Senin, 01 Desember 2014

Bilingual Politis

                                                       Bilingual Politis

Nikolas Kristiyanto  ;   Mahasiswa Universitas Gregoriana, Roma, Italia
KOMPAS,  29 November 2014

                                                                                                                       


Meski sudah terlihat rujuk, apa yang terjadi di DPR sungguh memalukan, mulai dari kisruh rebutan kursi pimpinan DPR dan komisi hingga puncaknya pembentukan DPR tandingan. Tampaklah bahwa para politikus kita tak memiliki kemampuan ”bilingual politis”.
Bilingual politis” adalah kemampuan para politisi—khususnya di DPR—untuk berbicara dalam dua level pendekatan. Yang pertama, pendekatan wacana-logis.
Hal ini tak bisa dipisahkan dari tiga fungsi utama DPR itu sendiri, yaitu legislasi, anggaran, dan pengawasan. Dalam hal ini, setiap anggota DPR diharapkan memiliki kemampuan membicarakan hal-hal serius secara logis dan terstruktur dengan melahirkan berbagai wacana bermutu. DPR menjadi tempat yang tepat buat rakyat menyaksikan debat-debat dan wacana-wacana yang bermutu mengenai bangsa ini.
Yang kedua, pendekatan wacana-keseharian. Pendekatan ini mengikuti pemikiran Wittgenstein (1953), yaitu wacana logis dapat dibawa dalam bahasa dan konteks sehari-hari yang mudah terpahami.
Ketika kita bicara mengenai wacana, perlu dipahami bahwa hal ini tidak sekadar pengungkapan gagasan semata, tetapi juga berbicara mengenai tindak-tanduk konkret dari setiap politisi.
Misalnya, ketika kita berwacana mengenai kerukunan, kesatuan, perdamaian, dan kemajuan, hal itu tak dapat dipisahkan dari tindak-tanduk sehari-hari di gedung DPR yang terhormat itu.
Semua wacana itu harus dimulai di sana. Dihadirkan secara nyata. Dapat dilihat oleh rakyat secara nyata pula. Akhirnya, kita dapat mengatakan, ”Ada harapan bagi bangsa ini, paling tidak para politisi di DPR sudah mencontohkannya.”
Kegagapan politis
Justru yang menjadi persoalan sekarang, para politisi DPR saat ini tak dapat lagi ”berbahasa” dengan terampil, baik dalam wacana-logis maupun dalam wacana-keseharian. Padahal, berbahasa itu tidak sekadar bagaimana berbicara dan mengutarakan pendapat, tetapi juga bagaimana memahami realitas.
Tanpa bahasa, kegagapan berbahasa membuat persoalan bangsa tidak dapat ditangani dengan serius dan yang paling dasar tidak dapat memahami persoalan bangsa ini dan berakhir pada penjabaran yang keliru. Jika menentukan persoalan saja sudah keliru, bagaimana menemukan solusi yang tepat bagi kemajuan bangsa ini.
Kekeliruan yang fundamental, para politisi di DPR ini hanya memandang bahwa yang mereka hadapi adalah bagaimana memperoleh kekuasaan. Maka, mereka memandang mandat dari rakyat hanya untuk berkuasa, bukan untuk melayani.
Berkuasa—dalam arti negatif, seperti yang kita lihat akhir-akhir ini di gedung DPR—menjadikan rakyat sekadar obyek. Suaranya dibutuhkan ketika pemilu setelah itu dilupakan. Melayani berarti rakyat menjadi ”raja”. Kepentingan rakyat menjadi nomor satu dan diusahakan semaksimal mungkin.
Kekeliruan ini tentu membawa konsekuensi berikutnya. Jika pokok persoalannya ”berkuasa”, tak heran jika akhir-akhir ini mereka berebut kursi pimpinan tanpa memikirkan kepentingan rakyat.
Dimulai dengan menyusun Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) yang disahkan 8 Juli, kemudian kericuhan pengesahan Rancangan Undang-Undang Pemilu Kepala Daerah (RUU Pilkada) pada 26 September dini hari.
Dilanjutkan kericuhan pemilihan pimpinan DPR, pimpinan komisi, hingga pembentukan DPR tandingan. Meski akhirnya huru-hara ini mereda, tampak jelas kekeliruan ”membaca” mandat rakyat. Di sinilah terjadi ”kegagapan politis”.
”Kursus bahasa”
Bagaimana mengatasinya? Jawabannya sederhana, ”kursus bahasa!” Para politisi ini perlu turun ke lapangan dan mendengarkan suara rakyat, (a) bagaimana mereka berkomunikasi, (b) melafalkan harapan-harapan mereka, (c) mengintonisasi ide-ide mereka, (d) merangkai mimpi-mimpi mereka, (e) memberi aksen dalam setiap usaha mereka, dan (f) belajar bagaimana mereka merangkai sebuah puisi dan prosa perjalanan hidup mereka. Rakyatlah yang menjadi guru yang perlu didengarkan terus-menerus. Inilah ”kursus bahasa” yang sesungguhnya.
Dengan ”kursus bahasa” ini, mereka akhirnya diharapkan menjadi paham akan realitas masyarakat pada umumnya dan dapat merangkainya dalam sebuah wacana-logis yang sejalan dengan realitas itu sendiri, tidak hanya berdasarkan berbagai pengandaian yang mengada-ada. Apa yang menjadi kegalauan masyarakat dapat sejalan pula dengan wacana di gedung yang terhormat itu.
Setelah dibahas, hasilnya dapat dikomunikasikan kembali kepada masyarakat dengan wacana-keseharian para anggota Dewan, yang diimplementasikan dalam kebijakan-kebijakan konkret yang menyentuh inti persoalan masyarakat. Dengan begitu, ”bilingual politis” terjadi.
Harapannya, tak ada lagi komedi ”membalik-balikkan meja” yang hanya membuat rakyat semakin sebal. Semua itu adalah salah satu simtom kegagapan dalam ”berbahasa” dan terlebih menunjukkan tak adanya ”bilingual politis” di dalam gedung yang terhormat itu.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar