirnya, kita dapat mengatakan, ”Ada harapan bagi
bangsa ini, paling tidak para politisi di DPR sudah mencontohkannya.”
Kegagapan politis
Justru
yang menjadi persoalan sekarang, para politisi DPR saat ini tak dapat lagi
”berbahasa” dengan terampil, baik dalam wacana-logis maupun dalam
wacana-keseharian. Padahal, berbahasa itu tidak sekadar bagaimana berbicara
dan mengutarakan pendapat, tetapi juga bagaimana memahami realitas.
Tanpa
bahasa, kegagapan berbahasa membuat persoalan bangsa tidak dapat ditangani
dengan serius dan yang paling dasar tidak dapat memahami persoalan bangsa ini
dan berakhir pada penjabaran yang keliru. Jika menentukan persoalan saja
sudah keliru, bagaimana menemukan solusi yang tepat bagi kemajuan bangsa ini.
Kekeliruan
yang fundamental, para politisi di DPR ini hanya memandang bahwa yang mereka
hadapi adalah bagaimana memperoleh kekuasaan. Maka, mereka memandang mandat
dari rakyat hanya untuk berkuasa, bukan untuk melayani.
Berkuasa—dalam
arti negatif, seperti yang kita lihat akhir-akhir ini di gedung
DPR—menjadikan rakyat sekadar obyek. Suaranya dibutuhkan ketika pemilu
setelah itu dilupakan. Melayani berarti rakyat menjadi ”raja”. Kepentingan
rakyat menjadi nomor satu dan diusahakan semaksimal mungkin.
Kekeliruan
ini tentu membawa konsekuensi berikutnya. Jika pokok persoalannya ”berkuasa”,
tak heran jika akhir-akhir ini mereka berebut kursi pimpinan tanpa memikirkan
kepentingan rakyat.
Dimulai
dengan menyusun Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) yang disahkan
8 Juli, kemudian kericuhan pengesahan Rancangan Undang-Undang Pemilu Kepala
Daerah (RUU Pilkada) pada 26 September dini hari.
Dilanjutkan
kericuhan pemilihan pimpinan DPR, pimpinan komisi, hingga pembentukan DPR
tandingan. Meski akhirnya huru-hara ini mereda, tampak jelas kekeliruan
”membaca” mandat rakyat. Di sinilah terjadi ”kegagapan politis”.
”Kursus bahasa”
Bagaimana
mengatasinya? Jawabannya sederhana, ”kursus bahasa!” Para politisi ini perlu
turun ke lapangan dan mendengarkan suara rakyat, (a) bagaimana mereka
berkomunikasi, (b) melafalkan harapan-harapan mereka, (c) mengintonisasi
ide-ide mereka, (d) merangkai mimpi-mimpi mereka, (e) memberi aksen dalam
setiap usaha mereka, dan (f) belajar bagaimana mereka merangkai sebuah puisi
dan prosa perjalanan hidup mereka. Rakyatlah yang menjadi guru yang perlu
didengarkan terus-menerus. Inilah ”kursus bahasa” yang sesungguhnya.
Dengan
”kursus bahasa” ini, mereka akhirnya diharapkan menjadi paham akan realitas
masyarakat pada umumnya dan dapat merangkainya dalam sebuah wacana-logis yang
sejalan dengan realitas itu sendiri, tidak hanya berdasarkan berbagai
pengandaian yang mengada-ada. Apa yang menjadi kegalauan masyarakat dapat
sejalan pula dengan wacana di gedung yang terhormat itu.
Setelah
dibahas, hasilnya dapat dikomunikasikan kembali kepada masyarakat dengan
wacana-keseharian para anggota Dewan, yang diimplementasikan dalam
kebijakan-kebijakan konkret yang menyentuh inti persoalan masyarakat. Dengan
begitu, ”bilingual politis” terjadi.
Harapannya,
tak ada lagi komedi ”membalik-balikkan meja” yang hanya membuat rakyat
semakin sebal. Semua itu adalah salah satu simtom kegagapan dalam ”berbahasa”
dan terlebih menunjukkan tak adanya ”bilingual politis” di dalam gedung yang
terhormat itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar